This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 6 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 7 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 8 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 9 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Senin, 18 Februari 2013

MUKHTALIF AL-HADITS

BAB I
PENDAHULUAN



Hadits diyakini oleh sebagian besar umat Islam sebagai sumber kedua ajaran agama Islam setelah al-Qur'an. Keyakinan ini mengharuskan umat Islam menjadikan hadits sebagai pedoman hidup, karena ia juga merupakan tuntunan Allah. Sebagai salah satu sumber ajaran Islam, secara prinsip hadits tidak mungkin bertentangan dengan dalil lain, baik dengan sesama hadits, sebab kebenaran tidak akan bertentangan dengan kebenaran. Seandainya ada pertentangan, maka hal itu hanya tampak di luarnya saja.

Berangkat dari prinsip ini, maka timbul upaya para ulama untuk menyelesaikan persoalan ketika mendapati teks-teks hadits yang tampak bertentangan. Hadits-hadits yang tampak bertentangan ini biasa disebut dengan istilah Ikhtilaf atau Mukhtalif al-Hadis.

Dengan demikian, ilmu ini akan membahas hadits-hadits yang secara lahiriah bertentangan, namun ada kemungkinan yang dapat diterima dengan syarat. Mungkin dengan cara membatasi kemutlakan atau keumumannya dan lainnya yang bisa disebut sebagai talfiq al-hadits[1].

Imam An-Nawawi berkata dalam at-taqrib: “Ini adalah salah satu ilmu dirayah yang terpenting. Semua ulama dari berbagai golongan perlu mengetahuinya.

Ilmu Mukhtalif Al-Hadits ini telah mendapat perhatian serius sejak masa sahabat, yang menjadi rujukan utama segala persoalan setelah Rasulullah. Kajian tentang hadits-hadits yang bertentangan ini merupakan hal yang sangat penting bagi para pengkaji hadis. Tidak ada yang mahir dalam bidang ini, kecuali imam hadits yang tajam analisisnya.

Berbagai hadits yang mukhtalif telah dihimpun oleh ulama dalam kitab-kitab khusus. Sejarah mencatat bahwa ulama yang mempelopori kegiatan penghimpunan itu adalah Imam al-Syafi`i dengan karyanya Ikhtilaf al-Hadis. Disusul kemudian oleh Ibn Qutaibah dengan kitabnya Ta'wil Mukhtalif al-Hadis. Lalu al-Thahawi dengan judul kitabnya Musykil al-Asar, kemudian Ibnu Khuzaimah, Ibn Jarir dan Ibn al-Jauzi.

Para ulama sependapat bahwa hadits-hadits yang tampak bertentangan harus diselesaikan sehingga hilanglah pertentangan itu. Hanya saja dalam menyelesaikan pertentangan tersebut, ulama berbeda pendapat. Makalah sederhana ini akan coba membahas meskipun sepintas bagaimana menyikapi hadits-hadits yang tampak bertentangan itu.






BAB II
MUKHTALIF AL-HADITS



A. Pengertian

Dalam kaidah bahasa Mukhtalif Al-Hadits adalah susunan dua kata benda (isim) yakni Mukhtalif dan Al-Hadits. Mukhtalif sendiri berasal dari kata ikhtalafa yang berarti perselisihan dua hal atau ketidaksesuaian dua hal, secara umum apabila ada dua hal yang bertentangan, hal tersebut bisa dikatakan mukhtalif atau ikhtila.

Dengan demikian, pengertian Mukhtalif secara bahasa adalah bertentangan atau berselisih. Mukhtalif AI-Hadits artinya hadits yang sampai kepada kita, namun saling bertentangan maknanya satu sama lain.

Sedangkan pengertian mukhtalif al-hadits secara istilah terdapat beberapa pengertian, diantaranya, Al-Qaththan mengartikan mukhtalif al-hadits sebagai hadits yang diterima, namun pada zahirnya kelihatan bertentangan dengan hadits maqbul lainnya dalam maknanya, sekalipun memungkinkan untuk dikompromikan antara keduanya. Sementara menurut Nuruddin 'Itr, hadits-hadits mukhtalif ialah hadis-hadis yang secara lahiriah bertentangan dengan kaidah-kaidah yang baku, sehingga mengesankan makna yang batil atau bertentangan dengan nas-nas syara’ yang lain.

Dalam kajian hadits, masalah ini dibahas oleh Ilmu Mukhtalîf al-Hadîs, salah satu cabang Ulum al-Hadis. Ilmu mukhtalif al-Hadis adalah Ilmu yang membahas hadits-hadits yang secara tekstual/lahiriah saling bertentangan, namun hakikatnya bisa dikompromikan, baik dengan cara memberi taqyid (batasan) kepada yang mutlaq (tak terbatas) atau memberi takhsis (pengkhususan) kepada yang `am (umum), atau membawanya kepada berbagai konteks peristiwa atau cara yang lain.





Menurut Ajjaj al-Khathib, bahwa pengertian Ilmu Mukhtalif Al-Hadits adalah:


الْعِلْمُ الَّذِيْ يَبْحَثُ فِى اْلأَحَادِيْثِ الَّتِيْ ظَاهِرُهَا مُتَعَارِضٌ فَيُزِيْلُ تَعَارُضَهَا أَوْ يُوَفِّقُ بَيْنَهَا كَمَا يَبْحَثُ فِى اْلأَحَادِيْثِ الَّتِيْ يَشْكُلُ فَهْمُهَا أَوْ تَصَوُّرُهَا فَيَدْفَعُ أَشْكَالَهَا وَيُوَضِّحُ حَقِيْقَتَهَا



“Ilmu yang membahas hadits-hadits yang menurut lahirnya saling bertentangan atau berlawanan, kemudian pertentangan tersebut dihilangkan atau dikompromikan antara keduanya, sebagaimana membahas hadits-hadits yang sulit dipahami kandungannya, dengan menghilangkan kesulitannya serta menjelaskan hakikatnya”[2].



Dari pengertian ini dapat dipahami, bahwa dengan menguasai ilmu mukhtalif al-hadits, hadits-hadits yang tampaknya bertentangan akan dapat diatasi dengan menghilangkan pertentengan dimaksud. Begitu juga dengan kemusykilan yang terlihat dalam suatu hadits, akan segera dapat dihilangkan dan ditemukan hakekat dari kandungan hadits tersebut.

Defenisi lain menyebutkan sebagai berikut:


علم يبحث عن الاحاديث التي ظاهرها التناقض من حيث امكان الجمع بينهاامابتقييد مطلقها اوبتخصيص عامها عامها اوحملها على تعدد الحادثة اوغيرذلك



“Ilmu yang membahas hadits-hadits yang menurut lahirnya saling bertentangan, karena adanya kemungkinan dapat dikompromikan, baik dengan cara mentaqyid kemutlakannya, atau mentakhsis keumumannya, atau dengan cara membawanya kepada beberapa kejadian yang relevan dengan hadits tersebut, dan lain-lain”.

Sebagian ulama menyamakan istilah ilmu mukhtalif al-hadits dengan ilmu musykil al-hadits, ilmu ta’wil al-hadits, ilmu talfiq al-hadits, dan ilmu ikhtiaf al-hadits. Akan tetapi yang dimaksudkan oleh istilah-istilah di atas, artinya sama.

Sasaran ilmu ini mengarah pada hadits-hadits yang saling berlawanan untuk dikompromikan kandungannya dengan jalan membatasi (taqyid) kemutlakannya dan seterusnya. Atau yang dalam kitab Manhal al-Lathif biasa disebut al-ahadits allati mutadhadan fi al-ma’na bi hasabi azh-zhahiry. Ilmu ini tidak akan muncul kecuali dari orang yang menguasai hadits dan fiqih. Disebutkan bahwa Imam asy-Syafi`i (w. 204 H) adalah ulama yang memelopori munculnya disiplin ilmu mukhtalif al-hadits. Hal ini terlihat dalam karya besarnya “al-Umm”, meskipun beliau tidak secara khusus mengarang kitab mukhtalif al-hadits, tetapi di dalam kitab al-Umm beliau mencantumkan pembahasan khusus tentang mukhtalif al-hadits[3].

Jadi, ilmu ini berusaha untuk mempertemukan (talfiq al-hadits) dua atau lebih hadits yang bertentangan maknanya. Adapun cara-cara mengkompromikan hadits tersebut adakalanya dengan men-taqyid kemutlakan hadits, men-takhish keumumannya, atau adakalanya dengan memilih sanad yang lebih kuat atau yang lebih banyak datangnya. Ilmu ini sangat dibutuhkan oleh ulama hadits, ulama fiqh, dan lain-lain.




B. Seputar Ilmu Mukhtalif Al-hadits

Dalam penjelasan mengenai ilmu ini, akan berkaitan dengan hadits-hadits mukhtalif, atau bisa disebut sebagai objek kajian daripada disiplin ilmu ini. Oleh karenanya perlu adanya penjelasan tentang hadits mukhtalif tersebut.

Hadits mukhtalif adalah hadits-hadits yang mengalami pertentangan satu sama lain. Namun di antara pertentangan itu hanya terdapat pada zhahirnya saja, dan ketika ditelusuri sebenarnya masih memungkinkan untuk dikompromikan. Sementara menurut Nuruddin ‘Itr, hadits-hadits mukhtalif ialah hadits-hadits yang secara lahiriah bertentangan dengan kaedah-kaedah yang baku, sehingga mengesankan makna yang batil atau bertentangan dengan nash-nash syara’ yang lain. Atau lebih jelasnya tentang mukhtalif ini adalah adanya peretentangan dengan al-Quran, akal, sejarah, atau ilmu pengetahuan dan sains modern.

Ilmu mukhtalif al-hadits ini muncul atas usaha para ulama setelah Rasul wafat karena mengingat bangsa-bangsa yang bukan arab memeluk Islam serta banyanya orang yang kurang memahami istilah atau lafadz-lafadz tertentu yang gharib atau yang sukar dipahaminya.

Para ulama berusaha menjelaskan apa yang dikandung oleh kata-kata gharib itu dengan mensyarahkannya secara khusus hadits-hadits yang terdapat kata-kata gharib. Diantara ulama yang menyusun hadits-hadits yang gharib ialah Abu Ubaidah Ma’mar bin Matsna al-Timimi al-Bisri (w. 210 H) dan Abu al-Hasan bin Ismail al-Mahdini al-Nahawi (w. 204 H) salah satu kitab yang terbaik yang ada sekarang ini, adalah kitab “al-Nihayah fi gharib al-Hadits” karya al-Atsir[4].

Dan yang termasuk dalam pengertian hadits mukhtalif adalah hadits-hadits yang sulit dipahami (musykil). Dr. Abu al-Layth mendefinisikan hadits musykil sebagai hadits maqbul (shahih dan hasan) yang tersembunyi maksudnya karena adanya sebab dan hanya diketahui setelah merenungkan maknanya atau dengan adanya dalil yang lain. Dinamakan musykil karena maknanya yang tidak jelas dan sukar dipahami oleh orang yang bukan ahlinya.

Ibn Furak (w. 406 H.) dalam kitabnya yang berjudul Musykil al-Hadits wa Bayanuh, berpendapat bahwa hadits musykil adalah hadits yang tidak dapat dengan jelas dipahami tanpa menyertakan penjelasan lain, seperti hadits-hadits yang kandungannya berisi tentang hal-hal yang berkaitan dengan Dzat Allah, sifat-sifat maupun perbuatan-Nya yang menurut akal tidak layak dikenakan penisbatannya kepada-Nya kecuali setelah dilakukan ta’wil terhadap haditst-haditst tersebut.



C. Contoh Hadits Yang Tampak Bertentangan

Sebagai contoh adalah dua hadits shahih di bawah ini:


لَا عَدْوَى ولا طِيَرَةَ ولا هامة ....(رواه البخاري و مسليم)



“Tidak ada penyakit yang menularan, ramalan jelek, reinkarnasi roh yang telah meninggal ke burung hantu.....” (HR. Bukhari dan Muslim).



Secara lahirnya bertentangan dengan hadits:


فِرَّ من المَجْذُوْمِ كما تفرمن الاسد (رواه البخارى ومسلم)



"Larilah dari orang yang sakit lepra, sebagaimana kamu lari dari singa…” (HR. Bukhari dan Muslim).



Para ulama mencoba mengkompromikan dua hadits ini, antara lain[5]:

1. Ibnu Al-Shalih menta’wilkan bahwa penyakit itu tidak dapat menular dengan sendirinya. Tetapi Allah-lah yang menularkannya dengan perantaraan (misalnya) adanya percampuran dengan orang yang sakit, melalui sebab-sebab yang berbeda-besa.

2. Al-Qadhi Al-Baqillani berpendapat bahwa ketetapan adanya penularan dalam penyakit lepra dan semisalnya itu, adalah merupakan kekhususan bagi ketiadaan penularan. Dengan demikian arti rangkaian kalimat, “la ‘adwa” itu, selain penyakit lepra dan semisalnya. Jadi seolah-olah Rasul Saw, mengatakan: “Tak ada suatu penyakit pun yang menular, selain apa yang telah kami terangkan apa saja yang dapat menular”.



D. Sebab–sebab yang Melatarbelakangi Adanya Hadits Mukhtalif

Nabi Muhammad adalah sumber ilmu bagi sahabat. Beliau sering diminta petunjuknya dalam kehidupan sehari-hari oleh sahabat. Hal ini berlangsung selama kehidupan Nabi. Segala persoalan sahabat beliau berikan penyelesaian dengan tuntas. Nasehat yang diberikan kepada seseorang kadangkala belum dipahami secara penuh oleh sahabat. Di samping itu sahabat juga mengamati perbuatan rasul dalam kehidupan sehari-hari. Sebagian sahabat melihat perbuatan rasul dalam kaitannya dengan sebuah ibadah sekilas bertentangan dengan hadis yang disampaikannya dengan lisan. Sehingga pemahaman yang tidak secara komprehensif ini menjadikan dua buah hadits dalam tema yang sama seolah bertentangan[6].

Dan lebih rincinya faktor-faktor yang dapat menyebabkan hadits mukhtalif adalah sebagai berikut:

1. Faktor Internal, yaitu berkaitan dengan internal dari redaksi hadits tersebut. Biasanya terdapat ‘illat (cacat) di dalam hadits tersebut yang nantinya kedudukan hadits tersebut menjadi dha’if. Dan secara otomatis hadits tersebut ditolak ketika hadits tersebut berlawanan dengan hadits shahih.

2. Faktor Eksternal, yaitu faktor yang disebabkan oleh konteks penyampaian dari Nabi, yang mana menjadi ruang lingkup dalam hal ini adalah waktu, dan tempat di mana Nabi menyampaikan haditsnya.

3. Faktor Metodologi, yakni berkaitan dengan bagaimana cara dan proses seseorang memahami hadits tersebut. Ada sebagian dari hadits yang dipahami secara tekstual dan belum secara kontekstual, yaitu dengan kadar keilmuan dan kecenderungan yang dimiliki oleh seorang yang memahami hadits, sehingga memunculkan hadits-hadits yang mukhtalif.

4. Faktor Ideologi, yakni berkaitan dengan ideologi atau manhaj suatu madzhab dalam memahami suatu hadits, sehingga memungkinkan terjadinya perbedaan dengan berbagai aliran yang sedang berkembang.

E. Metode Penyelesaian Hadits Mukhtalif

1. Metode al-Jam’u wa at-Taufiq

Metode ini dinilai lebih baik daripada melakukan tarjih (mengumpulkan salah satu dari dua hadits yang tampak bertentangan). Metode al-jam’u wa at-taufiq ini tidak berlaku bagi hadits–hadits dha’îf (lemah) yang bertentangan dengan hadits–hadits yang shahih.

Contoh aplikasi dari metode al-jam’u wa at-taufiq adalah hadits tentang cara berwudhu Rasulullah Saw,. Hadits pertama menyatakan bahwa Rasulullah Saw. berwudhu dengan cara membasuh wajah dan kedua tangannya, serta mengusap kepala satu kali, sebagaimana tampak dalam hadits berikut ini:


حَدَّثَنَا الْرَّبِيْعُ ، قَالَ : أَخْبَرَنَا الْشَّافِعِيُّ ، قَالَ : أَخْبَرَنَا عَبْدُ الْعَزِيزِ بْنُ مُحَمَّدٍ ، عَنْ زَيْدِ بْنِ أَسْلَمَ ، عَنْ عَطَاءِ بْنِ يَسَارٍ ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَضَّأَ وَجْهَهُ وَيَدَيْهِ ، وَمَسَحَ بِرَأْسِهِ مَرَّةً مَرَّةً. اختلاف الحديث – ج ١ ص ٦



“Ar-Rabi’ telah bercerita kepada kami, dia berkata: Imam asy-Syafi’i memberi kabar kepada kami, Ia berkata: Abdul Aziz ibn Muhammad telah memberi kabar kepada kami dari Zaid ibn Aslam dari Atha’ ibn Yasar dari Ibnu Abbas bahwa Rasulullah Saw. berwudhu membasuh wajah dan kedua tangannya, serta mengusap kepala satu kali-satu kali (H.R. asy-Syafi’i)”.



Sementara dalam riwayat lain dinyatakan bahwa Nabi Saw. berwudhu dengan membasuh wajah dan kedua tangannya, serta mengusap kepala tiga kali, sebagaimana terbaca dalam hadits berikut ini:


أَخْبَرَنَا الْشَّافِعِيُّ ، قَالَ : أَخْبَرَنَا سُفْيَانُ بْنُ عُيَيْنَةَ ، عَنْ هِشَامِ بْنِ عُرْوَةَ ، عَنْ أَبِيهِ ، عَنْ حُمْرَانَ مَوْلَى عُثْمَانَ بْنِ عَفَّانَ ، أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَوَضَّأَ ثَلاَثًا ثَلاَثًا.اختلاف الحديث – ج ١ ص٧



“Imam Asy-Syafi’i telah memberi kabar kepada kami, dia berkata Sufyan ibn ‘Uyainah telah memberi kabar kepada kami, dari Hisyam bin ‘Urwah dari ayahnya, dari Hamran maula “Utsman ibn ‘Affan bahwa Nabi Saw. berwudhu dengan mengulangi tiga kali (dalam membasuh dan mengusap)”. (HR Asy-Syafi’i).



Kedua riwayat tersebut tampak bertentangan, namun keduanya sama-sama shahih dan akhirnya diselesaikan dengan metode al-Jam’u wa at-Taufîq dengan komentar Imam asy-Syafi’i dalam kitab Ikhtilaf al- Hadits :


قَالَ الشَّافِعِيُّ: وَلاَ يُقَالُ لِشَيْءٍ مِنْ هَذِهِ الأَحَادِيثِ: مُخْتَلِفٌ مُطْلَقًا، وَلَكِنَّ الْفِعْلَ فِيهَا يَخْتَلِفُ مِنْ وَجْهِ أَنَّهُ مُبَاحٌ لاِخْتِلاَفِ الْحَلاَلِ وَالْحَرَامِ ، وَالأَمْرِ وَالنَّهْيِ، وَلَكِنْ يُقَالُ: أَقَلُّ مَا يَجْزِي مِنَ الْوُضُوءِ مَرَّةٌ، وَأَكْمَلُ مَا يَكُونُ مِنَ الْوُضُوءِ ثَلاَثٌ. اختلاف الحديث – ج ١ ص٧



Dengan terjemahan bebasnya adalah Imam asy-Syafi’i berkata: “Hadits-hadits itu tidak bisa dikatakan sebagai hadits yang benar–benar kontradiktif. Akan tetapi bisa dikatakan bahwa berwudhu dengan membasuh wajah dan kedua tangannya, serta mengusap kepala satu kali, sudah mencukupi/memadai, sedangkan yang lebih sempurna dalam berwudhu adalah mengulanginya tiga kali (dalam hal membasuh wajah dan mengusap tangan serta mengusap kepala)“.



2. Metode Tarjih

Metode ini dilakukan setelah upaya kompromi tidak memungkinkan lagi. Maka seorang peneliti perlu memilih dan mengunggulkan mana di antara hadits-hadits yang tampak bertentangan yang kualitasnya lebih baik. Sehingga hadits yang lebih berkualitas itulah yang dijadikan dalil.

Harus diakui bahwa ada beberapa matan (teks) hadits yang saling bertentangan. Bahkan ada juga yang benar-benar bertentangan dengan al-Quran. Antara lain adalah hadits tentang nasib bayi perempuan yang dikubur hidup-hidup akan berada di neraka. Sebagai contoh adalah hadits berikut ini:
الْوَائِدَةُ وَالْمَوْؤُودَةُ فِي النَّارِ

“Perempuan yang mengubur bayi hidup-hidup dan bayinya akan masuk neraka”. (HR Abu Dawud).



Hadits tersebut diriwayatkan oleh imam Abu Dawud dari Ibnu Mas’ud dan Ibn Abi Hatim. Konteks munculnya hadits tersebut (Sabab Wurudnya) adalah bahwa Salamah Ibn Yazid al-Ju’fi pergi bersama saudaranya menghadap Rasulullah Saw,. Seraya bertanya: “Wahai Rasul sesungguhnya saya percaya Malikah itu dahulu orang yang suka menyambung silaturrahmi, memuliakan tamu, tetapi ia meninggal dalam keadaan jahiliyah. Apakah amal kebaikannya itu bermanfaat baginya? Nabi menjawab: Tidak. Kami berkata: dahulu ia pernah mengubur saudaranya perempuanku hidup-hidup di zaman Jahiliyah. Apakah amal akan kebaikannya bermanfaat baginya? Nabi menjawab: orang yang mengubur anak perempuannya hidup-hidup dan anak yang dikuburnya berada di neraka, kecuali jika perempuan yang menguburnya itu masuk Islam, lalu Allah memaafkannya. Demikian hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan an- Nasa’i, dan dinilai sebagai hadits hasan secara sanad oleh Imam Ibnu Katsir.

Hadits tersebut dinilai musykil dari sisi matan dan mukhtalif dengan al-Quran surat at-Takwir/81: 8-9 :
وَإِذَا الْمَوْءُودَةُ سُئِلَتْ بِأَيِّ ذَنْبٍ قُتِلَتْ

“Dan apabila bayi–bayi perempuan yang dikubur hidup-hidup ditanya, karena dosa apakah dia dibunuh?”



Kalau seorang perempuan yang mengubur bayinya itu masuk ke neraka dapat dikatakan logis, tetapi ketika sang bayi yang tidak tahu apa-apa itu juga masuk ke neraka, masih perlu adanya tinjauan ulang. Maka dari itu, hadits tersebut harus ditolak meskipun sanadnya hasan, dan juga karena adanya pertentangan dengan hadits lain yang lebih kuat nilainya, yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad. Nabi pernah ditanya oleh paman Khansa’, anak perempuan al- Sharimiyyah: Ya Rasul, siapa yang akan masuk surga? Beliau menjawab: Nabi Muhammad Saw. akan masuk surga, orang yang mati syahid juga akan masuk surga, anak kecil juga akan masuk surga, anak perempuan yang dikubur hidup-hidup juga akan masuk surga. (HR. Ahmad.)



3. Metode Nasikh-Mansukh

Jika ternyata hadits tersebut tidak mungkin ditarjih, maka para ulama menempuh metode nasikh-mansukh (pembatalan). Maka akan dicari makna hadits yang lebih datang terlebih dahulu dan makna hadits yang datang kemudian. Otomatis yang datang lebih awal di-naskh dengan yang datang kemudian.

Secara bahasa naskh bisa berarti menghilangkan (al-izalah), bisa pula berarti al-naql (memindahkan). Sedangkan secara istilah naskh berarti penghapusan yang dilakukan oleh Syari’ (pembuat syari’at; yakni Allah dan Rasulullah Saw.) terhadap ketentuan hukum syari’at yang datang terlebih dahulu dengan dalil syar’i yang datang kemudian. Dengan definisi tersebut, berarti bahwa hadits-hadits yang sifatnya hanya sebagai penjelasnya (bayan) dari hadits yang bersifat global atau hadits-hadits yang memberikan ketentuan khusus (takhsish) dari hal-hal yang sifatnya umum, tidak dapat dikatakan sebagai hadits nasikh (yang menghapus).

Namun perlu diingat bahwa proses naskh dalam hadits hanya terjadi di saat nabi Muhammad Saw. masih hidup. Sebab yang berhak menghapus ketentuan hukum syara’, sesungguhnya hanyalah Syari’, yakni Allah dan Rasulullah s.a.w.. Naskh hanya terjadi ketika pembentukan syari’at sedang berproses. Artinya, tidak akan terjadi setelah ada ketentuan hukum yang tetap (ba’da istiqrar al-hukm).

Salah satu contoh dua hadits yang saling bertentangan dan bisa diselesaikan dengan metode nasikh-mansukh adalah hadits tentang hukum makan daging kuda:


“أَخْبَرَنَا كَثِيرُ بْنُ عُبَيْدٍ قَالَ حَدَّثَنَا بَقِيَّةُ عَنْ ثَوْرِ بْنِ يَزِيدَ عَنْ صَالِحِ بْنِ يَحْيَى بْنِ الْمِقْدَامِ بْنِ مَعْدِي كَرِبَ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ عَنْ خَالِدِ بْنِ الْوَلِيدِ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ أَكْلِ لُحُومِ الْخَيْلِ وَالْبِغَالِ وَالْحَمِيرِ وَكُلِّ ذِي نَابٍ مِنْ السِّبَاعِ”

“حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ وَنَصْرُ بْنُ عَلِيٍّ قَالَا حَدَّثَنَا سُفْيَانُ عَنْ عَمْرِو بْنِ دِينَارٍ عَنْ جَابِرٍ قَالَ أَطْعَمَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لُحُومَ الْخَيْلِ وَنَهَانَا عَنْ لُحُومِ الْحُمُرِ”.



Dua hadits di atas terlihat saling bertantangan, hadits pertama berisi tentang larangan makan daging kuda yang sekaligus menjadikan ia haram. Hadits kedua menunjukkan kebolehan memakan daging kuda. Pertentangan ini tidak boleh tidak, hatus dihilangkan dengan cara naskh. Hukum keharaman makan daging kuda pada hadits pertama telah di-naskh-kan oleh hukum kobolehan makan daging kuda pada hadits Jabir ibn ‘Abdillah yang datang setelahnya.



4. Metode Ta’wil

Metode ini bisa menjadi salah satu alternatif baru dalam menyelesaikan hadits-hadits yang bertentangan. Sebagai contoh hadits tentang lalat. Hadits tersebut dinilai kontradiktif dengan akal dan teori kesehatan. Sebab lalat merupakan serangga yang sangat berbahaya dan bisa menyebarkan penyakit. Lalu bagaimana mungkin Nabi s.a.w. menyuruh supaya menenggelamkan lalat yang hinggap di minuman? Demikian kurang lebih keraguan dan penolakan Taufiq Shidqi terhadap kebenaran hadits tentang lalat sebagaimana dikutip G.H.A. Juynboll. Hadits tersebut :


حَدَّثَنَا خَالِدُ بْنُ مَخْلَدٍ حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ بْنُ بِلَالٍ قَالَ حَدَّثَنِي عُتْبَةُ بْنُ مُسْلِمٍ قَالَ أَخْبَرَنِي عُبَيْدُ بْنُ حُنَيْنٍ قَالَ سَمِعْتُ أَبَا هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ يَقُولُ: قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا وَقَعَ الذُّبَابُ فِي شَرَابِ أَحَدِكُمْ فَلْيَغْمِسْهُ ثُمَّ لِيَنْزِعْهُ فَإِنَّ فِي إِحْدَى جَنَاحَيْهِ دَاءً وَالْأُخْرَى شِفَاءً



“Khalid Ibn Makhlad bercerita kepada kami, Sulaiman ibn Bilal bercerita kepada kami, dia berkata: Uthbah ibn Muslim telah bercerita kepadaku, dia berkata, Ubaidah ibn Hunain berkata: saya mendengar Abu Hurairah berkata: Rasulullah s.a.w. bersabda: apabila ada lalat jatuh dalam minuman salah seorang kalian, maka hendaklah ia membenamkannya sekalian, lalu buanglah lalat tersebut. Sesungguhnya pada salah satu sayapnya terdapat penyakit, sedang pada sayap yang lain terdapat penawar (obat)”. (HR al-Bukhari).



Selintas hadits tersebut memang tidak masuk akal dan kontradiksi dengan teori kesehatan. Namun ternyata hasil penelitian dari sejumlah peneliti muslim di Mesir dan Saudi Arabia terhadap masalah ini, justru membuktikan lain. Mereka membuat minuman yang dimasukkan kedalam beberapa bejana yang terdiri dari air, madu dan juice, kemudian dibiarkan terbuka agar dimasuki lalat. Setelah lalat masuk kedalam beberapa minuman tersebut, mereka melakukan komparasi penelitian, antara minuman yang ke dalamnya dibenamkan lalat dan tidak dibenamkan. Ternyata melalui pengamatan mikroskop diperoleh hasil bahwa minuman yang dihinggapi lalat dan yang tidak dibenamkan dipenuhi dengan banyak kuman dan mikroba, sementara minuman yang dihinggapi lalat justeru tidak dijumpai sedikitpun minuman dan mikroba. Ini adalah sebuah penelitian ilmiah dan semakin membuktikan kebenaran hadits tersebut secara ilmiah meskipun pada awalnya dari zhahir hadits terlihat mempunyai pertentangan dengan ilmu kesehatan[7].

Sebenarnya masih terdapat metode dalam penyelesaian hadits mukhtalif yang mana biasa disebut metode tawaqquf. Namun ditengarai ketika orang menggunakan metode ini terkesan hanya membiarkan saja tanpa ada usaha untuk melakukan komparasi dengan penelitian lebih lanjut. Oleh karenanya lebih cenderung menggunakan metode ta’wîl daripada menggunakan metode tawaqquf. Karena setiap sumber perkataan Nabi pasti mengandung sebuah makna dan tujuan sehingga bagaimanapun juga kita harus mengungkap makna yang tersirat di dalamnya.

 
 
 
BAB III
PENUTUP



1. Kesimpulan

Ilmu mukhtalif al-hadits, ilmu musykil al-hadits, ilmu ta’wil al-hadits, ilmu talfiq al-hadits, dan ilmu ikhtiaf al-hadits merupakan istilah yang memiliki pengertian yang sama, yakni ilmu yang berusaha untuk mempertemukan (talfiq al-hadits) dua atau lebih hadits yang bertentangan maknanya. Adapun cara-cara mengkompromikan hadits tersebut adakalanya dengan men-taqyid kemutlakan hadits, men-takhish keumumannya, atau adakalanya dengan memilih sanad yang lebih kuat atau yang lebih banyak datangnya. Ilmu ini sangat dibutuhkan oleh ulama hadits, ulama fiqh, dan lain-lain. Adapun Metode Penyelesaian Hadits Mukhtalif, ialah Metode al-Jam’u wa at-Taufiq, Metode Tarjih, Metode Nasikh-Mansukhdan Metode Ta’wil.

2. Saran

Dari uraian diatas, kami menyadari bahwa makalah yang kami buat ini masih terdapat banyak kesalahan dan masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, jika pembaca menemukan kesalahan dan kekurangan dalam makalah ini dengan senang hati kami menerima saran maupun kritik dari pembaca demi sempurnanya materi dalam makalah ini.




BAB IV
DAFTAR PUSTAKA



Subhi As-Shalih, 2000, Membahas Ilmi-Ilmu Hadis, Jakarta: Pustaka Firdaus.

Munzier Suparta, 2002, Ilmu Hadits, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Ilyas Husti, 2007, Studi Ilmu Hadits, Pekanbaru: Yayasan Pustaka Riau Bekerjasama dengan Lembaga Penelitian dan Pengembangan UIN SUSKA RIAU.

http://efrizalmalalak.blogspot.com/2010/05/hadis-mukhtalif.html

http://nanangsoehendar.blogspot.com/2012/03/ilmu-mukhtalif-al-hadits-wa-musykiluh.html



--------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------
[1] Subhi As-Shalih, Membahas Ilmi-Ilmu Hadis, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000, hal. 104
[2] Munzier Suparta, Ilmu Hadits, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002, hal. 42
[3] Munzier Suparta, Ibid., hal. 45
[4] Ilyas Husti, Studi Ilmu Hadits, Pekanbaru: Yayasan Pustaka Riau Bekerjasama dengan Lembaga Penelitian dan Pengembangan UIN SUSKA RIAU, 2007, hal. 13
[5] Munzier Suparta, op. cit., hal. 44
[6] http://efrizalmalalak.blogspot.com/2010/05/hadis-mukhtalif.html
[7] http://nanangsoehendar.blogspot.com/2012/03/ilmu-mukhtalif-al-hadits-wa-musykiluh.html

SURAT DAN AYAT

SURAT DAN AYAT

Secara bahasa surat mempunyai beberapa makna, antara lain:
1.      Tingkatan atau martabat. Barang siapa yang membaca al-qur’an akan mendapat martabat, khususnya di bidang ilmu pengetahuan
2.      Tanda atau alamat. Yaitu sebagai tanda awal surat dan akhir surat
3.      Gedung yang tinggi dan indah. Dimana surat itu diibaratkan seperti gedung yang tinggi, karena di dalam alqur’an terdapat berbagai macam ilmu pengetahuan sebagaimana gedung yang tinggi lagi indah terdapat berbagai macam barang-barang
4.      Sesuatu yang sempurna atau lengkap
5.      Susunan sesuatu atas lainnya yang bertingkat-tingkat, karena adanya hubungan antara satu surat dengan surat yang lainnya

Secara istilah menurut Manan al-Qathan, surat ialah sekumpulan ayat al-qur’an yang mempunyai tempat bermula sekaligus tempat berhenti (berakhir).

Ayat secara bahasa merupakan lafadz yang memiliki beberapa makna, antara lain:
1.      Ayat berarti alamat (tanda)
2.      Ayat berarti al-Ibrah (pelajaran)
3.      Ayat berarti al-Burhan (bukti/keterangan)

Secara istilah ayat ialah satu jumlah yang terdiri dari kalam Allah yang terhimpun dalam suatu surat dari al-qur’an.

Menurut si’ah surat dalam al-qur’an terdiri dari 116 surat, mereka menganggap mushaf ‘Utsmani tidak lengkap. Mereka mengatakan ada 2 surat yang tercecer yang tida termasuk ke dalam mushaf ‘Utsmani, yaitu: الخفد سورة dan الخلع سورة.


Cara menentukan surah Makkiyah dan surah Madniyah:
1.      Dari segi tempat
a.       Surat atau ayat makkiyah adalah surat atau ayat yang diturunkan di Makkah
b.      Surat atau ayat madniyah adalah surat atau ayat yang diturunkan di Madinah
2.      Dari segi sasaran
a.       Surat atau ayat makkiyah adalah surat atau ayat yang sasaran khitabnya ditunjukkan kepada penduduk Mekkah. Sedangkan
b.      Surat atau ayat madniyah adalah surat atau ayat yang sasaran khitabnya ditunjukkan kepada penduduk Madinah
3.      Dari segi masa
a.       Surat atau ayat makkiyah adalah surat atau ayat yang diturunkan sebelum Nabi hijrah ke Madinah. Sedangkan
b.      Surat atau ayat madniyah adalah surat atau ayat yang diturunkan sesudah Nabi hijrah ke Madinah, sekalipun suray atau ayat itu diturunkan di Makkah

Ciri-ciri surat makkiyah dan surat madniyah:
a.       Surat/ayat makkiyah memiliki ciri-ciri sebagai berikut: Pendek-pendek; Nada perkataannya keras tapi agak bersajak; Pada umumnya berisi tentang tauhid, akhlak, surga, neraka; Khitabnya kepada manusia secara umum; Di dalamnya terdapat sajadah; Berisi kisah di dalamnya, kecuali kisah yang ada di dalam surat al-baqarah; Diawali dengan potongan huruf hijaiyyah, kecuali al-baqarah dan ali imran; Di dalamnya terdapat lafadz sumpah.
b.      Surat/ayat madniyah memiliki ciri-ciri sebagai berikut: Panjang-panjang; Berisi masalah ibadah, munakahat, hukum, sosial kemasyarakatan; Menceritakan orang-orang munafik, ahli kitab; Sasarannya selalu ditunjukksn kepada orang-orang mukmin

SEJARAH PEMELIHARAAN AL-QUR'AN


SEJARAH PEMELIHARAAN AL-QUR’AN

Dalam pembahasan Pemeliharaan Al-Qur’an, ada 3 istilah yang sangat dikenal, yaitu: Jam’ul Qur’an, Kitabah Al-Qur’an, dan Tadwin Al-Qur’an.
Jam’ul Qur’an adalah pengumpulan al-qur’an. Ulama dalam mengartikan Jam’ul Qur’an membagi kepada 2, yaitu:
-          Jam’u Fi Ash-Shudur, yaitu dimana pengumpulannya dalam bentuk hapalan para sahabat yang disimpan dalam dada
-          Jam’u Fi As-Suthur, yaitu pengumpulan al-qur’an dalam bentuk tulisan atau dicatat
Ciri-ciri tulisan al-qur’an pada masa khalifah Abu Bakar:
a.       Seluruh ayat al-qur’an ditulis dalam satu mushaf berdasarkan penelitian yang cermat
b.      Tidak termasuk di dalamnya ayat-ayat al-qur’an yang telah mansuh bacaannya
c.       Seluruh ayat al-qur’an yang tertulis di dalamnya telah diakui kemutawatirannya
Ciri-ciri mushaf pada masa ‘Utsman:
a.       Ayat-ayat alqur’an yang tertulis di dalamnya seluruhnya berdasarkan riwayat yang mutawatir berasar dari Nabi
b.      Tidak terdapat di dalamnya ayat-ayat al-qur’an yang telah mansuh bacaannya
c.       Surat dan ayyat telah disusun dengan tertib sebagaimana al-qur’an yang berada di tangan kita sekarang
d.      Tidak terdapat di dalamnya yang tidak tergolong kepada al-qur’an, seperti yang tertulis oleh sahabat Nabi dalam mushafnya sebagai penjelasan ayat-ayat tertentu
e.       Mushaf yang ditulis pada masa ‘Utsman mencakup tujuh huruf dimana al-qur’an diturunkan dengannya
Yang memberi tanda baca titik dan baris pada al-qur’an:
Pertama, Abul Ahmad ad Dual, memberikan baris pada al-qur’an. Beliau memberikan barisnya seperti ini:
·           ̣        ·   (( َُِ 
Kedua, Nashar bin Ashim  dan Yahya bin Yaman, mereka adalah yang memberikan titik pada al-qur’an, seperti   ح ج خ
Ketiga, Khalid bin Ahmad, beliu memperbaiki/mengubah baris yang sudah dibua oleh Abul Ahmad ad Dual menjadi
ء      ى           و     سس         حؤ

SEBAB-SEBAB TURUNNYA AL-QUR'AN (Sabab Nuzul)

SABAB AN-NUZUL

Secara bahasa Sababun Nuzul berarti Sebab-sebab turunnya ayat-ayat al-qur’an. Sedangkan secara istilah menurut Subhi Ash Shalih Sababun Nuzul adalah Sesuatu yang dengan sebabnya turun suatu ayat atau beberapa ayat yang mengandung sebab atau memberi jawaban terhadap sebab atau menerangkan hukumnya pada masa terjadinya sebab.
Sebab turunnya ayat al-qur’an terdapat pada dua bentuk sebab, yaitu:
a.       Dalam bentuk peristiwa
لا تقرب الصلاة وأنتم سكارى
b.      Dalam bentuk pertanyaan
يسئلونك عن الروح قل الروح من أمر ربي

Ungkapan redaksi sabab nuzul:
1.      Sabab nuzul disebutkan dengan ungkapan yang jelas
سبب نزول هذه الآية كذا..........
2.      Sabab nuzul tidak ditunjukkan dengan lafdz sebab, tapi dengan menyatakan فَ setelah pemaparan suatu kejadian/peristiwa
3.      Sabab nuzul secara pasti dipahami  secara nuzulnya sebab ini Rasul ditanya orang lalu ia diberi wahyu untuk menjawab pertanyaan itu
4.      Sebab nuzul tidak disebutkan dengan ungkapan secara jelas, tidak mengatakan dengan menggunakan ف, tidak pula berupa jawaban yang dibangun atas dasar pertanyaan akan tetapi dengan ungkapan
نزلت هذه الأية في كذا..........

MUHKAM DAN MUTASYABIH

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang

Memahami makna Al-Quran berarti mampu menangkap makna dan pesan-pesan ilahiyah yang terkandung didalamnya. Pemahaman itu akan dijadikan oleh umat manusia dalam menjalani kehidupan didunia ini. Diantar isi Al-Quran ada yang dapat dipahami dengan mudah karena ia memilki makna yang jelas (muhkam). Ayat yang seperti ini cenderung menimbulkan keseragaman Umat Islam dalam memahami dan mengamalkannya.

Selain itu terdapat pula lafal atau ayat yang memiliki makna yang tidak pasti dan tidakjelas. Namun, orang tetap dapat memahaminya secara zhanni. Dalam menafsirkan ayat sepert ini, para ulama cenderung berbeda pendapat yang konsekuensinya membawa perbedaan dalam pengamalan. Hal inilah diantara faktor-faktor penyebab yang menimbulkan perbedaan mazhab dan keraguan umat islam dalam mengamalkan ajaran agamanya.

Penjelasan diatas dapatlah kita sipmpulkan bawa Al-Qur’an jika di lihat dari aspek maknanya dapat diklasikfikasikan kepada dua hal. Yaitu Muhkam (ayat yang mempunyai makna yang tidak jelas) dan Mutasyabihat ayat yang mempunai makna yang tidak jelas. Selain itu, terdapat pula lafal-lafal yang terkandung dalam Al-Qur’an yang tidak mungkin diketahui sama sekali maknanya oleh manusia, seperti ayat yang terdiri dari huruf muqatht’ah (huruf potong) yang terdapat di awal sebagian surah.

Kajian terhadap makna ayat seperti inilah yang disebut dengan istilah muhkan wa mutasyabih. Yang akan kami bahas dalam makalah kelompok III ini.



1.2 Rumusan masalah


Dalam makalah ini, kami mencoba merumuskan beberapa permasalahan yang ingin dijelaskan, sesuai dengan silabus yang diberikan, diantaranya :

1. Apa yang dimaksud dengan muhkam dan mutasyabih?

2. Sebutkan bentuk-bentuk tau pembagian ayat-ayat Mutasyabih?

3. Jelaskan pendapat Ulama’ tentang penafsiran ayat-ayat Muhkam dan Mutasyabih?

4. Jelaskan Hikmah keberdaan ayat mutasyabih?



1.3 Tujuan

a. Tujuan Umum

Tujuan dari penulisan makalah ini unuk menyelesaikan tugas mata kuliah Study Al-Quran dan sebagai bahan masukan dan informasi bagi para pembaca.



b. Tujuan Khusus

Agar para pembaca dapat memeahami tentang Kejelasan Makna Al-Quran dalam Memahami Ayat-ayat Muhkam dan Mutasybih. Dan dengan makalah ini semoga dapat bermanfaat bagi pemakalah sebagai usaha mengaplikasikan ilmu pengetahuan yang di peroleh.



1.4 Metode

Metode yang kami lakukan di sini adalah dengan menggunakan Metode Pustaka, yaitu dengan mencari berbagai Referensi dari buku-buku dan internet, di mana alokasi yang di dapat yaitu Perpustakaan Fakultas Syari’ah UIN SUSKA, Perpustakaan UIN SUSKA, Perpustakaan Wilayah, Internet/google, dan Keterbatasan dari buku kami sendiri.





BAB II
PEMBAHASAN

“MUHKAM DAN MUTASYABIH

2.1 Pengertian Muhkam dan Mutasyabih Menurut Bahasa dan istilah.

A. Muhkam




Kata Muhkam merupakan isim maf’ul dari ahkama yang secara harfiah semakna dengan atqana atau mutqan yang berarti kuat atau dikuatkan. Selain itu Muhkam secara bahasa juga berarti wadhih (jelas). Sedangkan secara istilah[i] dapat diartikan kepada “ayat-ayat al-quran yang jelas maknanya, ia tidak mempunyai kemungkinan makna lain selain makna yang jelas itu”.[1]

Kata Muhkam dapat juga diartikan sebagai (sesuatu) yang di kokohkan. Ihkan al-kalam berarti mengokohkan perkataan dengan memisahkan berita yang benar dari yang salah, dan urusan yang lurus dan yang sesat. Jadi, kalam muhkam adalah perkataan yang seperti itu sifatnya. Dengan pengertian itulah Allah mensifati Qur’an bahwa seluruhnya adalah muhkam sebagaimana ditegaskan dalm firman-Nya:





“Alf Laam Ra’. (inilah) sebuah kitab yang ayat-ayatnya dimuhkmkan, dikokokhkan, serta dijelaskan secara rinci, diturunkan dari sisi (Allah) Yang Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui.” (QS.Hud {11}: 1)

“Alif Lam Ra’. Inilah ayat-ayat alqur’an yang mengandung hikmah” (QS. Yunus: 1).

“Al-Qur’an itu seluruhnya muhkam”, maksudnya Quran itu kata-katanya kokoh,fasih (indah dan jelas) dan membedakan antara yang haq dan yang bathil dan antara yang benar dan yang dusta,[2] sehingga Ungkapan didalam Al-quran berbeda dengan ungkapan lain baik prosa maupun puisi. Disamping itu, masih dalam pengertian ini, al-quran juga menjelaskan mana barang yang halal dan yang haram. Mana haluan yang lurus dan mana yang sesat.[3] Inilah yang dimaksud dengan Muhkam.

Di dalam buku Epistimologi Ilmu-ilmu Al-Quran memaparkan bahwa muhkam Menurut etomologi (bahasa) artinya suatu ungkapan yang dimaksud makna lahirnya tidak mungkin diganti atau diubah. Sedangkan menurut terminologi adalah ayat-ayat yang jelas dan tegas, mudah dipahami tanpa memerlukan pengkajian dan riset khusus.[4]



B. Mutasyabih

Mutasyabih adalah isim fa’il tasyabaha, yang semakna dengan mumathalah yang berarti serupa, samar-samar atau tidak jelas. Makna harfiyah nya mutasyabih adalah ayat-ayat Al-Quran yang belum jelas maknanya, ia memmpunyai beberapa kemungkinan makna yang tidak pasti, mana diantara makna-makna itu yang mesti digunakan dalam menafsirkan ayat bersangkutan.[5]

Mutasyabih secara bahasa bararti tasyabuh, yakni bila salah satu dari dua hal serupa dengan yang lain. Dan Syubhah ialah keadaan dimana salah satu dari dua hal itu tidak dapat dibedakan dari yang lain karena adanya kemiripan diantara keduanya secara konkrit maupun abstrak. Dikatakan pula Mutasyabih adalah mutamasail (sama) dalam perkataan dan keindahan. Jadi, tasyabih al-kalam adalah kesamaan dan kesesuaian perkataan, karena sebagiannya membetulkan sebagian yang lain. Dengan pengertian inilah Allah mensifati Al-Qur’an bahwa seluruhnya adalah mutasyabih, sebagaiman ditegaskan dalam Al-quran Qs. Az-Zumar: 23.

Dengan demikian “Al-Qur’an itu seluruhnya adalah mutasyabih”, maksudnya Al-Qur’an itu sebagian kandungannya serupa dengan sebagian yang lain dalam kesempurnaan dan keindahannya, dan sebagianya membenarkan sebagian yang lain serta sesuai pula maknanya. Inilah yang dimaksud dengan mutasyabih.[6]

Dalam kajian Ushul fiqhi, mutasyabih secara bahasa adalah sesuatu yang mempunyai kemiripan atau simapng siur. Secara istilah berdasarkan pendapat sebagian ulama’ adalah suatu lafadzh yang maknanya tidak jelas dan juga tidak ada penjelasan dari syara’, baik al-qur’an maupun as-sunnah. Sehingga tiddak bisa diketahui ole semua orang kecuali orang yang mendalam ilmu pengetahuannya. [7]

Kata Mutasyabih juga diartikan, menuerut etimologi (bahasa) adalah ungkapan yang dimaksud makna lahirnya samar. Secara terminologi adalah ayat-ayat yang mempunyai makna samar-samar dan berbagai kemungkinan arti.[8]



2.2 Pengertian Muhkam dan Mutasyabih Menurut Pendapat Ulama’ dan Ahli Tafsir




Ada beberapa pengertian yang dikemukakan oleh ulama’ dan ahli tafsir mengenai Muhkam, diantaranya:

1. Menurut As-Suyuthi, Muhkam adalah sesuatu yang telah jelas artinya, sedangkan Mutasyabih adalah sebaliknya.

2. Menurut Imam Ar-Razi, Muhkam adalah ayat-ayat yang dalalahnya kuat baik maksud maupun lafadznya, sedangkan Mutasyabih adalah ayat-ayat yang dalalahnya lemah, masih bersifat mujmal, memerlukan takwil dan sulit dipahami.[9]

3. Menurut Manna’ Al-Qaththan, muhkam adalah ayat yang maksudnya dpat diketahui secara langsung tanpa memerlukan keterangan lain, sedangkan Mutasyabih tidak seperti itu, ia memerlukan penjelasan dengan menunjuk kepada ayat lain.[10]

4. Menurut Al-Baidhawi dalam tafsirnya menjelaskan kata “Muhkamat” adalah ayat-ayat terpelihara dari ketidakjelasan makna dan terpelihara pula dari beberpa kemungkinan maksud, sedangkan mutasyabihat adalah sebaliknya, yaitu ayat-ayat yang tidak terpelihara dari ketidakjelasan makna dan tidak pula terpelihara dari beberapa kemungkinan maksud

5. Menurut Al-Ragib Al-Asfhani menyatakan bahwa ayat-ayat yang muhkamat tunjukan maknanya jelas tidak memerlukan pemahaman yang mendalam dalam upaya yang melelahkan, bila ayat tersebut dibaca dalalahnya segera dapat dipahami. Hal tersebut karena lafazh yang digunakan tidak mengandunng kemujmalan, dana kemungkinan makna yang mengandung keraguan.[11]

6. Menurut M. H. Thabathaba’i mengambil pendaoat yang mengatakan bahwa ayat muhkam adalah ayat yang maksudnya jelas, tidak ada ruang bagi kekeliruan. Sedangkan ayat Mutasyabih adalah ayat yang makna lahirnya bukanlah yang dimaksudkan, sedangkan makna hakikinya yang merupakan takwilnya tidak ada yang mengetahuinya kecuali Allah. Pendapat ini dikemukakan juga oleh Ulama’ Syi’ah.

7. Kelompok Muktazilah memahami bahwa ayat muhkam adalah ayat yang dapat langsung dicerna oleh akal dengan melihat teksnya, sedangkan ayat yang tidak dapat langsung dicerna oleh akal dikategorikan sebagai mutasyabih yang harus ditakwilkan.[12]

8. Menuerut para Mufassir, yaitu muhkam adalah ayat-ayat yang diketahui maksudnya, baik secara zahir (berdasarkan makna Zahir) maupun dengan cara menakwilkannya, sedangkan Mutasyabih adalah ayat-ayat yang tidak dapat diketahui manusia maknanya, hanya Allah yang tahu, seperti ayat mengenai berita tentang hari kiamat dan huruf-huruf potong (al-huruf al-muqath’ah) yang terdapat diawal surah .[13]



Jadi, dari pendapat-pendapat diatas maka dapat kita simpulkan bahwa ayat-ayat Al-Qura’an yang Muhkamat adalah ayat yang sudah jelas baik lafadz maupun maksudnya sehingga tidak menimbulkan keraguan dan kekeliruan bagi orang yang memahaminya. Ayat yang muhkamat ini tidak memerlukan takwil karena telah jelas. Lain halnya dengan ayat-ayat Mutasyabih. Ayat ayat yang Mutasyabih ini merupakan kumpulan ayat-ayat yang terdapat dalam Al-Qur’an yang masih belum jelas maksudnya, hal itu dikarenakan ayat mutasyabih bersifat mujmal (global) dia membutuhkan rincian lebih dalam. Selain bersifat mujmal ayat-ayat nya juga bersifat mu’awwal sehingga karena sifatnya ini seorang dapat mengetahhui maknanya setelah melakukan pentakwilan.[14]



2.3 Macam-macam Tasyabuh yang Terdapat dalam Al-Qur’an

Tasyabuh (kesamaran) yang terdapat dalam Al-Qur’an ada dua macam, yaitu:

1. Tasyabuh Hakiki

Yaitu hal-hal yang tidak mungkin diketahui oleh manusia, seperti hakekat sifat-sifat Allah ‘Azza wa jalla. Jadi, meskipun kita bisa mengetahui makna-makna sifat-sifat tersebut, akan tetapi kita tidak memahami hakekat dan kaifiyahnya.berdasarkan firman Allah Ta’ala QS. Thaahaa: 110

“sedang ilmu mereka tidak dapat meliputi ilmu-Nya” (QS. Thaha: 110)

Dan Firman allah Ta’ala,

“Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedangkan Dia dapat melihat segala penglihatan itu. Dan Dia Yang Maha Halus lagi Maha Mengetahui” (QS. Al-An’am: 103)

Oleh sebab itu, ketika imam malik Rahimatullah di tanya tentang Firman Allah:

“(Yaitu) Allah Yang Maha pemurah Yang bersemayam diatas Arasy” (Qs.Thaha: 5)

Bagaimana Allah beristiwa’? beliau menjawab,

“‘Istiwa’ itu tidak asing lagi, dan kaifiyahnya tidak di ketahui oleh akal, beriman kepaanya adalah wajib, dan bertanya tentangnya adalah bid’ah”

Dari jawaban Imam Malik ini, bisa dipahami bahwa kaifiyat istiwa adalah majhul tidak diketahui oleh kita, sedangkan makna istiwa’ sudah sama-sama kita ketahui.[15]



2. Tasyabuh Nisbi

Yaitu hal-hal yang samar bagi sebagian manusia,tetapi tidak samar bagi ebagian lainnya. Jadi, hal tersebut dapat dipahami oleh oran-orang yang kokh ilmunya, tetpai tidak dipahami oleh selain mereka. Hal semacam ini boleh ditanyakan penjabarannya dan penjelasaanya, karena memungkinkan untuk sampai kepada jawabannya. Sebaba tidak ada sesuatupun dalam Al-Qur’an ayat yang tidak dapat dipahami maknanya oleh anak manusia. Allah ta’ ala berfirman:

“ini adalah penjelasan bagi manusia serta petunjuk dan nasehat bagi orang-orang yang bertakwa”(Qs. Ali Imran: 138)

Dan Dia Berfirman:

“Apabila Kami telah selesai membacakannya, maka ikutilah bacaannyaitu. Kemudian,, sesungguhnya atas tanggungan Kamilah penjelasannya” (QS. Al-Qiyamah: 18-19)

Dan Firmannya:

“Wahai manusia, sunnguh telah datang kepadamu petunjuk dari rabbm, dan kami menurunkan kepadamu cahaya yang terang” (QS. An-Nisa: 174)[16]



2.4 Bentuk-bentuk atau Pembagian Ayat-ayat Mutasyabih

Ayat-ayat yang jelas dan terang maknanya, tidak kita bahas terlalu jauh, karena bila kita membacanya kita langsung dapat memahami kandungan isisnya. Akan tetapi, yang perlu kita bahas lebih jauh lagi adalah ayat-ayat mutasyabihat agar kita dapat mengetahui persoalannya.[17]

Ayat-ayat Mutasyabih memiliki tiga bentuk atau jenis[18], yaitu:

1) Mutasyabih dari segi lafal (kesamaran pada lafal)

Artinya, terdapat lafal tertentu dalam suatu ayat yang tidak pasti maknanya. Lafal ini ada dua macam kategori:

a. Kesamaran pada lafal tunggal (Mufard).

Adalah lafal-lafal mufrad yang artinya tidak jelas baik karena lafalnya Gharib (asing) maupun karena bermakna Musytarak (ganda). Contohnya:

ð Gharib ( QS.Abasa: 31 dan 32)

ð Musytarak (QS. As-Shaffat: 93)

b. Kesamaran pada lafal majemuk (Murakkab)

Bisa dikarenakan ringkasnya terlalu luas (Qs. An-Nisa:3)

“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, Maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya”.


atau karena susunan kalimatnya kurang tertib (QS. Al-Kahfi:1)[19]


“Segala puji bagi Allah yang Telah menurunkan kepada hamba-Nya Al Kitab (Al-Quran) dan dia tidak mengadakan kebengkokan[871] di dalamnya”.



2) Mutasyabih dari aspek Makna (Kesamaran Pada Makna Ayat)

Tentang pengertian sifat-sifat Allah, tentang masalah hari kiamat, bagaimana dan kapan terjadinya, kenikmatan kubur dan siksanya, nikmat surga dan neraka. Dimana Makna-makna seperti ini tidak dapat digambarkan secara konkret karena kejadiannya belum pernah dialamai oeh siapa pun dan tidak dapat dipahami oleh manusia larena terjangkau pada akal pikiran manusia.

3) Mutasyabih dari segi lafaz dengan makna (kesamaran pada lafaz dan makna ayat)

Mutasyabih pada lafaz dan makna ini memilki beberapa aspek, diantaranya:

a. Mutasyabih dari segi kuantitas (jumlah). Seperti masalah lafaz yang umum dan khusus. Jadi, Lafal-lafal umum yang terdapat dalam suatu ayat termasuk ayat mutasyabih, sebab ia mengandung ketidakjelasan makna, apakah ia diberlakukan secara umum atau diikhtiasrkan oleh ayat yang lain. Contoh. Pada QS. At-Taubah: 5

“Apabila sudah habis bulan-bulan Haram itu[630], Maka Bunuhlah orang-orang musyrikin itu dimana saja kamu jumpai mereka, dan tangkaplah mereka. Kepunglah mereka dan intailah ditempat pengintaian. jika mereka bertaubat dan mendirikan sholat dan menunaikan zakat, Maka berilah kebebasan kepada mereka untuk berjalan. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.

b. Mutasyabih dari segi kualitas (kaifiyat/cara). Seperti perintah wajib dan sunnah, contoh pada QS. Thaha: 14

“Sesungguhnya Aku Ini adalah Allah, tidak ada Tuhan (yang hak) selain aku, Maka sembahlah Aku dan Dirikanlah shalat untuk mengingat Aku”.



c. Mutasyabih dari segi Masa (waktu/zaman) seperti sampai kapan melaksanakan perbuatan (nasakh dan mansukh). Contoh QS. Ali-Imran: 112[20]

“ Mereka diliputi kehinaan di mana saja mereka berada, kecuali jika mereka berpegang kepada tali (agama) Allah dan tali (perjanjian) dengan manusia, dan mereka kembali mendapat kemurkaan dari Allah dan mereka diliputi kerendahan. yang demikian itu Karena mereka kafir kepada ayat-ayat Allah dan membunuh para nabi tanpa alasan yang benar. yang demikian itu disebabkan mereka durhaka dan melampaui batas”.



d. Mutasyabih dari segi Tempat. Seperti tempat dan suasana dimana ayat itu diturunkan.

e. Mutasyabih dari segi syarat-syarat melaksanakan sesuatu kewajiban, misalnya bagaiman syarat sahnya sholat, puasa, haji, nikah.[21]



2.5 Perbedaan/Pandangan Ulama’ tentang Ayat Mutasyabih

Pendapat pertama, menegaska tertutup kemungkinan bagi manusia memahami ayat-ayat yang menggambarkan sifat-sifat Allah dan huruf-huruf potong (al-huruf al muqathh’ah) yang terdpat diawal surah. Manusia cukup mengimaninya saja, bagaimana maksud dan maknanya cukup diserrahkan kepada Allah. Pendapat kedua menegaskan pula bahwa tidak ada ayat Al-quran yang tidak mungkin dapat diketahui maknanya oleh manusia. Oleh sbab itu, merka menakwilkan ayat-ayat mutasyabihat tersebut, termasuk diantarnya sifat-sifat Allah. An huruf huruf potong yang terdapat diawal surah. Menurut mereka, Al-Quran diturunkan untuk manusia, maka manusia tentu masti dapat memahamiya.

Perbedaan pendapat tersebut dilatar belakangi oleh perbedaan mereka memahami Qs.Ali-Imran :7. Yakni:

“Dialah yang enurunkan Al-kitab kepada kamu. Diantara (isi) nya dan ayat-ayat yang muhkamat, itulah pokok-pokok isi al-quran dan yang lain (ayat-ayat) mutasyabihat. Adapun orang-orang yng dalm hatinya condong kepada kesesatan.maka mereka mengikuti sebagian ayat-ayat yang mutasyabihat daripadanya untuk menimbulkan fitnah untuk mencari-cari takwilnya, padahal tidak ada yang mengetahui takwilna melainkan Allah. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyabihat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami. Dn tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yanf berakal” (QS. Ali-Imran: 7)[22]



Pendapat yang dianut oleh sejumlah ulama’, diantaranya Ubay bin Ka’ab, Ibnu Mas’ud, Ibnu Abbas, sejumlah sahabat dan Thabii dan lain-lain. Diantara mereka adalah bahwa Al-Hakim (sebagaimana termaktub didalam karyanya (Al-Mustadrak) dengan bersumber dari Ibnu Abbas, bahwa dia membaca “dan tidak ada yang mengetahui takwilnya selain Allah dan karena itu berkatalah orang-oang yang mendalam ilmunya: “kami percaya pada_Nya”. Di samping itu ayat tersebut mencela orang-orang yang hatinya berpenyakit, yakni memiliki kecondongan terhadap kesesatan sehingga suka berusaha untuk menebar fitnah. Juga menurut hadis riwayat Aisyah bahwa Rasullullah SAW membaca ayat seperti dikutip diatas sampai ulul asbab, kemudian beliau bersabda; bila kalian melihat orang yang mengikuti ayat-ayat mutasyabihat, mereka itulah yang disinyalir Allah, maka waspadalah terhadap mereka” (HR. Bukhari dan Muslim)

Pendapat serupa juga dianut oleh Nawawi yang dalam karyanya, syar muslim, mengatakan bahwa pendapat yang dianut mujtahid merupakan pendapat paling tepat, sebab tidak mungkin Allah menyeru hambanya (manusia) dengan sesuatu yang tidak dapat diketahui maksudnya oleh mereka.[23]

Di dalam Al-Qur’an memang banyak terdapat lafaz mutasyabihat yang maknanya serupa dengan apa yang dapat kita pahami scara zahir, namun pada hakikatnya tidaklah sama, nama-nama dan sifat Allah, mislnya meskipu secara zahir dan secara literal kelihaan serupa dengan nama dan sifat manusia, namun hakekat dan sifat Allah yang sebnarnya sama sekali tidak sama dengan hakikat dan sifat makhluknya. Para ulama’ dapat memahami betul makna zahir dan lafadz-lafadznya ittudan mereka dapat membeda-bedaknnya. Namun, mengenal takwil hakiki dari apa yang tersurat itu hanya diketahui Allah. Karena itu, seebagai contoh ketika imam malik ditaya tentang makna istawa dalam Al-Quran: (yaitu) Tuhan yang Maha Pemurah yang beristawa di Arasy. Dia menjawab: bahwa arti zahir dari kata istawa (bersemayam) telah kita ketahui. Namun mengenal bagaimana cara bersemayamnya, kita tidak mengetahuinya, kita hanya wajib mengimaninya. Namun bid’ah mananyainya. Pendapat serupa dikemukakan oleh Rabi’ah bin Abdu Rahman, guru Imam Malik.demikan juga tentang berita hari kemudian (hari kiama).[24] Ada Ulama’ yang mengatakan bahwa ayat-ayat mutasyabih itu dapat ditakwilkan oleh manusia, namun menurut sebagian besar ulama berpendapat bahwa ayat-ayat mutasyabih itu tidak dapat diketahui oleh seorangpun kecuali Allah. Menurut Ulama’ ini kita sebagai ciptaan allah tidak perlu mencari-cari takwil entang ayat-ayat mutasyabih, tetapi kta hrus menyerahkan persoalnnya kepada Allah semata.

Dari pendapat diatas, adalagi ulama yang berpendapat lain. Dalam hal ini Al-Raghib Al-Asfahani dia mengambil jalan tengah dari kedua pendapat diatas. Ar Raghib membagi ayat-ayat mutasyabih menjadi tiga bagian:

1. Ayat yang sama sekali tidak diketahui hakikatnya oleh manusia, seperti waktu tibanya hari kiamat

2. Ayat mutasyabih yang dapat diketahui oleh manusia (orang awam) dengan menggunakan berbagai sarana terutama kemmpuan akal pikiran

3. Ayat-ayat mutasyabih yang khusus hanya dapat diketahui maknaya oleh orang-orang yang ilmunya dalam dan tidak dapat diketahui oleh orang-orang selain mereka.

Demikianlah pokok-pokok yang merupakan pembahasan mufassirin didalam menafsirkan ayat Al-Quran yang mutasyabih. Sedangkan ayat-ayat yang mutasyabih tentang sifat-sifat Allah terdapat lagi perbedaan dikalangan ulama’:

Pertama, Mazhab Salaf mengimani sifat-sifat Mutasyabih dan menyerahkan maknanya kepada Allah swt. Pendapat ini didasari oleh ayat 5 surat Taha. Seperti yang dijelaskan diatas oleh Imam Malik,

Kedua, Mazhab Khallaf menyikapi sifat-sifat Mutasyabih Allah dengan menetapkan makna-makna bagi lafadz-lafaz yang menuntut lahirnya mustahil bagi Allah, dengan engertian yang layak bagi zat alla, golongan ini dinamakan juga dengan golongan Muawwalah.

Dari kedua pendapat diatas dapat disimpulakan bahwa kaum salaf mensucikan Allah dari makna Lahir lafaz dan menyerahkan hakikat maknanya kepada Allah, lain halnya dengan kaum Khallaf, mereka mengrtikan bahwa kata istiwa dengan Maha Berkuasa Allah dalam menciptakan segala sesuatu tanpa susah.

Untuk melengkapi pembahasan ini ada baiknya dipaparkan tentang beberaapa ayat Al-Quran yang menyebutkan sifat-sifat Mutasyabihatnya, seperti:

1. QS. Thaha ayat 5

Artinya Allah Maha Pengasih bersemayam diatas Arasy

2. QS. Al-Fajr ayat 2

Artinya dan datanglah kepada tuhanmu sedang para malaikat berbaris-baris.

3. QS. Al-An’am ayat 61

Artinya Dan Dialah yang mempunyai kekuasaan tertinggi diatas hamba-hamba-Nya.

4. QS. Ar-Rahman ayat 27

Artinya Dan tetap kekal wajah Tuhanmu

5. QS. Thaha ayat 39

Artinya Agar engkau diasuh diatas mataku

6. QS. Al-Fath ayat 10

Artinya Tangan Allah diatas tangan mereka

7. QS Ali-Imran ayat 28

Artinya Allah memperingatkan kamu terhadap diri-Nya



Demikianlah beberapa contoh ayat-ayat mutsyabih tentang sifat-sifat Allah dan masih banyak lagi ayat-ayat mengenai masalah ini yang belum sempat diungkapkan dalam makalah ini. Yang jelas pada ayat-ayat tersebut terdapat kata-kata bersemayam, datang, diatas, sisi, wajah, mata, tangan, dan diri yang dijadikan “Sifat Allah”. Kata-kata tersebut menunjukan keadaan, tempat, dan anggotayang layaknya dipakai bagi mahuk yang baru, misalnya manusia. Karena kata-kata tersebut dibangsakan yan Qadim (Allah) maka sulit dipahami akan maksud yang sebenarnya. Itulah sebabnya ayat-ayat tersebut dinamakan Mutasyabihah.[25]



2.6 Hikamah adanya Ayat Muhkam dan Mutasyabih dalam Al-Qur’an

Seandainya Al-Qur’an itu seluruhnya muhkam, pastilah akan hilang hikmah yang berupa ujian sebagai pembenaran juga sebagai usaha untuk memunculkan maknanya dan tidak adanya tempat untuk merubahnya, berpegang kepada ayat mutasyabihat akan menimbulkan fitnah dan mencari-cari ta;wilnya.[26]

Dan seandainya seluruh Al-Quran itu Mutasyabihat maka luputlah fungsinya sebagai penjelasan dan petunjuk bagi manusia, serta tdak memungkinkan untuk mengamalkannya dan membangun akidah yang lurus diatasnya.

Akan tetapi Allah dengan Hikmah-Nya menjadikan Al-Quran sebagiannya ayat-ayat muhkamat yang kepadanyalah dikembalikan ketika terjadi kesamaan, dan sebagian lainnya ayat-ayat mutasyabihat sebagai ujian bagi para hamba supaya terbedakan orang-orang yang jujur imannya dan orang-orang yang dalam hatinya pada kesesatan. Maka jika dia jujur atau benar imannya, dia akan mengetahui bahwa Al-Qur’an seluruhnya adalah dari sisi Allah SWT, sedangkan apa-apa yang datang dari sisi Allah pasti benar dan tidak mungkin didalamnya ada kebatilan dan pertentangan berdasarka firman Allah ta’ala:

“Tidak datang kepadanya ( Al-Quran ) kebatilan dari depannaya dan tidak pula dari belakangnya, dia Al-Qur’an di turunkan dari allah yang Maha bijaksana lagi Maha terpuji” ( QS. Fusshilaat: 42)

Dan Firman Allah SWT:

“Kalau kiranya itu bukan dari sisi Allah tentul mereka mendapati pertentangan yang banyak didalamnya” (QS. An-Nisa: 82)

Adapun orang-orang yang didalam hatinya ada kesesatan atau penyimpangan, maka mereka mengambil sebagian ayat-ayat mutasyabihat sebagai jalan untuk merubah yang muhkam dan mengikuti hawa nafsu dalam membuat-buat keraguan tentang kabar-kabar dan menganggap berat atas hukum-hukum. Oleh karena itu, kamu dapati kebanyakan orang yang menyimpang dalam hal akidah dan amal, mereka itu berhujjah dengan ayat-ayat mutasyabihat ini.[27]

Al-qur’an menggunakan lafal-lafal yang jelas sehingga orang dengan mudah dapat menjangkau maknanya, akan tetapi Al-Qur’an juga menggunakan lafal yang mempunyai makna yang tidak pasti, sehingga orang sulit memahaminya. Dan ketika memahaminya menimbulkan perbedaan-perbedaan pendapat. Seperti yang dijelaskan sebelumnya,

Hkmah atau manfaat bagi manusia ketika berhadapan dengan ayat-ayat mutasyabihat:

a. Memberikan ruang gerak yang luas kepada umat islam dalam persoalan pengamalan isi Al-Quran. Ia tidak memberikan ajaran yang kaku, tetapi fleksibel dan luwes. Seorang muslim tidak mesti berpegang kepada makna tertentu saja, tetapi dia boleh pula mengamalkannya berdasarkan makna lain yang masih berhubungan dengan lafal. Dengan demikian, Al-Quran akan terasa sebagai ajaran yang mengayomi manusia dan peduli dengan keadaan manusia sebagai hamba yang penuh dengan kelemahan dan permasalahan kehidupan.

b. Memberikan kesadaran kepada manusaia bahwa dirinya hamba yang lemah. Maka tidak semua permaslahan dapat dikaji, dipahami, dan diketahui olehnya. Maka ketika berhadapan dengan ayat-ayat tersebut, seharusnya keyakinan manusia terhadap kemahabesaran Allah akan semakin bertambah.

c. Ayat-ayat mutasyabihat adalah suatu uslub yang digunakan Al-Quran untuk menarik perhatian manusia terhadapnya. Ia menggunakan huruf-huruf potong, mislanya yang terdengar asing ­­­­­­­–terutama oleh masyarakat arab dan tidak pernah terdengar kata itu sebelum turunnya Al-Quran. Maka hal ini jelas dapat memancing perhatian mereka kepada Al-Quran. Pada mulanya perhatian tertuju kepada lafal asing tersebut, kemudian makna ayat berikutnya dan selanjutnya menimbulkan kesadaran diri atau keimanan. Maka itulah sebabnya, setelah huruf-huruf potong tersebut selalu diiringi oleh penjelasan mengenai Al-Quran seperti yang erlihat diawal QS. Al-Baqarah, QS. Ali-Imran, QS. Al-A’raf, QS. Yunus, QS. Huud, QS. Yusuf, QS. Ar-Ra’du, QS. Ibrahim, QS. Al-Hijr dan QS. Thaaha.[28]





BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Dari uraian tersebut, maka dapat kita simpulkan bahwa:

1. Muhkam adalah ayat-ayat yang sudah jelas maksudnya ketika kita membacanya, sedangkan ayat mutasyabih adalah ayat-ayat yang perlu ditakwilkan, dan setelah ditakwilkan barulah kita dapat memahami tentang maksud ayat-ayat itu

2. Ayat-ayat Mutasyabih adalah merupakan salah satu kajian dalam ilmu Al-Quran yang para ulama’ menilainya dengan alasan masing-masing menjadi dua macam yaitu pendapat Ulama Salaf dan Ulama Khallaf

3. Kita dapat mengatakan bahwa semua ayat Al-Qur’an itu muhkam jika maksud muhkam disitu adalah kuat dan kokoh, tetapi kita dapat pula mengatakan bahwa semua ayat itu mutasyabih jika yang dimaksud mutasyabih itu adalah kesamaan ayat-ayatnya dalam hal balagah dan i’jaznya.



3.2 Saran

Dalam penulisin ini, kami menyadari masih banyak terdapat kesalahan dan kekurangan. Oleh karena itu, kami sebagai pemakalah sangat menerima saran dan kritik yang membangun dari pembaca agar kedepannya menjadi lebih baik lagi.






DAFTAR PUSTAKA



Al-Khattan, Manna Khail. Study Ilmu-ilmu Al-Qur’an. Cet. 14. Bogor: Pustaka Litera AntarNusa, 2011

Al-Utsaimin, Muhammad bin Shalih. Ushul Fi At-Tafsir (Pengantar Ilmu Tafsir). Jakarta: Danis Sunnah Press, 2008

Anwar, Abu. Ulumul Qur’an sebuah Pengantar. Penerbit AMZAH Sinar Grafika Offset, 2009

Darbi, Ahmad. Ulumul Qur’an. Pekanbaru: Susqa Press, 2011

Jamaruddin, Ade dan Nur, Afrizal. Epistimologi Ilmu-Ilmu Al-Qur’an. Cet. I. Penerbit Hakim Publishing, Oktober 2011: Cimahi- Bandung

Syafi’ie, Rachmat. Ilmu Ushul Fiqhi. Bandung: Pustaka Setia, 2007

Yusuf, Kadar Muhammad. Study Al-Qur’an. Jakarta: AMZAH Sinar Grafika Offset, 2010

Zainu, Syaeikh Muhammad Jamil. Bagaimana Memahami Al-Qur’an. Cet. I. Jakarta: Pustak Al-kautsar, 2006




----------------------------------------------------------------------------------------
----------------------------------------------------------------------------------------
[1] Kadar Muhammad Yusuf. Study Qur’an. 2009: Penerbit AMZAH. Hlm 79-80
[2] Manna Khalil Al-Qattan. Study Ilmu-ilmu Al-Qur’an. Cet. 14. Bogor: Pustaka Litera AntarNusa, 2011 Hlm. 303-304
[3] Ade Jamaruddin dan Afrizal Nur. Epistimoligi Ilmu-Ilmu Al-Quran. Cet I. Penerbit Hakim. Bandung. Hlm 206-207
[4] ibid
[5] Kadar Muhammad Yusuf. Loc. Cit
[6] Manna Kholil Al-Qaththan. Loc. cit
[7] Rachmat Syafi’ie. Ilmu Ushul Fiqhi. Bandung: Pustaka Setia, 2007 Hlm 166
[8] Ade Jamaruddin dan Afrizal Nur. Loc. Cit
[9] Abu Anwar. Ulumul qur’an sebuah pengantar. Penerbit AMZAH, 2002 Hlm 78
[10] Manna Khalil Al-Qattan. Op Cit. Hlm 306
[11] Ahmad Darbi B. Ulumul Quran. Suska Press: Pekanbaru 2011. Hlm 100
[12] Ade Jamaruddin dan Afrizal nur. Loc Cit
[13] Kadar Muhammad Yusuf. Loc. Cit
[14] Abu Anwar. Loc. Cit
[15] Syaikh Muhammad Jamil Zainu. Bagaimana Memahami Al-Qur’an. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2006 Hlm 94-95
[16] Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin. Pengantar Ilmu Tafsir. Jakarta: Darus Sunnah Press, 2008 Hlm. 102-103
[17] Abu Anwar. Loc. Cit
[18] Kadar Muhammad Yusuf. Op. Cit . hlm 82
[19] Ibid Hlm 83
[20] Ade Jamaruddin dan Afrizal Nur. Op.cit hlm 205-227
[21] Ahmad Darbi B. Op. Cit Hlm 102
[22] Kadar Muhammad Yusuf. Op. Cit Hlm 86-87
[23] Ade Jamruddin dan Afrizal Nur. Op. Cit Hlm 228-229
[24] Manna’ Khalil Al-khattan. Op. Cit Hlm 310
[25] Abu Anwar. Op. Cit Hlm 83-85
[26] Syaikh Muhammad Jamil Zainu. Op. Cit Hlm 98
[27] Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin. Op. Cit Hlm 106-107
[28] Kadar Muhammad Yusuf. Op. Cit. Hlm 88-89