Apabila kita pelajari keadaan yang telah dilalui hadits semenjak masa tumbuhnya hingga dewasa ini kita bagi kepada 7 priode, yaitu:
1. Masa turunnya wahyu dan pembentukan dasar hukum Islam, yaitu masa hidupnya Nabi (13 SH – 11 H)
2. Masa menyedikitkan periwayatan hadits, yaitu pada masa khulafaur rasidin (12 H – 40 H)
3. Masa berkembangnya periwayatan hadits (41 H – akhir abad ke-I)
4. Masa pembukuan hadits (awal abad ke-II sampai akhir)
5. Masa pentashhihan (pengklasifikasian) hadits, yaitu mengklasifikasikan antara hadits shahih, hasan dan dhaif (awal abad ke-III sampai akhir)
6. Masa menapis kitab-kitab hadits dan menyusun kitab jami’ yang khusus (awal abad IV sampai jatuhnya bagdad tahun 656 H)
7. Masa pembuatan syara’, membuat kitab-kitab jami’ yang umum dan mengumpulkan hadits-hadits hukum (656 H sampai sekarang)
A. Masa Turunnya Wahyu Dan Pembentukan Dasar Hukum Islam, Yaitu Masa Hidupnya Nabi
(13 Sh – 11 H)
Hadits dari Nabi yang diterima oleh sahabat adakalanya langsung dan adakalanya tidak langsung.
Adapun sahabat yang banyak menerima hadits antara lain:
1. Orang yang mula-mula masuk Islam, yaitu Khulafaur Rasidin
2. Orang yang selalu berada disamping Rasulullah dan bersunguh-sungguh menghafalnya, yaitu Abu Hurairah
3. Orang yang lama hidupnya sesudah Nabi wafat, seperti Anas bin Malik
4. Orang yang dekat/erat hubungannya dengan Nabi, yaitu istrinya
Adapun hadits pada masa rasulullah tidak boleh di tulis, alasan hadits pada masa ini tidak boleh ditulis adalah:
a. Karena di zaman Nabi susah menemukan orang yang pandai tulis baca, sekalipun ada, tenaga mereka telah dipakai untuk menulis Al-Qur’an
b. Karena dikhawatirkan bercampurnya antara Al-Qur’an dengan Hadits
c. Karena sahabat Rasul senang dengan hafalan
B. Masa Menyedikitkan Periwayatan Hadits, Yaitu Pada Masa Khulafaur Rasidin
(12 H – 40 H)
Setelah Nabi wafat, para sahabat Nabi milai meninggalkan kota Madinah menuju kota lain. Para sahabat ini meninggalkan kota Madinah, kerena nabi sudah wafat. Dikarenakan para sahabat Nabi pidah ke kota-kota lain, maka sahabat yang ada di kota lain pun mulai mendapatkan hadits.
Namun periwayatan hadits pada masa khulafaur rasidin, lebi-lebih pada masa Abu Bakar dan Umar, periwayatan hadits tidak begitu berkembang. Hal ini tidak terlepas dari sikap khalifah yang tidak menginginkan sahabat membanyakkan periwayatan hadits.
Hadits pada masa ini juga masih bersifat hafalan yang berpindah dari mulut ke mulut. Periwayatan hadits pada masa ini bukanlah tidak ada sama sekali, akan tetapi hanya diberikan kepada orang-orang yang betul-betul membutuhkannya.
Adapun alasan khalifah tidak memperbanyak periwayatan hadits adalah karena khalifah ingin mengembangkan Al-Qur’an terlebih dahulu.
C. Masa Berkembangnya Periwayatan Hadits
(41 H – Akhir Abad Ke-I)
Pada dasarnya, periwayatan hadits yang dilakukan oleh para tabi’in tidak begitu berbeda dengan yang dilakukan para sahabat, hanya saja persoalan yang mereka hadapi agak berbeda dengan yang dihadapi oleh para sahabat, dimana al-qur’an pada masa ini telah dikumpulkan dalam satu mushaf.
Ketika tampuk kepemerintahan dipegang oleh Bani Umaiyyah, wilayah kekuasaan Islam semakin luas sampai meliputi Syam, Iraq, Mesir, Persia, dan sampai ke Spanyol.
Oleh sebab itu, sejalan dengan pesatnya wiayah kekuasaan Islam, timbullah usaha yang sungguh-sungguh lagi untuk mencari hadits dan menebarkannya kepada masyarakat luas hingga terkenalllah pada waktu itu kota-kota sebagai pusat pembinaan hadits, seperti Mekkah (Muaz bin Jabah), Kuffah (Ali bin Abi Talib), Basrah (Anas bin malik), Syam (Bilal bin Rabah), dan Mesir (Amru bin ‘Ash).
Namun yang perlu dicatat pada priode ini banyaknya orang-orang yang membuat hadits-hadits palsu akibat dari terjadinya pergejolakan politik di kalangan umat Islam. Namun, pada masa ini hadits juga belum ditulis.
D. Masa Pembukuan Hadits
(Awal Abad Ke-Ii Sampai Akhir)
Semenjak masa Rasul sampai abad pertama hijrah hadits belum dibukukan, tinggal di dada para sahabat uang bersifat hafalan. Namun ketika tampuk kepemerintahan dipegang oleh khalifah Umar bin Abdul Aziz, yaitu khalifah ke delapan bani umaiyyah, tergeraklah hatinya untuk segera membukukan hadits dengan dasar pertimbangan:
a. Beliau khawatir akan lenyapnya hadits dari permukaan dunia
b. Khawatir akan bercampurnya hadits-hadit shahih dengan hadits palsu
c. Di pihak lain, dengan makin meluasnya daerah kekuasaan Islam sementara kemampuan para tabi’in tidak sama antara yang satu dengan yang lainnya.
Oleh sebab itu, untuk mewujudkan minatnya, pada tahun yang ke-100 hijriah, beliau mengirimka sepucuk surat kepada gubernur-gubernur yang ada di wilayah kekuasaannya untuk segera membukukan hadits.. adapun gubernur yang pertama kali menerima perintah dari kepala negara adalah Abu Bakar ibnu Hazmin, yaitu gubernur Madinah. Setelah itu beliau mengirimkan kepada gubernur-gubernur lain.
Namun, ulama mencatat bahwa orang yang pertama membukukan hadits adalah Az-Zuhri. Adapun sitem ulama dalam membukukan hadits adalah masih bercampur baur antara hadits shahih dengan hadits yang tidak shahih.
Adapun kitab yang muncul pada abad ini adalah:
1. Muartha’ karangan Imam Malik
2. Musnad Imam Syafi’i
3. Mukhtaliful hadits hadits karangan Imam Syafi’i
Adapun alasan kenapa orang yang pertama membukukan hadits Az-Zuhri bukan Ibni Hazmin adalah karena apa yang lakukan oleh Abu Bakar ibnu Hazmin dimana hadits yang beliau kumpulkan belum sempat terselesaikan, beliaupun meninggal dunia.
E. Masa Pentashhihan (Pengklasifikasian) Hadits, Yaitu Mengklasifikasikan Antara Hadits Shahih, Hasan Dan Dhaif
(Awal Abad Ke-Iii Sampai Akhir)
Sistem ulama abad ke-2 dalam membukukan hadits belum memisahkan mana hadits yang shahih dan mana hadits yang tidak shahih dan juga belum memisahkan mana hadits marfu’ dan mana hadits yang mauquf.
Pada masa ini, ulama telah bersungguh-sungguh mengadakan penyaringan hadits yang diterimanya. Pada masa ini memuncaklah usaha pembukuan hadits. Pekerjaan ini mulai dilakukan oleh Imam Bukhri. Kemudian diikuti oleh muridnya, yaitu Imam Muslim. Kemudian diikuti lagi oleh imam-iamam lain, seperti Abu Daud, at-Turmidzi, Nasai, dan ibnu Majah.
F. Masa Menapis Kitab-Kitab Hadits Dan Menyusun Kitab Jami’ Yang Khusus
(Awal Abad Iv Sampai Jatuhnya Bagdad Tahun 656 H)
Ulama abad ke-2 dan ke-3 dalam mengumpulkan hadits semata-mata berpegang pada usaha sendiri dan pemeriksaan sendiri dengan menemui para penghafal hadits yang tersebar di seluruh penjuru negeri arab yang disebut dengan ulama mutaqaddimin. Sedangkan ulama yang datang sesudah itu tidak bedemikian halnya. Kebanyakan hadits yang mereka kumpulkan merupakan petikan dari kitab-kitab hadits yang dibuat oleh ulama mutaqaddimin. Dan adapun ulama yang datang setelah ulama mutaqaddimin ini dikenal dengan ulama mutaakhkhirin.
Pada abad ke-4 ini lahir pemikiran mencukupi/memadakan dalam meriwayatkan hadits dengan berpegang kepada kitab-kitab yang ada saja. Dengan usaha ulama abad ke-3 terkumpullah dalam jumlah yang banyak dari hadits shahih tersebut. Sedikit saja jumlah hadits shahih yang belum terkumpulkan yang dikumpulkan oleh ulama abad ke-4. Seperti kitab shahih ibnu Huzaimah, kitab ibnu Hibban dan mustadrak oleh al-Hakim.
Pada masa ini ulama hanya menapis kitab-kitab hadits yang ada dan menyusun kitab-kitab jami’ yang khusus. Adapun ulama yang terkhir mengumpulkan hadits dalam sejarah adalah ibnu Mandah.
Akan tetapi para ulama masih merakukan hadits yang dikumpulkan oleh ulama abad ke-4 ini, alasannya adalah seperti ibnu Hibban dalam meriwayatkan hadits terlalu memudahkan dalam menshahihkan sebuah hadits. Sedangkan al-hakim, selain ia terlalu mempermudah dalam menshahihkan hadits, konon ia juga pada saat itu sudah tua.