Senin, 18 Februari 2013

MUKHTALIF AL-HADITS

BAB I
PENDAHULUAN



Hadits diyakini oleh sebagian besar umat Islam sebagai sumber kedua ajaran agama Islam setelah al-Qur'an. Keyakinan ini mengharuskan umat Islam menjadikan hadits sebagai pedoman hidup, karena ia juga merupakan tuntunan Allah. Sebagai salah satu sumber ajaran Islam, secara prinsip hadits tidak mungkin bertentangan dengan dalil lain, baik dengan sesama hadits, sebab kebenaran tidak akan bertentangan dengan kebenaran. Seandainya ada pertentangan, maka hal itu hanya tampak di luarnya saja.

Berangkat dari prinsip ini, maka timbul upaya para ulama untuk menyelesaikan persoalan ketika mendapati teks-teks hadits yang tampak bertentangan. Hadits-hadits yang tampak bertentangan ini biasa disebut dengan istilah Ikhtilaf atau Mukhtalif al-Hadis.

Dengan demikian, ilmu ini akan membahas hadits-hadits yang secara lahiriah bertentangan, namun ada kemungkinan yang dapat diterima dengan syarat. Mungkin dengan cara membatasi kemutlakan atau keumumannya dan lainnya yang bisa disebut sebagai talfiq al-hadits[1].

Imam An-Nawawi berkata dalam at-taqrib: “Ini adalah salah satu ilmu dirayah yang terpenting. Semua ulama dari berbagai golongan perlu mengetahuinya.

Ilmu Mukhtalif Al-Hadits ini telah mendapat perhatian serius sejak masa sahabat, yang menjadi rujukan utama segala persoalan setelah Rasulullah. Kajian tentang hadits-hadits yang bertentangan ini merupakan hal yang sangat penting bagi para pengkaji hadis. Tidak ada yang mahir dalam bidang ini, kecuali imam hadits yang tajam analisisnya.

Berbagai hadits yang mukhtalif telah dihimpun oleh ulama dalam kitab-kitab khusus. Sejarah mencatat bahwa ulama yang mempelopori kegiatan penghimpunan itu adalah Imam al-Syafi`i dengan karyanya Ikhtilaf al-Hadis. Disusul kemudian oleh Ibn Qutaibah dengan kitabnya Ta'wil Mukhtalif al-Hadis. Lalu al-Thahawi dengan judul kitabnya Musykil al-Asar, kemudian Ibnu Khuzaimah, Ibn Jarir dan Ibn al-Jauzi.

Para ulama sependapat bahwa hadits-hadits yang tampak bertentangan harus diselesaikan sehingga hilanglah pertentangan itu. Hanya saja dalam menyelesaikan pertentangan tersebut, ulama berbeda pendapat. Makalah sederhana ini akan coba membahas meskipun sepintas bagaimana menyikapi hadits-hadits yang tampak bertentangan itu.






BAB II
MUKHTALIF AL-HADITS



A. Pengertian

Dalam kaidah bahasa Mukhtalif Al-Hadits adalah susunan dua kata benda (isim) yakni Mukhtalif dan Al-Hadits. Mukhtalif sendiri berasal dari kata ikhtalafa yang berarti perselisihan dua hal atau ketidaksesuaian dua hal, secara umum apabila ada dua hal yang bertentangan, hal tersebut bisa dikatakan mukhtalif atau ikhtila.

Dengan demikian, pengertian Mukhtalif secara bahasa adalah bertentangan atau berselisih. Mukhtalif AI-Hadits artinya hadits yang sampai kepada kita, namun saling bertentangan maknanya satu sama lain.

Sedangkan pengertian mukhtalif al-hadits secara istilah terdapat beberapa pengertian, diantaranya, Al-Qaththan mengartikan mukhtalif al-hadits sebagai hadits yang diterima, namun pada zahirnya kelihatan bertentangan dengan hadits maqbul lainnya dalam maknanya, sekalipun memungkinkan untuk dikompromikan antara keduanya. Sementara menurut Nuruddin 'Itr, hadits-hadits mukhtalif ialah hadis-hadis yang secara lahiriah bertentangan dengan kaidah-kaidah yang baku, sehingga mengesankan makna yang batil atau bertentangan dengan nas-nas syara’ yang lain.

Dalam kajian hadits, masalah ini dibahas oleh Ilmu Mukhtalîf al-Hadîs, salah satu cabang Ulum al-Hadis. Ilmu mukhtalif al-Hadis adalah Ilmu yang membahas hadits-hadits yang secara tekstual/lahiriah saling bertentangan, namun hakikatnya bisa dikompromikan, baik dengan cara memberi taqyid (batasan) kepada yang mutlaq (tak terbatas) atau memberi takhsis (pengkhususan) kepada yang `am (umum), atau membawanya kepada berbagai konteks peristiwa atau cara yang lain.





Menurut Ajjaj al-Khathib, bahwa pengertian Ilmu Mukhtalif Al-Hadits adalah:


الْعِلْمُ الَّذِيْ يَبْحَثُ فِى اْلأَحَادِيْثِ الَّتِيْ ظَاهِرُهَا مُتَعَارِضٌ فَيُزِيْلُ تَعَارُضَهَا أَوْ يُوَفِّقُ بَيْنَهَا كَمَا يَبْحَثُ فِى اْلأَحَادِيْثِ الَّتِيْ يَشْكُلُ فَهْمُهَا أَوْ تَصَوُّرُهَا فَيَدْفَعُ أَشْكَالَهَا وَيُوَضِّحُ حَقِيْقَتَهَا



“Ilmu yang membahas hadits-hadits yang menurut lahirnya saling bertentangan atau berlawanan, kemudian pertentangan tersebut dihilangkan atau dikompromikan antara keduanya, sebagaimana membahas hadits-hadits yang sulit dipahami kandungannya, dengan menghilangkan kesulitannya serta menjelaskan hakikatnya”[2].



Dari pengertian ini dapat dipahami, bahwa dengan menguasai ilmu mukhtalif al-hadits, hadits-hadits yang tampaknya bertentangan akan dapat diatasi dengan menghilangkan pertentengan dimaksud. Begitu juga dengan kemusykilan yang terlihat dalam suatu hadits, akan segera dapat dihilangkan dan ditemukan hakekat dari kandungan hadits tersebut.

Defenisi lain menyebutkan sebagai berikut:


علم يبحث عن الاحاديث التي ظاهرها التناقض من حيث امكان الجمع بينهاامابتقييد مطلقها اوبتخصيص عامها عامها اوحملها على تعدد الحادثة اوغيرذلك



“Ilmu yang membahas hadits-hadits yang menurut lahirnya saling bertentangan, karena adanya kemungkinan dapat dikompromikan, baik dengan cara mentaqyid kemutlakannya, atau mentakhsis keumumannya, atau dengan cara membawanya kepada beberapa kejadian yang relevan dengan hadits tersebut, dan lain-lain”.

Sebagian ulama menyamakan istilah ilmu mukhtalif al-hadits dengan ilmu musykil al-hadits, ilmu ta’wil al-hadits, ilmu talfiq al-hadits, dan ilmu ikhtiaf al-hadits. Akan tetapi yang dimaksudkan oleh istilah-istilah di atas, artinya sama.

Sasaran ilmu ini mengarah pada hadits-hadits yang saling berlawanan untuk dikompromikan kandungannya dengan jalan membatasi (taqyid) kemutlakannya dan seterusnya. Atau yang dalam kitab Manhal al-Lathif biasa disebut al-ahadits allati mutadhadan fi al-ma’na bi hasabi azh-zhahiry. Ilmu ini tidak akan muncul kecuali dari orang yang menguasai hadits dan fiqih. Disebutkan bahwa Imam asy-Syafi`i (w. 204 H) adalah ulama yang memelopori munculnya disiplin ilmu mukhtalif al-hadits. Hal ini terlihat dalam karya besarnya “al-Umm”, meskipun beliau tidak secara khusus mengarang kitab mukhtalif al-hadits, tetapi di dalam kitab al-Umm beliau mencantumkan pembahasan khusus tentang mukhtalif al-hadits[3].

Jadi, ilmu ini berusaha untuk mempertemukan (talfiq al-hadits) dua atau lebih hadits yang bertentangan maknanya. Adapun cara-cara mengkompromikan hadits tersebut adakalanya dengan men-taqyid kemutlakan hadits, men-takhish keumumannya, atau adakalanya dengan memilih sanad yang lebih kuat atau yang lebih banyak datangnya. Ilmu ini sangat dibutuhkan oleh ulama hadits, ulama fiqh, dan lain-lain.




B. Seputar Ilmu Mukhtalif Al-hadits

Dalam penjelasan mengenai ilmu ini, akan berkaitan dengan hadits-hadits mukhtalif, atau bisa disebut sebagai objek kajian daripada disiplin ilmu ini. Oleh karenanya perlu adanya penjelasan tentang hadits mukhtalif tersebut.

Hadits mukhtalif adalah hadits-hadits yang mengalami pertentangan satu sama lain. Namun di antara pertentangan itu hanya terdapat pada zhahirnya saja, dan ketika ditelusuri sebenarnya masih memungkinkan untuk dikompromikan. Sementara menurut Nuruddin ‘Itr, hadits-hadits mukhtalif ialah hadits-hadits yang secara lahiriah bertentangan dengan kaedah-kaedah yang baku, sehingga mengesankan makna yang batil atau bertentangan dengan nash-nash syara’ yang lain. Atau lebih jelasnya tentang mukhtalif ini adalah adanya peretentangan dengan al-Quran, akal, sejarah, atau ilmu pengetahuan dan sains modern.

Ilmu mukhtalif al-hadits ini muncul atas usaha para ulama setelah Rasul wafat karena mengingat bangsa-bangsa yang bukan arab memeluk Islam serta banyanya orang yang kurang memahami istilah atau lafadz-lafadz tertentu yang gharib atau yang sukar dipahaminya.

Para ulama berusaha menjelaskan apa yang dikandung oleh kata-kata gharib itu dengan mensyarahkannya secara khusus hadits-hadits yang terdapat kata-kata gharib. Diantara ulama yang menyusun hadits-hadits yang gharib ialah Abu Ubaidah Ma’mar bin Matsna al-Timimi al-Bisri (w. 210 H) dan Abu al-Hasan bin Ismail al-Mahdini al-Nahawi (w. 204 H) salah satu kitab yang terbaik yang ada sekarang ini, adalah kitab “al-Nihayah fi gharib al-Hadits” karya al-Atsir[4].

Dan yang termasuk dalam pengertian hadits mukhtalif adalah hadits-hadits yang sulit dipahami (musykil). Dr. Abu al-Layth mendefinisikan hadits musykil sebagai hadits maqbul (shahih dan hasan) yang tersembunyi maksudnya karena adanya sebab dan hanya diketahui setelah merenungkan maknanya atau dengan adanya dalil yang lain. Dinamakan musykil karena maknanya yang tidak jelas dan sukar dipahami oleh orang yang bukan ahlinya.

Ibn Furak (w. 406 H.) dalam kitabnya yang berjudul Musykil al-Hadits wa Bayanuh, berpendapat bahwa hadits musykil adalah hadits yang tidak dapat dengan jelas dipahami tanpa menyertakan penjelasan lain, seperti hadits-hadits yang kandungannya berisi tentang hal-hal yang berkaitan dengan Dzat Allah, sifat-sifat maupun perbuatan-Nya yang menurut akal tidak layak dikenakan penisbatannya kepada-Nya kecuali setelah dilakukan ta’wil terhadap haditst-haditst tersebut.



C. Contoh Hadits Yang Tampak Bertentangan

Sebagai contoh adalah dua hadits shahih di bawah ini:


لَا عَدْوَى ولا طِيَرَةَ ولا هامة ....(رواه البخاري و مسليم)



“Tidak ada penyakit yang menularan, ramalan jelek, reinkarnasi roh yang telah meninggal ke burung hantu.....” (HR. Bukhari dan Muslim).



Secara lahirnya bertentangan dengan hadits:


فِرَّ من المَجْذُوْمِ كما تفرمن الاسد (رواه البخارى ومسلم)



"Larilah dari orang yang sakit lepra, sebagaimana kamu lari dari singa…” (HR. Bukhari dan Muslim).



Para ulama mencoba mengkompromikan dua hadits ini, antara lain[5]:

1. Ibnu Al-Shalih menta’wilkan bahwa penyakit itu tidak dapat menular dengan sendirinya. Tetapi Allah-lah yang menularkannya dengan perantaraan (misalnya) adanya percampuran dengan orang yang sakit, melalui sebab-sebab yang berbeda-besa.

2. Al-Qadhi Al-Baqillani berpendapat bahwa ketetapan adanya penularan dalam penyakit lepra dan semisalnya itu, adalah merupakan kekhususan bagi ketiadaan penularan. Dengan demikian arti rangkaian kalimat, “la ‘adwa” itu, selain penyakit lepra dan semisalnya. Jadi seolah-olah Rasul Saw, mengatakan: “Tak ada suatu penyakit pun yang menular, selain apa yang telah kami terangkan apa saja yang dapat menular”.



D. Sebab–sebab yang Melatarbelakangi Adanya Hadits Mukhtalif

Nabi Muhammad adalah sumber ilmu bagi sahabat. Beliau sering diminta petunjuknya dalam kehidupan sehari-hari oleh sahabat. Hal ini berlangsung selama kehidupan Nabi. Segala persoalan sahabat beliau berikan penyelesaian dengan tuntas. Nasehat yang diberikan kepada seseorang kadangkala belum dipahami secara penuh oleh sahabat. Di samping itu sahabat juga mengamati perbuatan rasul dalam kehidupan sehari-hari. Sebagian sahabat melihat perbuatan rasul dalam kaitannya dengan sebuah ibadah sekilas bertentangan dengan hadis yang disampaikannya dengan lisan. Sehingga pemahaman yang tidak secara komprehensif ini menjadikan dua buah hadits dalam tema yang sama seolah bertentangan[6].

Dan lebih rincinya faktor-faktor yang dapat menyebabkan hadits mukhtalif adalah sebagai berikut:

1. Faktor Internal, yaitu berkaitan dengan internal dari redaksi hadits tersebut. Biasanya terdapat ‘illat (cacat) di dalam hadits tersebut yang nantinya kedudukan hadits tersebut menjadi dha’if. Dan secara otomatis hadits tersebut ditolak ketika hadits tersebut berlawanan dengan hadits shahih.

2. Faktor Eksternal, yaitu faktor yang disebabkan oleh konteks penyampaian dari Nabi, yang mana menjadi ruang lingkup dalam hal ini adalah waktu, dan tempat di mana Nabi menyampaikan haditsnya.

3. Faktor Metodologi, yakni berkaitan dengan bagaimana cara dan proses seseorang memahami hadits tersebut. Ada sebagian dari hadits yang dipahami secara tekstual dan belum secara kontekstual, yaitu dengan kadar keilmuan dan kecenderungan yang dimiliki oleh seorang yang memahami hadits, sehingga memunculkan hadits-hadits yang mukhtalif.

4. Faktor Ideologi, yakni berkaitan dengan ideologi atau manhaj suatu madzhab dalam memahami suatu hadits, sehingga memungkinkan terjadinya perbedaan dengan berbagai aliran yang sedang berkembang.

E. Metode Penyelesaian Hadits Mukhtalif

1. Metode al-Jam’u wa at-Taufiq

Metode ini dinilai lebih baik daripada melakukan tarjih (mengumpulkan salah satu dari dua hadits yang tampak bertentangan). Metode al-jam’u wa at-taufiq ini tidak berlaku bagi hadits–hadits dha’îf (lemah) yang bertentangan dengan hadits–hadits yang shahih.

Contoh aplikasi dari metode al-jam’u wa at-taufiq adalah hadits tentang cara berwudhu Rasulullah Saw,. Hadits pertama menyatakan bahwa Rasulullah Saw. berwudhu dengan cara membasuh wajah dan kedua tangannya, serta mengusap kepala satu kali, sebagaimana tampak dalam hadits berikut ini:


حَدَّثَنَا الْرَّبِيْعُ ، قَالَ : أَخْبَرَنَا الْشَّافِعِيُّ ، قَالَ : أَخْبَرَنَا عَبْدُ الْعَزِيزِ بْنُ مُحَمَّدٍ ، عَنْ زَيْدِ بْنِ أَسْلَمَ ، عَنْ عَطَاءِ بْنِ يَسَارٍ ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَضَّأَ وَجْهَهُ وَيَدَيْهِ ، وَمَسَحَ بِرَأْسِهِ مَرَّةً مَرَّةً. اختلاف الحديث – ج ١ ص ٦



“Ar-Rabi’ telah bercerita kepada kami, dia berkata: Imam asy-Syafi’i memberi kabar kepada kami, Ia berkata: Abdul Aziz ibn Muhammad telah memberi kabar kepada kami dari Zaid ibn Aslam dari Atha’ ibn Yasar dari Ibnu Abbas bahwa Rasulullah Saw. berwudhu membasuh wajah dan kedua tangannya, serta mengusap kepala satu kali-satu kali (H.R. asy-Syafi’i)”.



Sementara dalam riwayat lain dinyatakan bahwa Nabi Saw. berwudhu dengan membasuh wajah dan kedua tangannya, serta mengusap kepala tiga kali, sebagaimana terbaca dalam hadits berikut ini:


أَخْبَرَنَا الْشَّافِعِيُّ ، قَالَ : أَخْبَرَنَا سُفْيَانُ بْنُ عُيَيْنَةَ ، عَنْ هِشَامِ بْنِ عُرْوَةَ ، عَنْ أَبِيهِ ، عَنْ حُمْرَانَ مَوْلَى عُثْمَانَ بْنِ عَفَّانَ ، أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَوَضَّأَ ثَلاَثًا ثَلاَثًا.اختلاف الحديث – ج ١ ص٧



“Imam Asy-Syafi’i telah memberi kabar kepada kami, dia berkata Sufyan ibn ‘Uyainah telah memberi kabar kepada kami, dari Hisyam bin ‘Urwah dari ayahnya, dari Hamran maula “Utsman ibn ‘Affan bahwa Nabi Saw. berwudhu dengan mengulangi tiga kali (dalam membasuh dan mengusap)”. (HR Asy-Syafi’i).



Kedua riwayat tersebut tampak bertentangan, namun keduanya sama-sama shahih dan akhirnya diselesaikan dengan metode al-Jam’u wa at-Taufîq dengan komentar Imam asy-Syafi’i dalam kitab Ikhtilaf al- Hadits :


قَالَ الشَّافِعِيُّ: وَلاَ يُقَالُ لِشَيْءٍ مِنْ هَذِهِ الأَحَادِيثِ: مُخْتَلِفٌ مُطْلَقًا، وَلَكِنَّ الْفِعْلَ فِيهَا يَخْتَلِفُ مِنْ وَجْهِ أَنَّهُ مُبَاحٌ لاِخْتِلاَفِ الْحَلاَلِ وَالْحَرَامِ ، وَالأَمْرِ وَالنَّهْيِ، وَلَكِنْ يُقَالُ: أَقَلُّ مَا يَجْزِي مِنَ الْوُضُوءِ مَرَّةٌ، وَأَكْمَلُ مَا يَكُونُ مِنَ الْوُضُوءِ ثَلاَثٌ. اختلاف الحديث – ج ١ ص٧



Dengan terjemahan bebasnya adalah Imam asy-Syafi’i berkata: “Hadits-hadits itu tidak bisa dikatakan sebagai hadits yang benar–benar kontradiktif. Akan tetapi bisa dikatakan bahwa berwudhu dengan membasuh wajah dan kedua tangannya, serta mengusap kepala satu kali, sudah mencukupi/memadai, sedangkan yang lebih sempurna dalam berwudhu adalah mengulanginya tiga kali (dalam hal membasuh wajah dan mengusap tangan serta mengusap kepala)“.



2. Metode Tarjih

Metode ini dilakukan setelah upaya kompromi tidak memungkinkan lagi. Maka seorang peneliti perlu memilih dan mengunggulkan mana di antara hadits-hadits yang tampak bertentangan yang kualitasnya lebih baik. Sehingga hadits yang lebih berkualitas itulah yang dijadikan dalil.

Harus diakui bahwa ada beberapa matan (teks) hadits yang saling bertentangan. Bahkan ada juga yang benar-benar bertentangan dengan al-Quran. Antara lain adalah hadits tentang nasib bayi perempuan yang dikubur hidup-hidup akan berada di neraka. Sebagai contoh adalah hadits berikut ini:
الْوَائِدَةُ وَالْمَوْؤُودَةُ فِي النَّارِ

“Perempuan yang mengubur bayi hidup-hidup dan bayinya akan masuk neraka”. (HR Abu Dawud).



Hadits tersebut diriwayatkan oleh imam Abu Dawud dari Ibnu Mas’ud dan Ibn Abi Hatim. Konteks munculnya hadits tersebut (Sabab Wurudnya) adalah bahwa Salamah Ibn Yazid al-Ju’fi pergi bersama saudaranya menghadap Rasulullah Saw,. Seraya bertanya: “Wahai Rasul sesungguhnya saya percaya Malikah itu dahulu orang yang suka menyambung silaturrahmi, memuliakan tamu, tetapi ia meninggal dalam keadaan jahiliyah. Apakah amal kebaikannya itu bermanfaat baginya? Nabi menjawab: Tidak. Kami berkata: dahulu ia pernah mengubur saudaranya perempuanku hidup-hidup di zaman Jahiliyah. Apakah amal akan kebaikannya bermanfaat baginya? Nabi menjawab: orang yang mengubur anak perempuannya hidup-hidup dan anak yang dikuburnya berada di neraka, kecuali jika perempuan yang menguburnya itu masuk Islam, lalu Allah memaafkannya. Demikian hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan an- Nasa’i, dan dinilai sebagai hadits hasan secara sanad oleh Imam Ibnu Katsir.

Hadits tersebut dinilai musykil dari sisi matan dan mukhtalif dengan al-Quran surat at-Takwir/81: 8-9 :
وَإِذَا الْمَوْءُودَةُ سُئِلَتْ بِأَيِّ ذَنْبٍ قُتِلَتْ

“Dan apabila bayi–bayi perempuan yang dikubur hidup-hidup ditanya, karena dosa apakah dia dibunuh?”



Kalau seorang perempuan yang mengubur bayinya itu masuk ke neraka dapat dikatakan logis, tetapi ketika sang bayi yang tidak tahu apa-apa itu juga masuk ke neraka, masih perlu adanya tinjauan ulang. Maka dari itu, hadits tersebut harus ditolak meskipun sanadnya hasan, dan juga karena adanya pertentangan dengan hadits lain yang lebih kuat nilainya, yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad. Nabi pernah ditanya oleh paman Khansa’, anak perempuan al- Sharimiyyah: Ya Rasul, siapa yang akan masuk surga? Beliau menjawab: Nabi Muhammad Saw. akan masuk surga, orang yang mati syahid juga akan masuk surga, anak kecil juga akan masuk surga, anak perempuan yang dikubur hidup-hidup juga akan masuk surga. (HR. Ahmad.)



3. Metode Nasikh-Mansukh

Jika ternyata hadits tersebut tidak mungkin ditarjih, maka para ulama menempuh metode nasikh-mansukh (pembatalan). Maka akan dicari makna hadits yang lebih datang terlebih dahulu dan makna hadits yang datang kemudian. Otomatis yang datang lebih awal di-naskh dengan yang datang kemudian.

Secara bahasa naskh bisa berarti menghilangkan (al-izalah), bisa pula berarti al-naql (memindahkan). Sedangkan secara istilah naskh berarti penghapusan yang dilakukan oleh Syari’ (pembuat syari’at; yakni Allah dan Rasulullah Saw.) terhadap ketentuan hukum syari’at yang datang terlebih dahulu dengan dalil syar’i yang datang kemudian. Dengan definisi tersebut, berarti bahwa hadits-hadits yang sifatnya hanya sebagai penjelasnya (bayan) dari hadits yang bersifat global atau hadits-hadits yang memberikan ketentuan khusus (takhsish) dari hal-hal yang sifatnya umum, tidak dapat dikatakan sebagai hadits nasikh (yang menghapus).

Namun perlu diingat bahwa proses naskh dalam hadits hanya terjadi di saat nabi Muhammad Saw. masih hidup. Sebab yang berhak menghapus ketentuan hukum syara’, sesungguhnya hanyalah Syari’, yakni Allah dan Rasulullah s.a.w.. Naskh hanya terjadi ketika pembentukan syari’at sedang berproses. Artinya, tidak akan terjadi setelah ada ketentuan hukum yang tetap (ba’da istiqrar al-hukm).

Salah satu contoh dua hadits yang saling bertentangan dan bisa diselesaikan dengan metode nasikh-mansukh adalah hadits tentang hukum makan daging kuda:


“أَخْبَرَنَا كَثِيرُ بْنُ عُبَيْدٍ قَالَ حَدَّثَنَا بَقِيَّةُ عَنْ ثَوْرِ بْنِ يَزِيدَ عَنْ صَالِحِ بْنِ يَحْيَى بْنِ الْمِقْدَامِ بْنِ مَعْدِي كَرِبَ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ عَنْ خَالِدِ بْنِ الْوَلِيدِ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ أَكْلِ لُحُومِ الْخَيْلِ وَالْبِغَالِ وَالْحَمِيرِ وَكُلِّ ذِي نَابٍ مِنْ السِّبَاعِ”

“حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ وَنَصْرُ بْنُ عَلِيٍّ قَالَا حَدَّثَنَا سُفْيَانُ عَنْ عَمْرِو بْنِ دِينَارٍ عَنْ جَابِرٍ قَالَ أَطْعَمَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لُحُومَ الْخَيْلِ وَنَهَانَا عَنْ لُحُومِ الْحُمُرِ”.



Dua hadits di atas terlihat saling bertantangan, hadits pertama berisi tentang larangan makan daging kuda yang sekaligus menjadikan ia haram. Hadits kedua menunjukkan kebolehan memakan daging kuda. Pertentangan ini tidak boleh tidak, hatus dihilangkan dengan cara naskh. Hukum keharaman makan daging kuda pada hadits pertama telah di-naskh-kan oleh hukum kobolehan makan daging kuda pada hadits Jabir ibn ‘Abdillah yang datang setelahnya.



4. Metode Ta’wil

Metode ini bisa menjadi salah satu alternatif baru dalam menyelesaikan hadits-hadits yang bertentangan. Sebagai contoh hadits tentang lalat. Hadits tersebut dinilai kontradiktif dengan akal dan teori kesehatan. Sebab lalat merupakan serangga yang sangat berbahaya dan bisa menyebarkan penyakit. Lalu bagaimana mungkin Nabi s.a.w. menyuruh supaya menenggelamkan lalat yang hinggap di minuman? Demikian kurang lebih keraguan dan penolakan Taufiq Shidqi terhadap kebenaran hadits tentang lalat sebagaimana dikutip G.H.A. Juynboll. Hadits tersebut :


حَدَّثَنَا خَالِدُ بْنُ مَخْلَدٍ حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ بْنُ بِلَالٍ قَالَ حَدَّثَنِي عُتْبَةُ بْنُ مُسْلِمٍ قَالَ أَخْبَرَنِي عُبَيْدُ بْنُ حُنَيْنٍ قَالَ سَمِعْتُ أَبَا هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ يَقُولُ: قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا وَقَعَ الذُّبَابُ فِي شَرَابِ أَحَدِكُمْ فَلْيَغْمِسْهُ ثُمَّ لِيَنْزِعْهُ فَإِنَّ فِي إِحْدَى جَنَاحَيْهِ دَاءً وَالْأُخْرَى شِفَاءً



“Khalid Ibn Makhlad bercerita kepada kami, Sulaiman ibn Bilal bercerita kepada kami, dia berkata: Uthbah ibn Muslim telah bercerita kepadaku, dia berkata, Ubaidah ibn Hunain berkata: saya mendengar Abu Hurairah berkata: Rasulullah s.a.w. bersabda: apabila ada lalat jatuh dalam minuman salah seorang kalian, maka hendaklah ia membenamkannya sekalian, lalu buanglah lalat tersebut. Sesungguhnya pada salah satu sayapnya terdapat penyakit, sedang pada sayap yang lain terdapat penawar (obat)”. (HR al-Bukhari).



Selintas hadits tersebut memang tidak masuk akal dan kontradiksi dengan teori kesehatan. Namun ternyata hasil penelitian dari sejumlah peneliti muslim di Mesir dan Saudi Arabia terhadap masalah ini, justru membuktikan lain. Mereka membuat minuman yang dimasukkan kedalam beberapa bejana yang terdiri dari air, madu dan juice, kemudian dibiarkan terbuka agar dimasuki lalat. Setelah lalat masuk kedalam beberapa minuman tersebut, mereka melakukan komparasi penelitian, antara minuman yang ke dalamnya dibenamkan lalat dan tidak dibenamkan. Ternyata melalui pengamatan mikroskop diperoleh hasil bahwa minuman yang dihinggapi lalat dan yang tidak dibenamkan dipenuhi dengan banyak kuman dan mikroba, sementara minuman yang dihinggapi lalat justeru tidak dijumpai sedikitpun minuman dan mikroba. Ini adalah sebuah penelitian ilmiah dan semakin membuktikan kebenaran hadits tersebut secara ilmiah meskipun pada awalnya dari zhahir hadits terlihat mempunyai pertentangan dengan ilmu kesehatan[7].

Sebenarnya masih terdapat metode dalam penyelesaian hadits mukhtalif yang mana biasa disebut metode tawaqquf. Namun ditengarai ketika orang menggunakan metode ini terkesan hanya membiarkan saja tanpa ada usaha untuk melakukan komparasi dengan penelitian lebih lanjut. Oleh karenanya lebih cenderung menggunakan metode ta’wîl daripada menggunakan metode tawaqquf. Karena setiap sumber perkataan Nabi pasti mengandung sebuah makna dan tujuan sehingga bagaimanapun juga kita harus mengungkap makna yang tersirat di dalamnya.

 
 
 
BAB III
PENUTUP



1. Kesimpulan

Ilmu mukhtalif al-hadits, ilmu musykil al-hadits, ilmu ta’wil al-hadits, ilmu talfiq al-hadits, dan ilmu ikhtiaf al-hadits merupakan istilah yang memiliki pengertian yang sama, yakni ilmu yang berusaha untuk mempertemukan (talfiq al-hadits) dua atau lebih hadits yang bertentangan maknanya. Adapun cara-cara mengkompromikan hadits tersebut adakalanya dengan men-taqyid kemutlakan hadits, men-takhish keumumannya, atau adakalanya dengan memilih sanad yang lebih kuat atau yang lebih banyak datangnya. Ilmu ini sangat dibutuhkan oleh ulama hadits, ulama fiqh, dan lain-lain. Adapun Metode Penyelesaian Hadits Mukhtalif, ialah Metode al-Jam’u wa at-Taufiq, Metode Tarjih, Metode Nasikh-Mansukhdan Metode Ta’wil.

2. Saran

Dari uraian diatas, kami menyadari bahwa makalah yang kami buat ini masih terdapat banyak kesalahan dan masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, jika pembaca menemukan kesalahan dan kekurangan dalam makalah ini dengan senang hati kami menerima saran maupun kritik dari pembaca demi sempurnanya materi dalam makalah ini.




BAB IV
DAFTAR PUSTAKA



Subhi As-Shalih, 2000, Membahas Ilmi-Ilmu Hadis, Jakarta: Pustaka Firdaus.

Munzier Suparta, 2002, Ilmu Hadits, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Ilyas Husti, 2007, Studi Ilmu Hadits, Pekanbaru: Yayasan Pustaka Riau Bekerjasama dengan Lembaga Penelitian dan Pengembangan UIN SUSKA RIAU.

http://efrizalmalalak.blogspot.com/2010/05/hadis-mukhtalif.html

http://nanangsoehendar.blogspot.com/2012/03/ilmu-mukhtalif-al-hadits-wa-musykiluh.html



--------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------
[1] Subhi As-Shalih, Membahas Ilmi-Ilmu Hadis, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000, hal. 104
[2] Munzier Suparta, Ilmu Hadits, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002, hal. 42
[3] Munzier Suparta, Ibid., hal. 45
[4] Ilyas Husti, Studi Ilmu Hadits, Pekanbaru: Yayasan Pustaka Riau Bekerjasama dengan Lembaga Penelitian dan Pengembangan UIN SUSKA RIAU, 2007, hal. 13
[5] Munzier Suparta, op. cit., hal. 44
[6] http://efrizalmalalak.blogspot.com/2010/05/hadis-mukhtalif.html
[7] http://nanangsoehendar.blogspot.com/2012/03/ilmu-mukhtalif-al-hadits-wa-musykiluh.html

0 komentar:

Posting Komentar