Senin, 18 Februari 2013

MUHKAM DAN MUTASYABIH

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang

Memahami makna Al-Quran berarti mampu menangkap makna dan pesan-pesan ilahiyah yang terkandung didalamnya. Pemahaman itu akan dijadikan oleh umat manusia dalam menjalani kehidupan didunia ini. Diantar isi Al-Quran ada yang dapat dipahami dengan mudah karena ia memilki makna yang jelas (muhkam). Ayat yang seperti ini cenderung menimbulkan keseragaman Umat Islam dalam memahami dan mengamalkannya.

Selain itu terdapat pula lafal atau ayat yang memiliki makna yang tidak pasti dan tidakjelas. Namun, orang tetap dapat memahaminya secara zhanni. Dalam menafsirkan ayat sepert ini, para ulama cenderung berbeda pendapat yang konsekuensinya membawa perbedaan dalam pengamalan. Hal inilah diantara faktor-faktor penyebab yang menimbulkan perbedaan mazhab dan keraguan umat islam dalam mengamalkan ajaran agamanya.

Penjelasan diatas dapatlah kita sipmpulkan bawa Al-Qur’an jika di lihat dari aspek maknanya dapat diklasikfikasikan kepada dua hal. Yaitu Muhkam (ayat yang mempunyai makna yang tidak jelas) dan Mutasyabihat ayat yang mempunai makna yang tidak jelas. Selain itu, terdapat pula lafal-lafal yang terkandung dalam Al-Qur’an yang tidak mungkin diketahui sama sekali maknanya oleh manusia, seperti ayat yang terdiri dari huruf muqatht’ah (huruf potong) yang terdapat di awal sebagian surah.

Kajian terhadap makna ayat seperti inilah yang disebut dengan istilah muhkan wa mutasyabih. Yang akan kami bahas dalam makalah kelompok III ini.



1.2 Rumusan masalah


Dalam makalah ini, kami mencoba merumuskan beberapa permasalahan yang ingin dijelaskan, sesuai dengan silabus yang diberikan, diantaranya :

1. Apa yang dimaksud dengan muhkam dan mutasyabih?

2. Sebutkan bentuk-bentuk tau pembagian ayat-ayat Mutasyabih?

3. Jelaskan pendapat Ulama’ tentang penafsiran ayat-ayat Muhkam dan Mutasyabih?

4. Jelaskan Hikmah keberdaan ayat mutasyabih?



1.3 Tujuan

a. Tujuan Umum

Tujuan dari penulisan makalah ini unuk menyelesaikan tugas mata kuliah Study Al-Quran dan sebagai bahan masukan dan informasi bagi para pembaca.



b. Tujuan Khusus

Agar para pembaca dapat memeahami tentang Kejelasan Makna Al-Quran dalam Memahami Ayat-ayat Muhkam dan Mutasybih. Dan dengan makalah ini semoga dapat bermanfaat bagi pemakalah sebagai usaha mengaplikasikan ilmu pengetahuan yang di peroleh.



1.4 Metode

Metode yang kami lakukan di sini adalah dengan menggunakan Metode Pustaka, yaitu dengan mencari berbagai Referensi dari buku-buku dan internet, di mana alokasi yang di dapat yaitu Perpustakaan Fakultas Syari’ah UIN SUSKA, Perpustakaan UIN SUSKA, Perpustakaan Wilayah, Internet/google, dan Keterbatasan dari buku kami sendiri.





BAB II
PEMBAHASAN

“MUHKAM DAN MUTASYABIH

2.1 Pengertian Muhkam dan Mutasyabih Menurut Bahasa dan istilah.

A. Muhkam




Kata Muhkam merupakan isim maf’ul dari ahkama yang secara harfiah semakna dengan atqana atau mutqan yang berarti kuat atau dikuatkan. Selain itu Muhkam secara bahasa juga berarti wadhih (jelas). Sedangkan secara istilah[i] dapat diartikan kepada “ayat-ayat al-quran yang jelas maknanya, ia tidak mempunyai kemungkinan makna lain selain makna yang jelas itu”.[1]

Kata Muhkam dapat juga diartikan sebagai (sesuatu) yang di kokohkan. Ihkan al-kalam berarti mengokohkan perkataan dengan memisahkan berita yang benar dari yang salah, dan urusan yang lurus dan yang sesat. Jadi, kalam muhkam adalah perkataan yang seperti itu sifatnya. Dengan pengertian itulah Allah mensifati Qur’an bahwa seluruhnya adalah muhkam sebagaimana ditegaskan dalm firman-Nya:





“Alf Laam Ra’. (inilah) sebuah kitab yang ayat-ayatnya dimuhkmkan, dikokokhkan, serta dijelaskan secara rinci, diturunkan dari sisi (Allah) Yang Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui.” (QS.Hud {11}: 1)

“Alif Lam Ra’. Inilah ayat-ayat alqur’an yang mengandung hikmah” (QS. Yunus: 1).

“Al-Qur’an itu seluruhnya muhkam”, maksudnya Quran itu kata-katanya kokoh,fasih (indah dan jelas) dan membedakan antara yang haq dan yang bathil dan antara yang benar dan yang dusta,[2] sehingga Ungkapan didalam Al-quran berbeda dengan ungkapan lain baik prosa maupun puisi. Disamping itu, masih dalam pengertian ini, al-quran juga menjelaskan mana barang yang halal dan yang haram. Mana haluan yang lurus dan mana yang sesat.[3] Inilah yang dimaksud dengan Muhkam.

Di dalam buku Epistimologi Ilmu-ilmu Al-Quran memaparkan bahwa muhkam Menurut etomologi (bahasa) artinya suatu ungkapan yang dimaksud makna lahirnya tidak mungkin diganti atau diubah. Sedangkan menurut terminologi adalah ayat-ayat yang jelas dan tegas, mudah dipahami tanpa memerlukan pengkajian dan riset khusus.[4]



B. Mutasyabih

Mutasyabih adalah isim fa’il tasyabaha, yang semakna dengan mumathalah yang berarti serupa, samar-samar atau tidak jelas. Makna harfiyah nya mutasyabih adalah ayat-ayat Al-Quran yang belum jelas maknanya, ia memmpunyai beberapa kemungkinan makna yang tidak pasti, mana diantara makna-makna itu yang mesti digunakan dalam menafsirkan ayat bersangkutan.[5]

Mutasyabih secara bahasa bararti tasyabuh, yakni bila salah satu dari dua hal serupa dengan yang lain. Dan Syubhah ialah keadaan dimana salah satu dari dua hal itu tidak dapat dibedakan dari yang lain karena adanya kemiripan diantara keduanya secara konkrit maupun abstrak. Dikatakan pula Mutasyabih adalah mutamasail (sama) dalam perkataan dan keindahan. Jadi, tasyabih al-kalam adalah kesamaan dan kesesuaian perkataan, karena sebagiannya membetulkan sebagian yang lain. Dengan pengertian inilah Allah mensifati Al-Qur’an bahwa seluruhnya adalah mutasyabih, sebagaiman ditegaskan dalam Al-quran Qs. Az-Zumar: 23.

Dengan demikian “Al-Qur’an itu seluruhnya adalah mutasyabih”, maksudnya Al-Qur’an itu sebagian kandungannya serupa dengan sebagian yang lain dalam kesempurnaan dan keindahannya, dan sebagianya membenarkan sebagian yang lain serta sesuai pula maknanya. Inilah yang dimaksud dengan mutasyabih.[6]

Dalam kajian Ushul fiqhi, mutasyabih secara bahasa adalah sesuatu yang mempunyai kemiripan atau simapng siur. Secara istilah berdasarkan pendapat sebagian ulama’ adalah suatu lafadzh yang maknanya tidak jelas dan juga tidak ada penjelasan dari syara’, baik al-qur’an maupun as-sunnah. Sehingga tiddak bisa diketahui ole semua orang kecuali orang yang mendalam ilmu pengetahuannya. [7]

Kata Mutasyabih juga diartikan, menuerut etimologi (bahasa) adalah ungkapan yang dimaksud makna lahirnya samar. Secara terminologi adalah ayat-ayat yang mempunyai makna samar-samar dan berbagai kemungkinan arti.[8]



2.2 Pengertian Muhkam dan Mutasyabih Menurut Pendapat Ulama’ dan Ahli Tafsir




Ada beberapa pengertian yang dikemukakan oleh ulama’ dan ahli tafsir mengenai Muhkam, diantaranya:

1. Menurut As-Suyuthi, Muhkam adalah sesuatu yang telah jelas artinya, sedangkan Mutasyabih adalah sebaliknya.

2. Menurut Imam Ar-Razi, Muhkam adalah ayat-ayat yang dalalahnya kuat baik maksud maupun lafadznya, sedangkan Mutasyabih adalah ayat-ayat yang dalalahnya lemah, masih bersifat mujmal, memerlukan takwil dan sulit dipahami.[9]

3. Menurut Manna’ Al-Qaththan, muhkam adalah ayat yang maksudnya dpat diketahui secara langsung tanpa memerlukan keterangan lain, sedangkan Mutasyabih tidak seperti itu, ia memerlukan penjelasan dengan menunjuk kepada ayat lain.[10]

4. Menurut Al-Baidhawi dalam tafsirnya menjelaskan kata “Muhkamat” adalah ayat-ayat terpelihara dari ketidakjelasan makna dan terpelihara pula dari beberpa kemungkinan maksud, sedangkan mutasyabihat adalah sebaliknya, yaitu ayat-ayat yang tidak terpelihara dari ketidakjelasan makna dan tidak pula terpelihara dari beberapa kemungkinan maksud

5. Menurut Al-Ragib Al-Asfhani menyatakan bahwa ayat-ayat yang muhkamat tunjukan maknanya jelas tidak memerlukan pemahaman yang mendalam dalam upaya yang melelahkan, bila ayat tersebut dibaca dalalahnya segera dapat dipahami. Hal tersebut karena lafazh yang digunakan tidak mengandunng kemujmalan, dana kemungkinan makna yang mengandung keraguan.[11]

6. Menurut M. H. Thabathaba’i mengambil pendaoat yang mengatakan bahwa ayat muhkam adalah ayat yang maksudnya jelas, tidak ada ruang bagi kekeliruan. Sedangkan ayat Mutasyabih adalah ayat yang makna lahirnya bukanlah yang dimaksudkan, sedangkan makna hakikinya yang merupakan takwilnya tidak ada yang mengetahuinya kecuali Allah. Pendapat ini dikemukakan juga oleh Ulama’ Syi’ah.

7. Kelompok Muktazilah memahami bahwa ayat muhkam adalah ayat yang dapat langsung dicerna oleh akal dengan melihat teksnya, sedangkan ayat yang tidak dapat langsung dicerna oleh akal dikategorikan sebagai mutasyabih yang harus ditakwilkan.[12]

8. Menuerut para Mufassir, yaitu muhkam adalah ayat-ayat yang diketahui maksudnya, baik secara zahir (berdasarkan makna Zahir) maupun dengan cara menakwilkannya, sedangkan Mutasyabih adalah ayat-ayat yang tidak dapat diketahui manusia maknanya, hanya Allah yang tahu, seperti ayat mengenai berita tentang hari kiamat dan huruf-huruf potong (al-huruf al-muqath’ah) yang terdapat diawal surah .[13]



Jadi, dari pendapat-pendapat diatas maka dapat kita simpulkan bahwa ayat-ayat Al-Qura’an yang Muhkamat adalah ayat yang sudah jelas baik lafadz maupun maksudnya sehingga tidak menimbulkan keraguan dan kekeliruan bagi orang yang memahaminya. Ayat yang muhkamat ini tidak memerlukan takwil karena telah jelas. Lain halnya dengan ayat-ayat Mutasyabih. Ayat ayat yang Mutasyabih ini merupakan kumpulan ayat-ayat yang terdapat dalam Al-Qur’an yang masih belum jelas maksudnya, hal itu dikarenakan ayat mutasyabih bersifat mujmal (global) dia membutuhkan rincian lebih dalam. Selain bersifat mujmal ayat-ayat nya juga bersifat mu’awwal sehingga karena sifatnya ini seorang dapat mengetahhui maknanya setelah melakukan pentakwilan.[14]



2.3 Macam-macam Tasyabuh yang Terdapat dalam Al-Qur’an

Tasyabuh (kesamaran) yang terdapat dalam Al-Qur’an ada dua macam, yaitu:

1. Tasyabuh Hakiki

Yaitu hal-hal yang tidak mungkin diketahui oleh manusia, seperti hakekat sifat-sifat Allah ‘Azza wa jalla. Jadi, meskipun kita bisa mengetahui makna-makna sifat-sifat tersebut, akan tetapi kita tidak memahami hakekat dan kaifiyahnya.berdasarkan firman Allah Ta’ala QS. Thaahaa: 110

“sedang ilmu mereka tidak dapat meliputi ilmu-Nya” (QS. Thaha: 110)

Dan Firman allah Ta’ala,

“Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedangkan Dia dapat melihat segala penglihatan itu. Dan Dia Yang Maha Halus lagi Maha Mengetahui” (QS. Al-An’am: 103)

Oleh sebab itu, ketika imam malik Rahimatullah di tanya tentang Firman Allah:

“(Yaitu) Allah Yang Maha pemurah Yang bersemayam diatas Arasy” (Qs.Thaha: 5)

Bagaimana Allah beristiwa’? beliau menjawab,

“‘Istiwa’ itu tidak asing lagi, dan kaifiyahnya tidak di ketahui oleh akal, beriman kepaanya adalah wajib, dan bertanya tentangnya adalah bid’ah”

Dari jawaban Imam Malik ini, bisa dipahami bahwa kaifiyat istiwa adalah majhul tidak diketahui oleh kita, sedangkan makna istiwa’ sudah sama-sama kita ketahui.[15]



2. Tasyabuh Nisbi

Yaitu hal-hal yang samar bagi sebagian manusia,tetapi tidak samar bagi ebagian lainnya. Jadi, hal tersebut dapat dipahami oleh oran-orang yang kokh ilmunya, tetpai tidak dipahami oleh selain mereka. Hal semacam ini boleh ditanyakan penjabarannya dan penjelasaanya, karena memungkinkan untuk sampai kepada jawabannya. Sebaba tidak ada sesuatupun dalam Al-Qur’an ayat yang tidak dapat dipahami maknanya oleh anak manusia. Allah ta’ ala berfirman:

“ini adalah penjelasan bagi manusia serta petunjuk dan nasehat bagi orang-orang yang bertakwa”(Qs. Ali Imran: 138)

Dan Dia Berfirman:

“Apabila Kami telah selesai membacakannya, maka ikutilah bacaannyaitu. Kemudian,, sesungguhnya atas tanggungan Kamilah penjelasannya” (QS. Al-Qiyamah: 18-19)

Dan Firmannya:

“Wahai manusia, sunnguh telah datang kepadamu petunjuk dari rabbm, dan kami menurunkan kepadamu cahaya yang terang” (QS. An-Nisa: 174)[16]



2.4 Bentuk-bentuk atau Pembagian Ayat-ayat Mutasyabih

Ayat-ayat yang jelas dan terang maknanya, tidak kita bahas terlalu jauh, karena bila kita membacanya kita langsung dapat memahami kandungan isisnya. Akan tetapi, yang perlu kita bahas lebih jauh lagi adalah ayat-ayat mutasyabihat agar kita dapat mengetahui persoalannya.[17]

Ayat-ayat Mutasyabih memiliki tiga bentuk atau jenis[18], yaitu:

1) Mutasyabih dari segi lafal (kesamaran pada lafal)

Artinya, terdapat lafal tertentu dalam suatu ayat yang tidak pasti maknanya. Lafal ini ada dua macam kategori:

a. Kesamaran pada lafal tunggal (Mufard).

Adalah lafal-lafal mufrad yang artinya tidak jelas baik karena lafalnya Gharib (asing) maupun karena bermakna Musytarak (ganda). Contohnya:

ð Gharib ( QS.Abasa: 31 dan 32)

ð Musytarak (QS. As-Shaffat: 93)

b. Kesamaran pada lafal majemuk (Murakkab)

Bisa dikarenakan ringkasnya terlalu luas (Qs. An-Nisa:3)

“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, Maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya”.


atau karena susunan kalimatnya kurang tertib (QS. Al-Kahfi:1)[19]


“Segala puji bagi Allah yang Telah menurunkan kepada hamba-Nya Al Kitab (Al-Quran) dan dia tidak mengadakan kebengkokan[871] di dalamnya”.



2) Mutasyabih dari aspek Makna (Kesamaran Pada Makna Ayat)

Tentang pengertian sifat-sifat Allah, tentang masalah hari kiamat, bagaimana dan kapan terjadinya, kenikmatan kubur dan siksanya, nikmat surga dan neraka. Dimana Makna-makna seperti ini tidak dapat digambarkan secara konkret karena kejadiannya belum pernah dialamai oeh siapa pun dan tidak dapat dipahami oleh manusia larena terjangkau pada akal pikiran manusia.

3) Mutasyabih dari segi lafaz dengan makna (kesamaran pada lafaz dan makna ayat)

Mutasyabih pada lafaz dan makna ini memilki beberapa aspek, diantaranya:

a. Mutasyabih dari segi kuantitas (jumlah). Seperti masalah lafaz yang umum dan khusus. Jadi, Lafal-lafal umum yang terdapat dalam suatu ayat termasuk ayat mutasyabih, sebab ia mengandung ketidakjelasan makna, apakah ia diberlakukan secara umum atau diikhtiasrkan oleh ayat yang lain. Contoh. Pada QS. At-Taubah: 5

“Apabila sudah habis bulan-bulan Haram itu[630], Maka Bunuhlah orang-orang musyrikin itu dimana saja kamu jumpai mereka, dan tangkaplah mereka. Kepunglah mereka dan intailah ditempat pengintaian. jika mereka bertaubat dan mendirikan sholat dan menunaikan zakat, Maka berilah kebebasan kepada mereka untuk berjalan. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.

b. Mutasyabih dari segi kualitas (kaifiyat/cara). Seperti perintah wajib dan sunnah, contoh pada QS. Thaha: 14

“Sesungguhnya Aku Ini adalah Allah, tidak ada Tuhan (yang hak) selain aku, Maka sembahlah Aku dan Dirikanlah shalat untuk mengingat Aku”.



c. Mutasyabih dari segi Masa (waktu/zaman) seperti sampai kapan melaksanakan perbuatan (nasakh dan mansukh). Contoh QS. Ali-Imran: 112[20]

“ Mereka diliputi kehinaan di mana saja mereka berada, kecuali jika mereka berpegang kepada tali (agama) Allah dan tali (perjanjian) dengan manusia, dan mereka kembali mendapat kemurkaan dari Allah dan mereka diliputi kerendahan. yang demikian itu Karena mereka kafir kepada ayat-ayat Allah dan membunuh para nabi tanpa alasan yang benar. yang demikian itu disebabkan mereka durhaka dan melampaui batas”.



d. Mutasyabih dari segi Tempat. Seperti tempat dan suasana dimana ayat itu diturunkan.

e. Mutasyabih dari segi syarat-syarat melaksanakan sesuatu kewajiban, misalnya bagaiman syarat sahnya sholat, puasa, haji, nikah.[21]



2.5 Perbedaan/Pandangan Ulama’ tentang Ayat Mutasyabih

Pendapat pertama, menegaska tertutup kemungkinan bagi manusia memahami ayat-ayat yang menggambarkan sifat-sifat Allah dan huruf-huruf potong (al-huruf al muqathh’ah) yang terdpat diawal surah. Manusia cukup mengimaninya saja, bagaimana maksud dan maknanya cukup diserrahkan kepada Allah. Pendapat kedua menegaskan pula bahwa tidak ada ayat Al-quran yang tidak mungkin dapat diketahui maknanya oleh manusia. Oleh sbab itu, merka menakwilkan ayat-ayat mutasyabihat tersebut, termasuk diantarnya sifat-sifat Allah. An huruf huruf potong yang terdapat diawal surah. Menurut mereka, Al-Quran diturunkan untuk manusia, maka manusia tentu masti dapat memahamiya.

Perbedaan pendapat tersebut dilatar belakangi oleh perbedaan mereka memahami Qs.Ali-Imran :7. Yakni:

“Dialah yang enurunkan Al-kitab kepada kamu. Diantara (isi) nya dan ayat-ayat yang muhkamat, itulah pokok-pokok isi al-quran dan yang lain (ayat-ayat) mutasyabihat. Adapun orang-orang yng dalm hatinya condong kepada kesesatan.maka mereka mengikuti sebagian ayat-ayat yang mutasyabihat daripadanya untuk menimbulkan fitnah untuk mencari-cari takwilnya, padahal tidak ada yang mengetahui takwilna melainkan Allah. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyabihat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami. Dn tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yanf berakal” (QS. Ali-Imran: 7)[22]



Pendapat yang dianut oleh sejumlah ulama’, diantaranya Ubay bin Ka’ab, Ibnu Mas’ud, Ibnu Abbas, sejumlah sahabat dan Thabii dan lain-lain. Diantara mereka adalah bahwa Al-Hakim (sebagaimana termaktub didalam karyanya (Al-Mustadrak) dengan bersumber dari Ibnu Abbas, bahwa dia membaca “dan tidak ada yang mengetahui takwilnya selain Allah dan karena itu berkatalah orang-oang yang mendalam ilmunya: “kami percaya pada_Nya”. Di samping itu ayat tersebut mencela orang-orang yang hatinya berpenyakit, yakni memiliki kecondongan terhadap kesesatan sehingga suka berusaha untuk menebar fitnah. Juga menurut hadis riwayat Aisyah bahwa Rasullullah SAW membaca ayat seperti dikutip diatas sampai ulul asbab, kemudian beliau bersabda; bila kalian melihat orang yang mengikuti ayat-ayat mutasyabihat, mereka itulah yang disinyalir Allah, maka waspadalah terhadap mereka” (HR. Bukhari dan Muslim)

Pendapat serupa juga dianut oleh Nawawi yang dalam karyanya, syar muslim, mengatakan bahwa pendapat yang dianut mujtahid merupakan pendapat paling tepat, sebab tidak mungkin Allah menyeru hambanya (manusia) dengan sesuatu yang tidak dapat diketahui maksudnya oleh mereka.[23]

Di dalam Al-Qur’an memang banyak terdapat lafaz mutasyabihat yang maknanya serupa dengan apa yang dapat kita pahami scara zahir, namun pada hakikatnya tidaklah sama, nama-nama dan sifat Allah, mislnya meskipu secara zahir dan secara literal kelihaan serupa dengan nama dan sifat manusia, namun hakekat dan sifat Allah yang sebnarnya sama sekali tidak sama dengan hakikat dan sifat makhluknya. Para ulama’ dapat memahami betul makna zahir dan lafadz-lafadznya ittudan mereka dapat membeda-bedaknnya. Namun, mengenal takwil hakiki dari apa yang tersurat itu hanya diketahui Allah. Karena itu, seebagai contoh ketika imam malik ditaya tentang makna istawa dalam Al-Quran: (yaitu) Tuhan yang Maha Pemurah yang beristawa di Arasy. Dia menjawab: bahwa arti zahir dari kata istawa (bersemayam) telah kita ketahui. Namun mengenal bagaimana cara bersemayamnya, kita tidak mengetahuinya, kita hanya wajib mengimaninya. Namun bid’ah mananyainya. Pendapat serupa dikemukakan oleh Rabi’ah bin Abdu Rahman, guru Imam Malik.demikan juga tentang berita hari kemudian (hari kiama).[24] Ada Ulama’ yang mengatakan bahwa ayat-ayat mutasyabih itu dapat ditakwilkan oleh manusia, namun menurut sebagian besar ulama berpendapat bahwa ayat-ayat mutasyabih itu tidak dapat diketahui oleh seorangpun kecuali Allah. Menurut Ulama’ ini kita sebagai ciptaan allah tidak perlu mencari-cari takwil entang ayat-ayat mutasyabih, tetapi kta hrus menyerahkan persoalnnya kepada Allah semata.

Dari pendapat diatas, adalagi ulama yang berpendapat lain. Dalam hal ini Al-Raghib Al-Asfahani dia mengambil jalan tengah dari kedua pendapat diatas. Ar Raghib membagi ayat-ayat mutasyabih menjadi tiga bagian:

1. Ayat yang sama sekali tidak diketahui hakikatnya oleh manusia, seperti waktu tibanya hari kiamat

2. Ayat mutasyabih yang dapat diketahui oleh manusia (orang awam) dengan menggunakan berbagai sarana terutama kemmpuan akal pikiran

3. Ayat-ayat mutasyabih yang khusus hanya dapat diketahui maknaya oleh orang-orang yang ilmunya dalam dan tidak dapat diketahui oleh orang-orang selain mereka.

Demikianlah pokok-pokok yang merupakan pembahasan mufassirin didalam menafsirkan ayat Al-Quran yang mutasyabih. Sedangkan ayat-ayat yang mutasyabih tentang sifat-sifat Allah terdapat lagi perbedaan dikalangan ulama’:

Pertama, Mazhab Salaf mengimani sifat-sifat Mutasyabih dan menyerahkan maknanya kepada Allah swt. Pendapat ini didasari oleh ayat 5 surat Taha. Seperti yang dijelaskan diatas oleh Imam Malik,

Kedua, Mazhab Khallaf menyikapi sifat-sifat Mutasyabih Allah dengan menetapkan makna-makna bagi lafadz-lafaz yang menuntut lahirnya mustahil bagi Allah, dengan engertian yang layak bagi zat alla, golongan ini dinamakan juga dengan golongan Muawwalah.

Dari kedua pendapat diatas dapat disimpulakan bahwa kaum salaf mensucikan Allah dari makna Lahir lafaz dan menyerahkan hakikat maknanya kepada Allah, lain halnya dengan kaum Khallaf, mereka mengrtikan bahwa kata istiwa dengan Maha Berkuasa Allah dalam menciptakan segala sesuatu tanpa susah.

Untuk melengkapi pembahasan ini ada baiknya dipaparkan tentang beberaapa ayat Al-Quran yang menyebutkan sifat-sifat Mutasyabihatnya, seperti:

1. QS. Thaha ayat 5

Artinya Allah Maha Pengasih bersemayam diatas Arasy

2. QS. Al-Fajr ayat 2

Artinya dan datanglah kepada tuhanmu sedang para malaikat berbaris-baris.

3. QS. Al-An’am ayat 61

Artinya Dan Dialah yang mempunyai kekuasaan tertinggi diatas hamba-hamba-Nya.

4. QS. Ar-Rahman ayat 27

Artinya Dan tetap kekal wajah Tuhanmu

5. QS. Thaha ayat 39

Artinya Agar engkau diasuh diatas mataku

6. QS. Al-Fath ayat 10

Artinya Tangan Allah diatas tangan mereka

7. QS Ali-Imran ayat 28

Artinya Allah memperingatkan kamu terhadap diri-Nya



Demikianlah beberapa contoh ayat-ayat mutsyabih tentang sifat-sifat Allah dan masih banyak lagi ayat-ayat mengenai masalah ini yang belum sempat diungkapkan dalam makalah ini. Yang jelas pada ayat-ayat tersebut terdapat kata-kata bersemayam, datang, diatas, sisi, wajah, mata, tangan, dan diri yang dijadikan “Sifat Allah”. Kata-kata tersebut menunjukan keadaan, tempat, dan anggotayang layaknya dipakai bagi mahuk yang baru, misalnya manusia. Karena kata-kata tersebut dibangsakan yan Qadim (Allah) maka sulit dipahami akan maksud yang sebenarnya. Itulah sebabnya ayat-ayat tersebut dinamakan Mutasyabihah.[25]



2.6 Hikamah adanya Ayat Muhkam dan Mutasyabih dalam Al-Qur’an

Seandainya Al-Qur’an itu seluruhnya muhkam, pastilah akan hilang hikmah yang berupa ujian sebagai pembenaran juga sebagai usaha untuk memunculkan maknanya dan tidak adanya tempat untuk merubahnya, berpegang kepada ayat mutasyabihat akan menimbulkan fitnah dan mencari-cari ta;wilnya.[26]

Dan seandainya seluruh Al-Quran itu Mutasyabihat maka luputlah fungsinya sebagai penjelasan dan petunjuk bagi manusia, serta tdak memungkinkan untuk mengamalkannya dan membangun akidah yang lurus diatasnya.

Akan tetapi Allah dengan Hikmah-Nya menjadikan Al-Quran sebagiannya ayat-ayat muhkamat yang kepadanyalah dikembalikan ketika terjadi kesamaan, dan sebagian lainnya ayat-ayat mutasyabihat sebagai ujian bagi para hamba supaya terbedakan orang-orang yang jujur imannya dan orang-orang yang dalam hatinya pada kesesatan. Maka jika dia jujur atau benar imannya, dia akan mengetahui bahwa Al-Qur’an seluruhnya adalah dari sisi Allah SWT, sedangkan apa-apa yang datang dari sisi Allah pasti benar dan tidak mungkin didalamnya ada kebatilan dan pertentangan berdasarka firman Allah ta’ala:

“Tidak datang kepadanya ( Al-Quran ) kebatilan dari depannaya dan tidak pula dari belakangnya, dia Al-Qur’an di turunkan dari allah yang Maha bijaksana lagi Maha terpuji” ( QS. Fusshilaat: 42)

Dan Firman Allah SWT:

“Kalau kiranya itu bukan dari sisi Allah tentul mereka mendapati pertentangan yang banyak didalamnya” (QS. An-Nisa: 82)

Adapun orang-orang yang didalam hatinya ada kesesatan atau penyimpangan, maka mereka mengambil sebagian ayat-ayat mutasyabihat sebagai jalan untuk merubah yang muhkam dan mengikuti hawa nafsu dalam membuat-buat keraguan tentang kabar-kabar dan menganggap berat atas hukum-hukum. Oleh karena itu, kamu dapati kebanyakan orang yang menyimpang dalam hal akidah dan amal, mereka itu berhujjah dengan ayat-ayat mutasyabihat ini.[27]

Al-qur’an menggunakan lafal-lafal yang jelas sehingga orang dengan mudah dapat menjangkau maknanya, akan tetapi Al-Qur’an juga menggunakan lafal yang mempunyai makna yang tidak pasti, sehingga orang sulit memahaminya. Dan ketika memahaminya menimbulkan perbedaan-perbedaan pendapat. Seperti yang dijelaskan sebelumnya,

Hkmah atau manfaat bagi manusia ketika berhadapan dengan ayat-ayat mutasyabihat:

a. Memberikan ruang gerak yang luas kepada umat islam dalam persoalan pengamalan isi Al-Quran. Ia tidak memberikan ajaran yang kaku, tetapi fleksibel dan luwes. Seorang muslim tidak mesti berpegang kepada makna tertentu saja, tetapi dia boleh pula mengamalkannya berdasarkan makna lain yang masih berhubungan dengan lafal. Dengan demikian, Al-Quran akan terasa sebagai ajaran yang mengayomi manusia dan peduli dengan keadaan manusia sebagai hamba yang penuh dengan kelemahan dan permasalahan kehidupan.

b. Memberikan kesadaran kepada manusaia bahwa dirinya hamba yang lemah. Maka tidak semua permaslahan dapat dikaji, dipahami, dan diketahui olehnya. Maka ketika berhadapan dengan ayat-ayat tersebut, seharusnya keyakinan manusia terhadap kemahabesaran Allah akan semakin bertambah.

c. Ayat-ayat mutasyabihat adalah suatu uslub yang digunakan Al-Quran untuk menarik perhatian manusia terhadapnya. Ia menggunakan huruf-huruf potong, mislanya yang terdengar asing ­­­­­­­–terutama oleh masyarakat arab dan tidak pernah terdengar kata itu sebelum turunnya Al-Quran. Maka hal ini jelas dapat memancing perhatian mereka kepada Al-Quran. Pada mulanya perhatian tertuju kepada lafal asing tersebut, kemudian makna ayat berikutnya dan selanjutnya menimbulkan kesadaran diri atau keimanan. Maka itulah sebabnya, setelah huruf-huruf potong tersebut selalu diiringi oleh penjelasan mengenai Al-Quran seperti yang erlihat diawal QS. Al-Baqarah, QS. Ali-Imran, QS. Al-A’raf, QS. Yunus, QS. Huud, QS. Yusuf, QS. Ar-Ra’du, QS. Ibrahim, QS. Al-Hijr dan QS. Thaaha.[28]





BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Dari uraian tersebut, maka dapat kita simpulkan bahwa:

1. Muhkam adalah ayat-ayat yang sudah jelas maksudnya ketika kita membacanya, sedangkan ayat mutasyabih adalah ayat-ayat yang perlu ditakwilkan, dan setelah ditakwilkan barulah kita dapat memahami tentang maksud ayat-ayat itu

2. Ayat-ayat Mutasyabih adalah merupakan salah satu kajian dalam ilmu Al-Quran yang para ulama’ menilainya dengan alasan masing-masing menjadi dua macam yaitu pendapat Ulama Salaf dan Ulama Khallaf

3. Kita dapat mengatakan bahwa semua ayat Al-Qur’an itu muhkam jika maksud muhkam disitu adalah kuat dan kokoh, tetapi kita dapat pula mengatakan bahwa semua ayat itu mutasyabih jika yang dimaksud mutasyabih itu adalah kesamaan ayat-ayatnya dalam hal balagah dan i’jaznya.



3.2 Saran

Dalam penulisin ini, kami menyadari masih banyak terdapat kesalahan dan kekurangan. Oleh karena itu, kami sebagai pemakalah sangat menerima saran dan kritik yang membangun dari pembaca agar kedepannya menjadi lebih baik lagi.






DAFTAR PUSTAKA



Al-Khattan, Manna Khail. Study Ilmu-ilmu Al-Qur’an. Cet. 14. Bogor: Pustaka Litera AntarNusa, 2011

Al-Utsaimin, Muhammad bin Shalih. Ushul Fi At-Tafsir (Pengantar Ilmu Tafsir). Jakarta: Danis Sunnah Press, 2008

Anwar, Abu. Ulumul Qur’an sebuah Pengantar. Penerbit AMZAH Sinar Grafika Offset, 2009

Darbi, Ahmad. Ulumul Qur’an. Pekanbaru: Susqa Press, 2011

Jamaruddin, Ade dan Nur, Afrizal. Epistimologi Ilmu-Ilmu Al-Qur’an. Cet. I. Penerbit Hakim Publishing, Oktober 2011: Cimahi- Bandung

Syafi’ie, Rachmat. Ilmu Ushul Fiqhi. Bandung: Pustaka Setia, 2007

Yusuf, Kadar Muhammad. Study Al-Qur’an. Jakarta: AMZAH Sinar Grafika Offset, 2010

Zainu, Syaeikh Muhammad Jamil. Bagaimana Memahami Al-Qur’an. Cet. I. Jakarta: Pustak Al-kautsar, 2006




----------------------------------------------------------------------------------------
----------------------------------------------------------------------------------------
[1] Kadar Muhammad Yusuf. Study Qur’an. 2009: Penerbit AMZAH. Hlm 79-80
[2] Manna Khalil Al-Qattan. Study Ilmu-ilmu Al-Qur’an. Cet. 14. Bogor: Pustaka Litera AntarNusa, 2011 Hlm. 303-304
[3] Ade Jamaruddin dan Afrizal Nur. Epistimoligi Ilmu-Ilmu Al-Quran. Cet I. Penerbit Hakim. Bandung. Hlm 206-207
[4] ibid
[5] Kadar Muhammad Yusuf. Loc. Cit
[6] Manna Kholil Al-Qaththan. Loc. cit
[7] Rachmat Syafi’ie. Ilmu Ushul Fiqhi. Bandung: Pustaka Setia, 2007 Hlm 166
[8] Ade Jamaruddin dan Afrizal Nur. Loc. Cit
[9] Abu Anwar. Ulumul qur’an sebuah pengantar. Penerbit AMZAH, 2002 Hlm 78
[10] Manna Khalil Al-Qattan. Op Cit. Hlm 306
[11] Ahmad Darbi B. Ulumul Quran. Suska Press: Pekanbaru 2011. Hlm 100
[12] Ade Jamaruddin dan Afrizal nur. Loc Cit
[13] Kadar Muhammad Yusuf. Loc. Cit
[14] Abu Anwar. Loc. Cit
[15] Syaikh Muhammad Jamil Zainu. Bagaimana Memahami Al-Qur’an. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2006 Hlm 94-95
[16] Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin. Pengantar Ilmu Tafsir. Jakarta: Darus Sunnah Press, 2008 Hlm. 102-103
[17] Abu Anwar. Loc. Cit
[18] Kadar Muhammad Yusuf. Op. Cit . hlm 82
[19] Ibid Hlm 83
[20] Ade Jamaruddin dan Afrizal Nur. Op.cit hlm 205-227
[21] Ahmad Darbi B. Op. Cit Hlm 102
[22] Kadar Muhammad Yusuf. Op. Cit Hlm 86-87
[23] Ade Jamruddin dan Afrizal Nur. Op. Cit Hlm 228-229
[24] Manna’ Khalil Al-khattan. Op. Cit Hlm 310
[25] Abu Anwar. Op. Cit Hlm 83-85
[26] Syaikh Muhammad Jamil Zainu. Op. Cit Hlm 98
[27] Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin. Op. Cit Hlm 106-107
[28] Kadar Muhammad Yusuf. Op. Cit. Hlm 88-89

1 komentar:

  1. Hello, this is to inform to the general public, about the internet loan scam, it has really caused a lot of damage and it has brought some family into separation and agony. We are really fighting to bring those perpetrators to book. But will need your assistance, because without your help we cannot put an end to this internet scam. What we want from you now is for you to fill in the form below appropriately.

    Company Name:.............................................
    Company Proposed Address:........................
    Company Email Address:................................
    Total Amount Paid:.............................................
    Scan Receipt:.....................................................
    Name of Recipient:............................................
    Mode of Payment:..............................................

    Note: This information is for those who have been victimized by Nigerian citizens who pretends to be a loan lender whereas they are not. So the Nigeria Police and EFCC are working so hard to make sure this crime is brought to a halt. If you are lucky enough your money spent might be refunded back to you.
    Here we have only two credible lenders both locally and internationally, if you are really in need of a loan we can as well give you a better directive and advise to guide you in obtaining a better and a transparent transaction. You can contact us: nigerian.policeforce247@gmail.com
    interpol.hotmail247@gmail.com.


    BalasHapus