Sabtu, 26 Januari 2013

Cara Gila Jadi Pengusaha (Bagian 2)

Sambungan dari Cara Gila Jadi Pengusaha (Bagian 1)


            Optimisme Entrepreneur
Sesungguhnya keberanian seorang entrepreneur dalam menggeluti bisnisnya, terletak pada optimismenya.
Dalam situasi ekonomi sesulit apapun, saya rasa seorang entrepreneur atau wirausahawan harus tetap optimis dalam menggeluti bisnisnya. Sebab, sesungguhnya keberanian seorang entrepreneur dalam menggeluti bisnisnya adalah terletak pada optimisme. Dengan tetap optimis, kita akan tetap termotivasi dan cemerlang dalam memanfaatkan setiap peluang bisnis. Bukan sebaliknya, pesimis. Sebab, sikap pesimis itu akan membuat semangat berwirausaha kita menjadi runtuh. Hal semacam itu jelas kalau bakal merugikan kita. Saya rasa wajar manakala dalam mengeluti bisnis kita, ada saja masalah yang timbul pada setiap harinya. Tinggal bagaimana sikap kita masing-masing. Bila kita menghadapinya tidak dengan pikiran yang segar, dengan tidak optimis, maka tentu saja kita akan dihadapkan pada situasi pikiran yang rumit, terlalu tegang dan akhirnya bisa stres sendiri. Bahkan, ide atau gagasan kita yang cemerlang tiba-tiba berhenti, dan pada akhirnya merembet pada sikap kurang percaya diri. Sehingga dalam setiap kita melakukan negoisasi bisnis akan selalu grogi.
Tetapi coba bandingkan, bila kita tetap punya optimisme yang tinggi. Meski diterpa “angin keras” apa pun kita tetap optimis, baik dalam bisnis maupun kehidupan sehari-hari, maka kita akan menjadi seorang yang selalu optimis dalam mengarungi masa depan. Kita pun menjadi tidak mudah terkejut oleh berbagai kesulitan apapun juga. Bahkan kita akan tertantang dan selalu berusaha mencari jalan pemecahannya yang terbaik.
Dengan pemikiran yang optimis itu, kita juga akan lebih bisa menggunakan imajinasi untuk meraih kesuksesan atau keberhasilan. Dengan demikian, optimisme akan meningkatkan kekuatan atau kemampuan kita dalam berusaha dan akan menghentikan alur pemikiran yang negatif. Namun kalau kita cenderung suka berpikir negatif, maka pasti akan memenuhi banyak kesukaran.
Justru dengan optimisme, kita selalu akan terdorong untuk berpikir positif. Saya rasa berpikir positif adalah suatu cara yang terbaik untuk mempromosikan percaya diri, dan menghimpun energi positif. Sebab pikiran kita merupakan sumber-sumber ide atau gagasan yang paling berharga jika kita mau berpikir secara positif. Itu sebabnya, mengapa sikap mental positif (positive mental attitude) seorang entrepreneur itu menjadi penting.

Saya Dicap “Orang Gila”
Entrepreneur itu pemberani, meski belum tentu pandai. Orang pandai itu justru belum tentu berani melakukan bisnis.
Dalam acara pemberian penghargaan terhadap Lembaga Bimbingan Belajar Primagama oleh Museum Rekor Indonesia (MURI), saya benar-benar “digarap” oleh rekan saya yang juga Direktur MURI, Jaya Suprana. Dalam acara yang diselenggarakan pada hari Jumat 2 Juli 1999 yang lalu, saya dicap sebagai “orang gila” oleh Jaya Suprana. “Betapa tidak”, kata Pak Jaya, “Usaha yang dibuka Pak Purdi saya nilai sebagai usaha edan-edanan. Pak Purdi memang demikian “gila” berani membuka usaha yang saya nilai sebagai industri bimbingan belajar terbesar di Indonesia”, tutur pakar kelirumologi tersebut. Lebih lanjut dikatakan “Karena itulah, saya rela menyerahkan sendiri sertifikat MURI ini kepada pak Purdi.
Padahal, saya sebenarnya sudah janjian dengan Presiden Habibie. Tapi karena ada acara ini, acara di Bina Graha saya batalkan,” demikian kelakar Boss Jamu Jago itu. Yah begitulah Pak Jaya. Bahkan, saya juga dibilang “gila” , karena begitu cepat dalam mengembangkan bisnis pendidikan ini. Dan memang, pada usia 18 tahun pada 10 Maret 2000 yang lalu, Primagama telah berkembang lagi, dengan memiliki 181 cabang di 96 kota yang tersebar di 16 propinsi.
“Saya salut sama Pak Purdi. Sebagai seorang wirausahawan, ia selalu melakukan hal-hal yang tidak rasional dan terlalu berani. Tidak punya modal cukup, berani buka usaha. Terlalu optimis terhadap ide-ide rencana usahanya, dan mengambil risiko adalah pekerjaan biasa,” demikian kata Pak Jaya lagi dalam kesempatan pidatonya. Entrepreneur lain yang disebut Pak Jaya adalah Tirto Utomo, yang rupanya lebih gila lagi. Tirto Utomo bisa menjual air (aqua) lebih mahal dari bensin. Dan bisnis Tirto pun saat ini juga berkembang sangat pesat.
Jaya Suprana mengatakan begitu, karena memang faktanya demikian. Banyak usaha yang dimulai dari ide-ide gila, dan keberanian yang luar biasa. Bagi orang awam, perilaku wirausaha memang terasa aneh dan sulit dicerna. Tetapi bila dilihat dari sisi motivasi, mereka memang orang-orang yang memiliki motivasi yang tinggi (high achiever) dalam meraih sesuatu. Tak lekang karena panas, tak lapuk karena “hujatan”. Padahal, belum tentu memiliki kepandaian dan ketrampilan yang memadai untuk memulai usahanya. Entrepreneur itu adalah pemberani, walaupun belum tentu ia orang pandai. Orang pandai justru belum tentu berani. Hal ini mungkin karena terlalu berhitung. Banyak wirausaha yang lahir bukan karena pandai, tetapi karena berani. Berani memulai usahanya. Berani meraih peluang. Tidak pernah takut. Menurut Marianne Williamson, ketakutan kita yang paling mendalam bukan karena kurang memadai. Ketakutan yang paling mendalam adalah karena kita terlalu kuat. Sisi terang, bukan sisi gelap yang membuat kita takut. Dari kalimat tersebut dapatlah diambil kesimpulan, bahwa makin tahu banyak hal, maka makin membuat orang takut mencoba. Sehingga teman saya yang seorang akuntan, dan ingin berwirausaha, ia akan selalu menghitung feasibility-nya dan tidak pernah memulai usahanya. Sementara, peluang yang sama telah direbut orang lain. Saya tidak menyarankan untuk tidak menghitung rencana usaha Anda. Tetapi, keberanian untuk memulai nampaknya harus didahulukan. Ada teman saya yang ingin membuka usaha retail atau warung kelontong. Yang dia hitung dan bayangkan, adalah akan membutuhkan modal yang banyak, tempat yang bagus, dan bayangan yang serba menakutkan. Dan, pada saat bertemu dengan saya, dia saya sarankan membuka retail-nya dulu, baru berpikir kemudian. Ternyata betul juga, begitu retail-nya dibuka, banyak orang yang menitipkan barang (konsinyasi), dimana sebelumnya hal tersebut tak pernah dipikirkan. Kemudian ada petugas bank yang menawarkan pinjaman uang untuk meningkatkan modal. Dan,banyak kesempatan yang datang silih berganti, yang tidak pernah diduga sebelumnya. Keberanian seorang entrepreneur untuk berwirausaha itu sama dengan keberania menghadapi risiko. Kalau dengan negative thinking, risiko sama dengan bahaya. Tetapi kalau dengan positive thinking, maka risiko itu sama dengan rejeki. Resiko kecil yang didapat pun kecil. Contohnya, seorang tukang cuci piring, risikonya hanya memecahkan piring, maka penghasilannya pun kecil. Yang berisiko besar, penghasilannya pun akan besar. Sehingga, seberapa besar rejeki yang diinginkan, sama dengan seberapa besar Anda berani mengambil risiko.

GAYA KEPEMIMPINAN

Memanfaatkan Otak Orang Lain
Menjadi orang nomor satu di perusahaan kita sendiri, itu sangat bisa. Tapi tidak bisa semua kegiatan bisnis, kita jalankan sendiri.
Mensyukuri apa yang kita peroleh dari hasil bisnis, walau tak sebesar seperti yang kita harapkan semula, saya kira, itu penting. Setidaknya, ini merupakan langkah kita pertama menjadi entrepreneur yang bijak. Namun, tentunya kita tetap memiliki kemauan untuk  mengembangkan bisnis kita seoptimal mungkin. Sehingga, hasil yang kita peroleh juga akan bisa lebih maksimal, meskipun persaingan di dunia bisnis makin kompleks.
Untuk mewujudkannya, kita mungkin tak hanya cukup memanfaatkan otak kita sendiri, tapi ada baiknya juga memanfaatkan otak orang lain. Sebab, kita harus menyadari benar, bahwa setelah bisnis yang kita rasakan berkembang cukup pesat, dan kita menjadi orang nomor satu di perusahaan yang kita dirikan, tentu saja tak bisa semua kegiatan bisnis bisa kita jalankan dengan otak kita sendiri.
Maka, sudah sewajarnya kalau kita memanfaatkan otak orang lain, yang oleh Williams E. Heinecke, penulis buku “The Entrepreneur 21 Golden dan Rules for the Global Business Manager”, disebut “Work with other people’s brain”, Menurut, entrepreneur terkemuka yang sukses mengembangkan bisnis Pizza Hut, seorang entrepreneur yang bersedia bekerja dengan memanfaatkan otak orang lain, sesungguhnya adalah entrepreneur sejati.
Saya sendiri juga merasakan, bahwa memanfaatkan otak orang lain dalam bisnis. Khususnya di era milenium ketiga ini, merupakan yang sangat penting. Acapkali itu lebih baik ketimbang harus semuanya kita jalankan sendiri. Katakanlah, kita akan mudah menangkap peluang bisnis dengan bantuan otak orang lain. Karena itu, jangan apa-apa dikerjakan sendiri. Akibatnya, kita bisa jadi pemurung, kebanyakan kerja, dan sulit bagi kita bisa menikmati penghidupan yang layak sebagai seorang entrepreneur.
Saya yakin, jika kita berhasil memanfaatkan otak orang lain dengan baik, sebenarnya juga sebagai upaya positif kita menghindarkan sikap keras kepala kita sendiri. Dan, itu akan lebih mudah membuat kita mau mendengarkan dengan hati terbuka apa yang dikatakan orang lain. Pada akhirnya, sikap ini pulalah yang akan menciptakan hubungan kerja harmonis. Maka, kita sebagai entrepreneur yang memiliki perusahaan, alangkah bijaknya kalau kita juga jangan mudah “alergi” dengan apa yang dikatakan orang lain.
Selain itu, jika kita bisa memanfaatkan otak orang lain dengan baik, sesungguhnya juga kemajuan yang positif bagi bisnis kita sendiri. Bahwa, kita pun ternyata mampu mengangkat diri kita sebagai pemimpin perusahaan yang benar-benar memiliki kemampuan profesional dan kecerdasan emosional. Niscaya, bisnis kita akan tetap eksis dan lebih berkembang pesat disaat ini maupun di masa mendatang.
Dan, perlu diingat bahwa memanfaatkan otak orang lain, itu bukan merupakan kelemahan kita sebagai entrepreneur. Tapi sebaliknya, hal itu justru menunjukan, bahwa kita benar-benar telah memiliki intelektualitas, kecerdasan emosional, kecintaan pada diri kita sendiri, maupun perusahaan.***

Boss Bukan Pemimpin
Menjadi entrepreneur leader itu lebih baik dari pada jadi boss.
Panggilan boss itu memang sudah biasa di dalam dunia usaha walaupun mungkin maksudnya untuk menghormati. Namun, menurut saya, sebetulnya panggilan boss itu terkesan ada maunya, ada pamrihnya. Saya sendiri tidak bangga dengan panggilan itu. Risih rasanya. Saya tidak ingin jadi boss. Saya ingin menjadi entrepreneur leader, seorang entrepreneur yang juga seorang pemimpin.
Dalam hal ini, John C. Maxwell, yang banyak menyoroti perbedaan antara boss dan pemimpin mengatakan, Seorang pemimpin lebih punya i’tikad baik, lebih bijak, baik dalam sikap dan tingkah lakunya. Dia lebih bisa melatih atau mendidik pengikutnya. Dia juga bisa sebagai teladan bagi pengikutnya. Katakanlah, seorang karyawan yang baru masuk di perusahaannya dan langsung mentoring pada seorang pemimpin menjadi cepat berkembang, karena pemimpin mampu menimbulkan rasa antusiasme pada karyawannya. Tetapi lain halnya, dengan seorang boss. Boss lebih mirip dengan juragan. Seorang boss itu lebih banyak maunya sendiri, egoismenya tinggi, dan sikap atau tingkah lakunya lebih terkesan menggiring pekerjanya dan kerap menimbulkan rasa takut pada anak buahnya. Karena sikap itu menyangkut pola rasa dan pola pikir, sehingga pengaruh sikap boss semacam itu, menurut seorang pakar kepribadian, Dale E. Galloway, akan dapat membuat anak buahnya menjadi gelisah, menderita, melukai hati, dan bahkan bisa mendatangkan musuh. Seorang boss juga lebih tergantung pada wewenang, terutama wewenang struktural. Kalau tidak memiliki lagi wewenang, maka pengaruhnya tidak ada. Bahkan orang lain tidak lagi respek pada dia, manakala sudah tidak menjadi boss lagi. Itulah memang konsekuensinya kalau seseorang lebih menggunakan wewenang struktural. Jadi orang lebih terpengaruh pada boss yang punya wewenang tersebut, dan bukan pada hubungan moral seperti yang lebih baik dilakukan seorang pemimpin.
Dan, saya kerap melihat, bahwa seorang boss cenderung suka menyalahkan anak buahnya, karena dia memang lebih suka menetapkan kesalahan tanpa menunjukan jalan keluar, dan boss itu tahu bagaimana itu dilakukan. Tapi lain halnya dengan seorang pemimpin, dia lebih suka memperbaiki kemacetan yang dilakukan bawahannya atau pengikutnya dan bisa menunjukan cara mengatasinya.
Boss juga lebih mengatakan “Aku”, sementara pemimpin lebih suka mengatakan “Kita”. Perbedaannya tak hanya itu. Boss juga lebih suka mengatakan “Jalan!”, jadi lebih bersikap otoriter. Sangat berbeda dengan cara pemimpin dalam menggerakan karyawannya lebih bersikap egaliter, maka tak mengherankan lebih cenderung mengatakan “Mari kita jalan!”.
Oleh karena itulah, dalam mengembangkan bisnis kita dan dalam menghadapi persaingan bisnis yang semakin keras saat sekarang ini, saya kira memang dibutuhkan entrepreneur-entrepreneur leader. Keberhasilan bisnis kita akan lebih sukses karena tindakan dan keputusan strategis yang diambil oleh entrepreneur leader. Sebab, dalam kepemimpinannya mereka lebih menekankan pada hubungan manusiawi, sehingga orang-orang di bawahnya lebih termotivasi dan lebih mampu menggunakan pemikiran dan wawasan kreatifnya. Sebaliknya, boss tidak mampu menumbuhkan sikap semacam itu. Maka, jadilah entrepreneur leader.***

Pemimpin Bukan Manager
Pemimpin itu selalu berpikir meloncat-loncat dan sering membingungkan bawahannya.
Melakukan hal-hal yang benar (doing the right things), berani menghadapi resiko dan memiliki motivasi untuk selalu nomor satu. Ide-ide bisnisnya orisinal, dan menaruh mata ke masa depan serta memiliki perspektif jauh ke depan penuh kepercayaan diri. Itu salah satu profil seorang pemimpin.
Walaupun banyak yang menganggap pemimpin itu menyukai segala bentuk macam tantangan, karena rasa optimis yang selalu dimilikinya. Cukup menarik buat saya. Sebab yang saya amati dan rasakan, Pemimpin bukan hanya mampu menggerakan orang lain, melainkan juga berani mengambil pola pikir yang tidak populer sekalipun, mampu memberikan solusi, dan memiliki semangat untuk menjadi yang selalu terdepan.
Teliti punya teliti, ternyata dalam menjalankan bisnis saat ini maupun masa datang, memang seharusnya memiliki manager leader, manager yang punya jiwa pemimpin. Mengapa? Sebabnya adalah persaingan yang serba kompetitif, situasi bisnis yang kompleks dan sulit diramalkan keberlangsungannya, sehingga sangat dibutuhkan sosok manager seperti itu. Kalau tidak, kita akan kalah bersaing. Akibatnya, bisnis kita yang kita jalankan akan sulit maju.
Saya setuju pendapat pakar manajemen yang mengatakan, kalau Pemimpin itu selalu melakukan hal-hal yang benar, sementara manager hanya mampu melakukan hal-hal dengan benar (doing the things right). Dimana, seorang pemimpin di dalam melakukan hal-hal yang benar tidak terlalu memperdulikan caranya. Itu tak terlalu penting baginya. Sebab, bagi seorang pemimpin, hal-hal yang menyangkut urusan pelaksanaan idenya itu adalah tugas manager. Pemimpin selalu berpikir loncat-loncat, dan jangkauannya seringkali panjang, bisa membingungkan bawahan untuk mengikutinya.
Lain halnya dengan manager. Jangkauan ide atau gagasannya pendek, dan wawasannya relatif kering. Kewajibannya adalah bagaimana melakukan tugasnya dengan benar. Manager baru jalan setelah ada planning dulu, sudah ada program kerja atau prototype-nya. Wajar kalau ada yang berpendapat bahwa pada dasarnya Manager itu tiruan, sementara pemimpin adalah orisinal.
Itu mengingatkan, ide atau gagasan seorang pemimpin tidak pakai planning. Responsibilitasnya memang tidak setiap saat muncul. Bila ternyata ide-ide bisnisnya yang dijalankannya itu nanti benar atau salah, urusan belakangan. Baginya yang terpenting telah menemukan ide bisnis yang cemerlang.
Kita bisa juga lihat, bahwa manager dalam rangka mempertahankan proses atau kontinuitas kerjanya cenderung menerima status quo. Statusnya ingin aman-aman saja. Bahkan, kalau perlu menghindar dari resiko. Tapi sebaliknya dengan pemimpin. Ia justru menentang status quo, dan lebih berani menghadapi resiko. Perbedaan lainnya, adalah seorang manager itu suka bertanya, bagaimana dan kapan terhadap sesuatu hal. Sedangkan, pemimpin lebih suka bertanya, apa dan mengapa. Selain itu, pemimpin lebih terkesan ingin menjadi pribadinya sendiri, dan menguasai lingkungannya. Sementara, manager adalah “tentara baik” yang klasik, dan menyerah kepada lingkungan.
Manager dalam menjalankan aktivitasnya juga sangat bergantung pada pengawasan. Dia ingin selalu mengelola dan mempertahankan bisnis yang sudah ada, serta lebih berfokus kepada sistem dan struktur. Sementara, pemimpin lebih merupakan sosok yang justru mampu membangkitkan kepercayaan bawahanya atau relasinya. Itu sebabnya, mengapa fokus seorang pemimpin lebih kepada orang, dan bukan kepada sistem atau struktur.
Oleh karena itu, jika kita sekarang berada pada posisi manager, sebaiknya tidak menafikan atau menghilangkan nuansa-nuansa atau jiwa kepemimpinan. Agar segala keputusan yang diambil tidak kering, lebih tenang dalam menjalankan bisnis, mampu mengantisipasi hal-hal yang tak pasti, energik, antusias, memiliki integritas, tegas tapi adil, visi bisnisnya lebih jelas, dan mampu memproyeksikan bisnis ke-masa depan.***

“Dan”
Kita akan menjadi tangguh dan terdepan dalam prestasi, jika kita bisa bersinergi
Siapa yang tak kenal dengan kelompok musik anak muda dari Jogja, Sheila on 7? Tentu, anda semua pernah mendengarkan lagu hitsnya yang berjudul “DAN”. Konon, album pertamanya itu terjual lebih dari 1 juta keping. Kita tentu, bangga dengan kesuksesan mereka.  Judul lagu “Dan” itu cukup menarik buat saya. Namun, “Dan” dalam tulisan saya ini artinya sinergi. Sebab, yang saya ungkap kali ini bukanlah asyiknya mendengarkan lagu “Dan”, namun bagaimana pentingnya sebuah sinergi dalam dunia bisnis. Saya yakin, kita bisa menjadi entrepreneur tangguh atau terdepan, bila kita bisa bersinergi. Bekerjasama dengan pihak lain, demi kesuksesan bisnis kita. Mungkin Anda bertanya, apa benar bersinergi itu menguntungkan kita? Sebab, tak sedikit kasus yang menunjukan bahwa bersinergi dengan orang lain justru membuat bisnis kita sulit berkembang. Saya sudah menduga, pasti pertanyaan Anda seperti itu.
Memang, tak selamanya bersinergi itu negatif. Tapi bisa sebaliknya, bersinergi membuat bisnis kita maju dan kita mampu memanfaatkan peluang bisnis. Konsep bisnis kita menjadi briliant, selama sinergi yang saya maksud itu positif. Teliti punya teliti, ternyata memang sinergi itu bisa negatif dan bisa positif. Untuk kita menjadi terbaik, tentu kita harus mencari rekan bisnis yang positif. Ini menunjukan, bahwa kita akan memiliki kekuatan potensi kuat dan mampu meyakinkan prospek bisnis kita. Dengan sinergi positif, saya yakin kita akan memiliki pemikiran jauh kedepan penuh percaya diri, sehingga mampu mengantisipasi hal-hal yang tidak pasti.
Apalagi, dalam era global, dunia bisnis berputar cepat, terkadang tidak rasional, tidak pasti, sehingga menghadapi hal itu kita memang harus memiliki sinergi atau kekuatan kerjasama yang sangat tinggi. Saya yakin, hal itu akan menjadikan kita menjadi entrepreneur yang selalu optimis atau memiliki sense of optimism yang tinggi. Tapi juga bisa sebaliknya, bila sinergi itu negatif, maka bisnis apapun yang kita jalankan tidak akan berhasil.
Keyakinan saya pun bertambah dengan pengalaman ini. Saya pernah diajak bisnis pom bensin dengan teman pengusaha. Tapi setelah lewat proses panjang, ternyata sulit terrealisir. Saat itu saya belum yakin, apakah karena itu sinerginya negatif? Empat tahun kemudian saya ketemu lagi sama teman pengusaha tadi, yang kini buka bisnis komputer. Dia mengajak saya lagi bisnis showroom atau jual beli komputer. Rupanya, saya dan teman saya itu sama-sama belum percaya bahwa sinergi kami negatif. Kami coba lagi, tapi gagal. Bisnis itu sampai kini belum terealisir juga. Contoh lain, artis Camelia Malik. Saat dia bersuami Reynold, pasangan ini tidak cocok dan tidak dikaruniai anak. Tapi, setelah berpisah dan mereka menemukan pasangan masing-masing, ternyata cocok dan dikaruniai anak. Jadi ada sinergi positif.
Begitu juga hubungan sinergi antara owner dengan eksekutif. Bisa positif, juga negatif. Namun, bagi kita yang percaya pada sinergi, jumlah satu ditambah satu bukan hanya dua. Bisa sepuluh, seratus, bahkan seribu. Saya sendiri tidak meragukan hal ini. Tapi setidaknya, dengan kita memiliki kecerdasan emosi optimal dan intuisi yang tajam, saya yakin, kita akan semakin pintar memilih rekan bisnis yang bersinergi positif. Dan, tidak mustahil, entrepreneur yang memiliki kemampuan tersebut akan sangat menguntungkan bagi bisnis maupun kehidupannya.***

Egaliter Itu Perlu
Emosi kita akan semakin cerdas, bila kita mau mengedepankan hubungan yang humanis dan harmonis.
Teori kepemimpinan berdasarkan gen mengungkapkan, bahwa pada dasarnya setiap orang itu sama. Begitu pula halnya, di dalam mendambakan perhatian positif. Saya melihat salah satu upaya untuk mewujudkan hal itu adalah jika kita berhasil menerapkan hubungan yang lebih mengedepankan aspek hunanis dan harmonis dalam komunikasi antar level struktural atau yang lebih dikenal dengan hubungan egaliter. Saya merasa yakin, bahwa hubungan semacam ini segi manfaatnya sangat besar, bila kita benar-benar berhasil menerapkannya di perusahaan kita masing-masing.
Hanya saja, hubungan ini akan berjalan bila diawali dari pimpinannya. Kita sebagai seorang wirausahawan atau entrepreneur yang juga adalah seorang pemimpin, memang perlu memberikan suri tauladan terlebih dahulu akan pentingnya hubungan egaliter ini pada lingkungan kerja kita, pada staf kita. Sebab, hubungan egaliter itu akan membuat kita semakin paham pada suatu bentuk komunikasi yang transparan dan jujur. Begitu halnya dalam hubungan intra-personal. Dimana, hubungan antara pemimpin dengan staf tak ada lagi jarak yang tajam. Namun, sikap saling menghormati tetap terjaga.
Menurut saya, dampak positif lain dari hubungan egaliter itu adalah kita akan lebih dapat meningkatkan kecerdasan emosional kita. Terutama pada hal yang berkaitan dengan soal membina hubungan dengan orang lain, dan mengenali emosi orang lain. Dengan begitu, kita akan lebih mudah menyeleraskan diri (harmonizing) dengan orang lain.
Itu penting kaitannya dengan bisnis. Sebab, hubungan semacam ini akan memungkinkan kita lebih memiliki rasa percaya diri yang kuat. Segala ide, pemikiran dan gagasan bisnis kita juga akan semakin baik. Sehingga hal itu, tidak mustahil akan membuat kita cenderung lebih kreatif, dan akhirnya kita akan lebih produktif. Begitu pula halnya dengan semangat kita di dalam berwirausaha juga akan semakin bergairah. Dan, sukses akan lebih mudah tercapai.
Dengan begitu, saya rasa hubungan pimpinan dengan staf tidak harus melewati dulu birokrasi yang berbelit-belit. Ruang kerja bisa kita buat sedemikian rupa, kalau perlu terbuka, sehingga komunikasi dua arah (two way traffic communication) antara pimpinan dengan staf akan lebih mudah tercipta.
Kita tentu mengerti, bahwa pimpinan dalam mengembangkan bisnisnya tak bisa sendiri. Membutuhkan bantuan staf. Maka, sebaiknya, kita sebagai seorang entrepreneur tak perlu ragu lagi menerapkan hubungan harmonis semacam itu. Apalagi di saat sekarang ini, jelas tak hanya menuntut kita piawai atau jeli di dalam melihat dan meraih peluang bisnis, tapi, kita juga harus pintar pula menerapkan bentuk hubungan kerja yang harmonis. Tim kerja di perusahaan kita akan semakin kompak dan solid.
Hubungan egaliter itu, saya rasa juga perlu karena hubungan ini akan lebih mengkondisikan kita untuk mau mendengarkan pendapat orang lain. Keterpercayaan diri kita maupun staf juga kan tumbuh. Padahal kita tahu bahwa keterpercayaan itu adalah faktor paling penting di balik setiap tindakan kreatif.
Namun, kultur ini tak ada korelasinya bahwa yang pantas menerapkannya adalah harus mereka yang memiliki intelektualitas tinggi. Justru yang terpenting adalah bagaimana kita bisa memimpin. Memimpin adalah suatu yang berkaitan dengan mengelola orang-orang yang pintar. Namun, itu bukan berarti kita harus menjadi orang paling pintar atau profesional. Memang, entrepreneur itu harus didampingi profesional, agar bisnisnya lebih berkembang. Sebab cara berpikirnya seringkali meloncat-loncat. Sementara, seorang profesional pemikirannya cenderung yang lurus-lurus atau yang aman-aman. Maka cukup riskan, bila dia lantas mencoba menjalankan bisnisnya seorang diri alias one man shoe. Kualitas manajemennya akan kurang baik. Maka, seorang entrepreneur dan profesional harus memiliki hubungan yang harmonis. Apalagi dalam waktu dekat ini kita akan memasuki millenium ketiga yang kemungkinan besar bisnis kita cenderung akan penuh dengan hyper-competition, suatu persaingan yang sangat ketat. Maka, tanpa ada hubungan seperti itu di lingkungan kerja atau perusahaan kita, maka tentu saja target bisnis kita akan sulit tercapai.
Oleh karena itu, tak ada salahnya bila kita berani mencoba menerapkan hubungan egaliter ketimbang hubungan yang terlalu mengedepankan jarak atau gap antara pimpinan dan staf. Sebab, hubungan seperti ini akan membuat suasana kerja menjadi tidak kondusif atau tidak enjoy. Kreativitas juga bisa mandeg dan prestasi kerja pun akan menurun. Itu sebabnya, mengapa hubungan egaliter itu perlu.***

Jadi Pemimpin atau Bawahan
Hanya dua pilihan bagi kita: menyerah saja jadi bawahan, atau mau terus berusaha menjadi pemimpin.
Jika setiap saat kita selalu menanyakan “Apa hak-hak saya?”, itu artinya kita termasuk golongan bawahan. sedangkan, jika kita lebih suka bertanya “Apa tanggung jawab saya?”, itu berarti termasuk golongan pemimpin. Wajar saja, mestinya memang demikian. Selain itu, seorang bawahan biasanya orang yang bekerja lebih terdorong oleh emosinya. Sementara, seorang pemimpin, bekerja atau berbisnis lebih karena terdorong oleh karakternya.
Saya juga melihat, bahwa seorang bawahan itu akan merasakan senang, baru kemudian dia melakukan pekerjaan atau tugasnya dengan benar. Itu lain dengan pemimpin. Dia akan selalu berusaha melakukan segala pekerjaannya dengan benar, kemudian dia kan merasa senang dengan prestasi kerjanya itu. Pendeknya, bawahan itu bekerja atau melaksanakan tugas karena terdorong oleh kesenangan, dan bukan terdorong oleh komitmen seperti biasa dilakukan oleh seorang pemimpin.
Perbedaan lain yang cukup menonjol antar keduanya, menurut pakar leadership, Jhon C. Maxwell, yaitu seorang bawahan itu sukanya selalu menunggu momentum, barulah dia mau bergerak. Sikapnya lebih mengendalikan tindakan, dan berhenti ketika masalah timbul. Sementara, kalau kita sebagai pemimpin, maka kita akan lebih cenderung menciptakan momentum. Sedang, tindakannya lebih mengendalikan sikapnya, dan seorang pemimpin justru akan meneruskan usahanya ketika masalah timbul. Saya juga melihat, memang benar seorang bawahan itu jika membuat keputusan selalu berdasarkan popularitas. Berbeda dengan pemimpin yang setiap membuat keputusan apapun, termasuk dalam bisnisnya, adalah lebih berdasarkan pada prinsip dan bukan pada popularitas. Sehingga, tidak mengherankan kalau seorang pemimpin itu tidak suka bersikap murung dalam menggeluti bisnisnya. Sebaliknya, dia akan selalu mantap menekuni bisnisnya.
Karena itu, saya berpendapat, di saat sekarang ini kita Lebih baik menjadi ikan besar di kolam kecil daripada harus menjadi ikan kecil di kolam besar. Artinya, kita lebih baik menjadi pemimpin, walaupun bisnis kita kecil dan anak buah kita sedikit, daripada kita harus ikut orang lain sekalipun bisnisnya sudah besar. Memang, menjadi seorang pemimpin tidaklah mudah. Tapi yakin saja, sebab kita masing-masing memiliki kapasitas kepemimpinan.
Saya yakin, jika kita bekerja pada perusahaan besar sebagai bawahan, tentu kita tidak bisa berbuat banyak, atau tidak bisa mempengaruhi kebijakan perusahaan. Naiknya karier kita pun jelas membutuhkan waktu yang lama. Tapi lain halnya, kalau kita bekerja pada perusahaan yang masih kecil, maka peluang untuk mengembangkan bisnis lebih besar. Sehingga, karier kita pun akan cepat berkembang pula. Kita jadi punya andil untuk mengembangkan usaha menjadi besar, dan akhirnya kita akan lebih cepat jadi pemimpin perusahaan.
Kasus pemutusan hubungan kerja (PHK) tidak akan membuat kita berhenti bekerja, kalau kita punya jiwa kepemimpinan. Tapi sebaliknya, kalau kita terus menerus menjadi bawahan, akibatnya kita tidak punya keberanian jadi pemimpin. Kita juga tidak akan memiliki keberanian untuk mencoba punya bisnis sendiri. Akhirnya sekarang, kita hanya mempunyai dua pilihan: kita menyerah saja menjadi bawahan atau kita tetap berusaha untuk menjadi seorang pemimpin.

Manager Berjiwa Entrepreneur
Manager berjiwa entrepreneur bisa jadi akan menjadi entrepreneur sejati
Memajukan perusahaan, saya kira, itu bukan hal yang mustahil. Asal kita mau berusaha mewujudkan keinginan tersebut. Diantaranya, perusahaan yang kita geluti sekarang ini harus diusahakan memiliki manager yang benar-benar berjiwa entrepreneur. Itu sangat penting. Sebab, jika tidak, akan berakibat pada perusahaan atau bisnis kita sendiri, yakni akan berada pada posisi stabil atau status quo. Kondisinya hanya begitu-begitu saja.
Tapi lain halnya, kalau perusahaan kita itu memiliki manager yang berjiwa entrepreneur, maka saya yakin bisnis yang kita jalankan akan lebih berpeluang cepat berkembang. Dan, kita juga akan lebih siap menghadapi persaingan bisnis yang ketat di era globalisasi.
Selain itu, manager berjiwa entrepreneur akan membuat perusahaan kita lebih kreatif dan inovatif. Sebab, bisnis yang sudah mencapai titik optimum itu biasanya jika tidak disentuh dengan manajer berjiwa entrepreneur, akan mengalami kondisi yang menurun.
Saya sendiri merasakan bahwa, jika suatu perusahaan itu memiliki manager yang berjiwa entrepreneur, juga akan selalu siap menghadapi setiap perubahan dalam bisnis. Dan, perubahan tersebut bagi manager berjiwa entrepreneur, adalah bagian dari pekerjaannya. Sedang, resiko yang timbul pun juga bagian dari pekerjaannya. Persis seperti yang dikatakan oleh William Ahmanson, bahwa dalam bisnis itu, tidak ada jalan lurus yang dapat ditempuh dari satu tempat ke tempat lain.
Maka, dalam konteks inilah, saya melihat, bahwa bisnis itu memang ada tiga komponen, yakni meliputi: investor (orang yang mencari resiko), entrepreneur(orang yang mengambil resiko), dan manager (orang yang menghindar resiko). Dan, dalam keadaan kondisi bisnis yang baik, jiwa entrepreneur menjadi hal penting. Apalagi di saat kita harus menghadapi krisis ekonomi, tentu saja akan lebih penting lagi.
Karena itu, kita bisa melihat, bagaimana orang-orang Barat yang bergerak di dunia usaha juga terus melakukan pengembangan bentuk-bentuk intuisi, yang saya tahu itu sangat banyak membantu dalam pengembangan usahanya. Itu juga pertanda, bahwa dia memiliki jiwa entrepreneur.
Adapun ciri-ciri manager yang berjiwa entrepreneur memang tidak hanya itu. Menurut J.A Schunpeter dalam bukunya “The Entrepreneur as Inovator”, manager yang berjiwa entrepreneur juga merupakan sosok yang berambisi tinggi di dalam mengembangkan bisnisnya, energik, percaya diri, kreatif, dan inovatif, senang dan pandai bergaul, berpandangan ke depan, bersifat fleksibel, berani terhadap resiko, senang mendiri dan bebas, banyak inisiatif dan bertanggung jawab, optimistik, memandang kegagalan sebagai pengalaman yang berharga (positif), selalu berorientasi pada keuntungan, dan gemar berkompetisi.
Berbeda dengan manager yang tidak berjiwa entrepreneur. Maka, dia akan cenderung berpikir sangat rasional, suka kemapanan, dan tidak menginginkan adanya perubahan. Kerap kali terjadi seorang manager akan mengalami kesulitan dalam mengikuti gaya berpikir seorang entrepreneur. Dia juga akan kesulitan mengikuti setiap langkah-langkah bisnis entrepreneur.
Hanya saja, seorang manager yang memiliki jiwa entrepreneur itu bisa jadi akan menjadi entrepreneur sejati. Dan, sebaiknya manager perusahaan kita yang berjiwa entrepreneur itu, kita beri lagi sebuah tantangan yang lebih besar, misalnya mengelola unit usaha kita yang lain. Atau, bisa juga dia keluar dari perusahaan kita. Lantas berbekal jiwa entrepreneur yang dimilikinya, dia memberanikan diri mendirikan perusahaan sendiri. Itu lebih baik. Sebab tindakanya akan membantu menciptakan lapangan kerja. Entrepreneur-entrepreneur baru juga akan semakin sering bermunculan.
Memang, pada akhirnya bisa saja dia akan menjadi pesaing kita sendiri, pesaing perusahaan kita, jika ternyata bisnis yang digelutinya sama dengan kita. Anggap saja, itu sebagai “bumbu penyedap” dalam kita menggeluti bisnis.***

Banyak Melayani Banyak Rejeki
Jika perusahaan ingin berkembang, maka pelayanan adalah segala-galanya.
Barangkali kita tahu, bahwa salah satu tugas seorang entrepreneur adalah tugas kepemimpinan. Memang idealnya, entrepreneur adalah sekaligus seorang pemimpin. Paradigma baru, pemimpin yang baik adalah pemimpin yang mampu memberikan pelayanan pada orang yang dipimpinnya atau bawahannya. Maksud saya, entrepreneur sebagai pemimpin, juga sekaligus sebagai orang yang mau melayani. Jangan sampai kemudian terbalik, bahwa pemimpin itu justru minta dilayani.
Dalam konteks inilah, barangkali kita perlu kembali menyadari, bahwa sebagai entrepreneur, apalagi yang baru saja membuka bisnis, maka sesungguhnya sangatlah perlu mengutamakan pelayanan. Misalnya, bagaimana kita melayani komsumen. Bagaimana konsumen puas dengan layanan kita. Dan, bagi kita yang memiliki perusahaan sudah relatif maju, maka konsumen biasanya diberikan pelayanan oleh karyawan kita. Sedangkan karyawan dilayani oleh manager-nya, dan para manager semestinya dilayani oleh direksi. Sedangkan, direksi dilayani oleh pemilik bisnis. Tentu kita akan bertanya, lantas siapa yang melayani si pemilik bisnis? Jawabanya bisa sangat banyak. Tapi yang jelas, menurut saya konsep melayani memang mudah diucapkan, tapi sangat berat untuk dilaksanakan. Sebagai entrepreneur yang sudah cukup lama menggeluti dunia bisnis, pasti akan selalu berhubungan dengan banyak orang. Apalagi kita sebagai seorang pemimpin perusahaan, tentunya melayani banyak orang adalah pekerjaan yang harus dilakukan. Melayani banyak orang artinya bisnis kita jalan. Saya kira, melayani itu harus mengalahkan diri kita dulu sebelum memberikan pelayanan kepada orang lain. Melayani berarti tidak boleh pilih kasih. Pelayanan bisa berarti kita melayani orang-orang di lingkungan bisnis kita. Dan, kita tak mungkin bekerja tanpa harus saling melayani. Melayani bawahan berarti memberikan perhatian pada bawahan kita. Melayani manager berarti memberikan penghargaan pada mereka. Dan, melayani konsumen adalah pekerjaan kita yang utama. Perusahaan yang ingin berkembang, maka pelayanan adalah segala-galanya. Bisnis melayani banyak orang akan mendatangkan banyak omset. Saya sependapat dengan Robert T. Kiyosaki, dalam bukunya yang ke-4 berjudul “Rich Kid, Smart Kid”. Dalam buku tersebut dikatakan, bahwa jika kita membangun sebuah bisnis yang melayani ribuan orang, sebagai timbal balik dari bisnis kita, maka kita akan menjadi jutawan. Nah, kalau kita bisa melayani jutaan orang, maka kita pun juga akan menjadi milyarder. Oleh karena itulah, kita sebagai entrepreneur harus selalu siap melayani banyak orang, dan jangan alergi melakukannya. Percayalah, dengan kita semakin melayani banyak orang, maka rejeki yang datang pun akan semakin banyak pula.***

Banyak Sumber Penghasilan
Sebagai entrepreneur, kita sebaiknya tidak hanya memiliki satu sumber penghasilan.
Bisnis, biasanya dimulai dengan coba-coba, kadang malah asal-asalan. Dimulai dengan modal seadanya, tempat seadanya, dengan orang yang sama-sama belajar dari nol. Saya kira, dari memulai yang serba kekurangan inilah yang akan membuat kita semakin cerdas dalam berbisnis. Proses bisnis ini akan memberikan pengalaman bisnis yang semakin hari mencerdaskan kita.
Belajar dari pengalaman bisnis setiap hari dan kebutuhan akan kemajuan bisnis kita, mulailah kita memberikan sentuhan manajemen, walaupun itu masih sangat sederhana. Sudah ada bagi-bagi pekerjaan atau bagi-bagi fungsi. Ada yang pegang keuangan, ada yang sudah mulai jadi bagian pemasaran. Ada yang bagian produksi, ada juga yang ngurusi karyawan. Malah terkadang ada beberapa pekerjaan masih dirangkap satu orang. Ini adalah proses menuju bisnis yang sesungguhnya. Artinya, bisnis yang memiliki sistem yang baik. Dengan sudah adanya sistem, kita sebagai pengusaha memiliki banyak waktu luang. Karena, sistem sudah berjalan dengan baik. Ketika sebelum ada sistem, pengusaha cenderung mengelola perusahaan dengan full time. Kini, setelah ada sistem, cukup dengan part time. Karena itu, menurut saya, jika perusahaan kita sudah memiliki sistem yang baik, dan bisnis kita relatif berkembang, maka kesempatan kita untuk mengembangkan bisnis sangat terbuka luas, termasuk membuka bisnis baru. Berdasarkan pengalaman saya, lebih mudah membangun bisnis yang ke-2, ke-3, dan seterusnya, dari pada ketika memulai bisnis yang pertama. Karena, di saat memulai bisnis yang pertama kita belum punya apa-apa. Sementara, membangun bisnis yang ke-2, ke-3, dan seterusnya lebih mudah karena bisnis kita yang pertama sudah memiliki sistem yang baik. Saya kira, perlu dipertimbangkan matang-matang jika kita ingin mencoba membangun bisnis yang ke-2, seharusnya bisnis kita yang pertama sudah mempunyai sistem yang baik.
Dengan aktivitas kita yang sebelumnya full time, dan sebagian entrepreneur menjadi part time, dimungkinkan kita memiliki banyak waktu luang. Banyaknya waktu luang itu, membuat kita sebagai entrepreneur akan lebih fokus dalam menciptakan bisnis-bisnis baru. Menciptakan bisnis baru itu berarti kita telah menciptakan sumber penghasilan baru. Jika perusahaan kita memiliki sistem yang baik, maka manajer dan karyawan akan bekerja sesuai dengan apa yang kita inginkan. Sehingga, banyak pekerjaan yang sudah terbagi habis oleh para profesional di lingkungan bisnis kita. Dalam konteks inilah entrepreneur tidak harus fokus. Justru yang harus fokus adalah orang-orang yang mengelola bisnis kita. Hanya mungkin, kita harus ikut fokus di awal berdirinya bisnis tersebut. Setelah bisnis kita kelihatan jalan, yah cari fokus yang lain. Sebagai entrepreneur, sebaiknya kita tidak hanya memiliki satu sumber penghasilan saja. Tetapi bagaimana, kita dapat menciptakan banyak sumber penghasilan.
Ibarat kita punya telur sepuluh menetas sembilan, itu lebih baik dari pada mempunyai satu telur menetas semua. Dengan kita membuat bisnis yang ke-2, ke-3, dan seterusnya, kita berharap akan mendapatkan penghasilan yang ke-2, ke-3, dan seterusnya. Sehingga, dengan kita memiliki banyak sumber penghasilan, maka kita sebagai pengusaha mempunyai peluang untuk memiliki kebebasan finansial.
Semangat kita menciptakan bisnis ke-2, ke-3, dan seterusnya akan punya dampak sosial, yaitu menciptakan lapangan kerja, mambagi-bagi keuntungan, dan lain-lain. Artinya, kita sebagai entrepreneur memiliki kepedulian sosial yang tinggi. Silahkan mencoba!***

Berani Nyumbang Berani Investasi
Jika kita berani menyumbang dan berinvestasi, maka kita berani menghadapi resiko dan ketidakpastian.
Saya berpendapat bahwa sebenarnya keberanian kita memberikan sumbangan pada orang lain atau pihak lain yang kita berikan secara tulus ikhlas adalah sama halnya dengan kita memiliki jiwa entrepreneur atau jiwa wirausaha.
Saya yakin, pasti anda bertanya, kenapa demikian? Padahal kita tahu bahwa sebagian uang yang kita miliki telah kita sumbangkan pada orang lain, tapi saya melihat, sikap wirausahawan yang seperti itu pertanda bahwa dia telah memiliki suatu keberanian mengambil resiko yang harus selalu dimiliki oleh seorang wirausahawan. Dan, sebagai wirausahawan kita tetap memiliki kepedulian sosial.
Hanya saja, masing-masing wirausahawan di dalam memberikan sumbangan tentu saja berbeda-beda. Tergantung keikhlasan masing-masing. Barangkali sudah selayaknya kalau cukup berhasil dalam bisnis kita lantas memberikan sumbangan yang cukup berarti, itu wajar saja. Berbeda halnya dengan mereka yang pendapatannya masih relatif kecil. Namun sekalipun pendapatan kecil sebaiknya kita juga membiasakan untuk menyumbang.
Oleh karena itulah, saya kira, kita tak perlu berpikir negatif kalau tiba-tiba di kantor kita kedatangan tamu yang minta sumbangan. Berpikir positif saja. Justru kita seharusnya berterima kasih pada sang tamu yang minta sumbangan pada kita, bahwa di tengah kesibukan kita sehari-hari dalam menjalankan bisnis, ternyata masih ada orang yang mengingatkan kita atau yang mengetuk hati kita untuk ikhlas memberikan sumbangan.
Dalam konteks inilah, mengapa saya menganggap bahwa sesungguhnya pemberian sumbangan ini adalah langkah positif dan langkah maju. Bahkan, bisa saya artikan kalau kita berani menyumbang, maka kita tidak akan takut lagi berinvestasi. Kita juga tidak akan takut lagi memulai atau mengembangkan bisnis. Karena, kita sudah terbiasa terlatih dengan ketidak-takutan memberikan sumbangan. Berani menyumbang dan berinvestasi merupakan keberanian kita untuk menghadapi resiko dan ketidakpastian. Singkatnya kalau kita berani menyumbang pasti kita telah memiliki keberanian memulai bisnis atau mengembangkan bisnis, dan memiliki keberanian berinvestasi. Sesungguhnya keberanian kita memberikan sumbangan mudah-mudahan akan membantu melancarkan bisnis yang kita jalani saat ini. Percayalah, banyak menyumbang banyak rejeki.


INTUISI ITU PERLU

Mengambil Keputusan
Pertimbangan intuisi lebih peka dari pertimbangan rasional, maka kita jangan ragu untuk menggunakan intuisi dalam bisnis.
“Haruskah saya membuka rumah makan padang?” itulah pertanyaan yang sempat muncul dalam benak saya saat itu. Ketika ide semacam ini saya coba lontarkan pada orang lain, mereka malah pesimis dan menanyakan: “Mengapa anda harus membuka bisnis rumah makan padang, padahal bisnis seperti itu ‘kan sudah menjamur. Apakah punya prospek bagus? Dengan adanya berbagai komentar tersebut, membuat saya semakin tertantang untuk membuktikan-nya. Padahal, sebelumnya saya sama sekali belum pernah terjun ke bisnis rumah makan, tetapi hal itu saya anggap saja sebagai peluang bisnis. Sebagai entrepreneur, saya harus berani mencoba untuk membuktikannya, dan sanggup mengambil keputusan yang tepat. Namun, saat itu saya tetap optimis, bahwa ide tersebut bisa terealisir. Pada akhirnya saya mengambil keputusan, bahwa saya harus berani mencoba bisnis ini. Saya yakin peluang pasar tetap ada, khususnya untuk kalangan masyarakat menengah ke atas. Ternyata, bisnis ini terwujud dan jalan. Bahkan di masa krisis pun, saya optimis bisnis rumah makan tetap prospektif. Kenyataannya, tamu semakin banyak, ada menteri, tokoh masyarakat, artis, dan kalangan pengusaha.
Di dalam mengambil keputusan seperti itu, pertimbangan intuisi saya rupanya lebih peka dari pertimbangan rasional. Memang sebagai entrepreneur kita harus berani menggunakan intuisi secara efektif, baik untuk pengambilan keputusan dalam bisnis maupun dalam kehidupan sehari-hari. Meskipun kemungkinan kita tidak menyadari prosesnya, bahwa setiap keputusan yang kita buat dengan menggunakan intuisi ini hanya salah satu contoh dari sekian banyak pengalaman yang saya alami. Saya merasakan betul, betapa tajamnya sentuhan intuisi itu. Hal itulah yang barangkali memungkinkan saya membiarkan data intuisi itu melengkapi data lain, yang akhirnya saya gunakan dalam membuat keputusan. Sehingga, saya semakin yakin, bahwa dalam menggeluti bisnis maupun kehidupan ini, sebaiknya kita tetap menggunakan intuisi. Sebab, intuisi akan ikut membuka pikiran dan memberi nilai tambah bagi emosi kita, dan intuisi akan memberdayakan kita agar semakin produktif dan aktif dalam setiap situasi.
Intuisi menjadi sangat penting, tidak hanya untuk kepentingan sekarang, namun juga untuk kepentingan masa depan. Sebab, diperkirakan tantangan bisnis di masa mendatang, relatif berbeda dengan sekarang. Perubahannya sangat cepat dan serba kacau, tidak menentu, sehingga sulit bagi kita untuk memprediksikannya. Suatu tantangan dengan tingkat turbulensi yang tidak menentu semacam ini, jelas akan membuat intuisi kita semakin berperan dalam setiap mengambil keputusan. Kemungkinan besar ilmu manajemen yang sekarang kita geluti, masih sulit untuk bisa memecahkan berbagai tantangan yang akan terjadi di masa mendatang. Padahal, kita tentunya tetap berharap, bahwa bisnis yang kita jalani sekarang ini harus tetap terus berkembang.
Kita sebagai entrepreneur, disukai atau tidak, harus tajam dalam intuisi. Kita harus mampu berpikir cepat, dan akhirnya mampu mengambil keputusan yang tepat. Saya melihat ada sesuatu yang unik pada intuisi, yakni berlawanan dengan proses nalar. Proses intuisi itu tidak linier (bermacam-macam pola), sedang proses rasional adalah linier. Itu sebabnya, mengapa kebanyakan entrepreneur dalam setiap mengambil keputusan atau langkah dalam bisnisnya, sering membuat kejutan, tidak rasional, dan berani menghadapi resiko.
Oleh karena itu, saya setuju pendapat yang mengatakan, bahwa antara intuisi dan irasionalitas, saling berkaitan. Sebagian keputusan yang kita ambil merupakan campuran berbagai macam ingatan, gagasan, perasaan, dan fakta yang kadang-kadang saling bertentangan. Sehingga “sentuhan” intuitif itu memungkinkan kita membiarkan data intuisi itu melengkapi data lain yang akan kita gunakan untuk mengambil keputusan.
Menurut Quinn spitser dan Ron Evans, Intuisi adalah analisa kilat dari fakta dengan menggunakan pengetahuan dan pengalaman sebagai filter. Dalam bisnis, memang dikenal adanya intuisi bisnis. Di dalamnya ada wawasan, pengalaman, mental, dan perasaan. Bagi mereka yang memiliki intuisi bisnis yang tajam, maka dia tidak hanya mampu mengandalkan perasaan, tapi ada juga wawasan yang luas, pengalaman banyak, dan mental yang dalam. Intuisi ada empat tingkatan, yaitu bisa muncul melalui fisik, emosi, mental, dan spiritual.
Banyak cara mengembangkan intuisi, di antaranya seperti yang dikembangkan oleh Robert K. Cooper, Phd, yaitu: terjun ke dalam pengalaman, kerahkan kemampuan sedikit lebih banyak, tetap terbuka terhadap segala kemungkinan, atasi rasa takut, kenali dan cari cara untuk mengatasi apapun yang menghalanginya.
Selain itu Cooper juga menyarankan, supaya peluang penginderaan harus ke luar dunia bisnis, berikan perhatian ekstra kepada tanggapan pertama terhadap pertanyaan-pertanyaan, perhatikan bagaimana intuisi berkomunikasi dengan diri kita, luangkan waktu beberapa menit saja dalam sehari untuk catatan kecerdasan emosional, dan jangan lupa memperluas rasa percaya diri. Anda berani mencoba ?

Jamming
Jamming bukan hanya milik musisi jazz, tapi juga milik wirausahawan berintuisi tajam.
Dalam menghadapi dan menjawab kondisi ekonomi yang terus berkembang, cenderung berfluktuatif, dan tidak menentu sekarang ini, maka saya pikir sebaiknya kita melakukan jamming. Tom peter, mengungkapkan bahwa perubahan yang serba cepat dan cenderung kacau itu pertanda zaman edan. Sehingga, disukai atau tidak disukai, kita harus berani akrab dengan kekacauan.
Saya yakin, jika kita punya keberanian yang besar untuk melakukan jamming akan sangat mungkin membantu bisnis kita untuk terus berkembang. Menurut John Kao, pakar kewirausahaan terkemuka yang pernah mengajar dr Harvard Business School dan Stanford University, jamming itu identik dengan improvisasi. Dari improvisasi inilah akan memunculkan banyak ide-ide bisnis yang kreatif dan inovatif. Dan hal ini akan sangat menguntungkan bagi kemajuan bisnis kita.
Hanya masalahnya sekarang adalah, apakah “pemain lain” atau katakanlah manager dan karyawan kita itu bisa kompak atau tidak dalam melakukan jamming. Saya berpendapat bahwa jamming akan berhasil. jika bawahannya kompak. Ini penting. Mengingat, bahwa setiap manager maupun karyawan adalah mitra kreatif dalam bisnis kita. Dengan begitu, kita sebagai entrepreneur akan lebih siap menghadapi setiap perubahan, dan akan lebih siap lagi mengatasi krisis, jika kita berhasil melakukan jamming.
Memang, tidak setiap perusahaan itu berani melakukannya. Antara lain, karena masih adanya perasaan takut dengan munculnya perubahan. Masih adanya keinginan untuk mempertahankan status quo- Tapi, saya pikir, jika sesuatunya tidak jelas ke depan, maka lebih baik jamming. Sehingga, kita akan lebih bisa leluasa untuk bertindak luwes dalam berbisnis pada setiap situasi apapun juga.
Jamming atau improvisasi menurut saya, bukanlah seni yang hanya dimiliki musikus jazz. Tapi jamming juga harus dimiliki oleh entrepreneur yang memiliki intuisi yang tajam. Dan, kalaupun misalnya, manajer atau karyawan kita juga melakukan jamming dengan melontarkan ide-ide kreatif yang dapat dilaksanakan, itu juga positif. Anggap saja, ide-ide kreatif yang berbeda-beda dalam perusahaan kita seperti bunga yang berwarna-warni yang semerbak harum baunya. Namun, tentu saja semua ide-ide bisnis kreatif itu harus tetap terkoordinasi dengan baik. Pendeknya, kita sebagai entrepreneur harus bisa memimpin atau mengkoordinasikan semua itu.
Kita lihat saja, bagaimana pan musisi jazz inr mampu bermain dalam sebuah struktur. Mereka bersepakat tentang siapa yang akan bermain, dan kapan memulainya. Karena ada yang memimpin, maka mereka menjadi kompak, sehingga melahirkan irama-irama musik yang terdengar merdu. Sebaliknya, jika terjadi ketidak-kompakan itu justru akan menimbulkan kebisingan. sebab, musik jazz - sebagaimana halnya bisnis memang menggambarkan serangkaian perilaku kita yang seimbang. Artinya, setiap permainan walaupun eksperimental, namun kesemuanya tetap masih bisa diatur sedemikian rupa.
Begitu juga dalam bisnis. Saya rasa, “permainan-permainan” semacam ini akan sangat mungkin terjadi. Ada baiknya, hal itu janganlah sebagai hambatan di dalam kita menggeluti bisnis. Tapi, justru hal itu akan lebih membuat kita dinamis, penuh semangat, dan tekun dalam berbisnis. Oleh karena itu, di era global yang terus menerus menuntut kita untuk melakukan hal-hal baru secara lebih cepat seperti sekarang ini, ada baiknya kita selalu melakukan jamming. Anda berani mencoba?

Paradigma Bisnis Di Era Millenium
Bergerak adalah awal kesuksesasan bisnis.
Zaman semakin maju, dan waktu terasa cepat. Itu barangkali, yang kita rasakan saat ini. Maka, agar kita tidak ketinggalan zaman, sebaiknya entrepreneur harus lebih mampu bergerak cepat, lebih proaktif, dan berani mengambil risiko. Dengan demikian, kita akan lebih mudah mengantisipasi kemungkinan munculnya berbagai kendala bisnis yang mungkin terjadi. Bukan, bersikap seperti dulu, yang hanya reaktif dan menghindari risiko.
Saya jadi teringat dengan Rupert Murdoch, yang melangkah cepat dalam bisnisnya. Pada saat boss perusahaan lainnya masih terlelap tidur, ia selalu menjadi penelpon pertama untuk melakukan negosiasi bisnis. Dengan bergerak cepat, ia mampu mengambil keputusan lebih cepat dari pesaingnya. Bagi Murdoch, bergerak lamban adalah milik mereka yang kalah. Langkah semacam ini, saya kira menunjukkan, jika kita tidak bertindak dan bergerak, maka bisnis yang kita geluti sekarang akan sulit bergerak maju. Karena, pada dasarnya, bergerak adalah awal kesuksesan bisnis kita.
Dalam konteks ini, saya sependapat dengan Matthew J. Kiernan, penulis “The Commandments of the 21st Century Management” yang mengatakan, bahwa dalam bisnis telah terjadi pergeseran paradigma. Jika, di abad ke-20, bisnis kita lebih terkesan stabil dan bisa diprediksi, namun di abad ke-21 atau di era millenium ketiga ini, perubahannya cenderung terputus-putus. Begitu pula, bisnis kita yang dulu lebih didasarkan ukuran dan skala, tapi kini lebih pada kecepatan dan responsif. Kepemimpinan, kalau dulu banyak dilakukan dari atas, kini dilakukan semua orang. Maka, tak mengherankan bila dalam menjalankan bisnis di era milenium ketiga ini, memang dituntut untuk lebih luwes, tidak kaku. Sebab, perjalanan bisnis lebih dikendalikan oleh visi dan nilai-nilai, dibandingkan sebelumnya yang semata-mata hanya dikendalikan peraturan dan hirarki.
Selain itu, kalau kita dulu di dalam menjalankan bisnis selalu membutuhkan kepastian, tapi kini harus lebih toleran terhadap ambiguitas atau memiliki sikap mendua. Soal informasi bisnis demikian juga, yang sebelumnya hanya untuk pucuk pimpinan, tapi kini disebarkan ke semua orang. Sehingga, saat ini bisnis tak lagi mengandalkan pada analisis kuantitatif, namun lebih pada kreativitas dan intuisi. Tanpa itu, saya kira bisnis yang kita jalankan sekarang ini akan banyak tersendat atau sulit untuk maju. Bahkan, kalau dulunya kita berkeyakinan, bahwa masing-masing perusahaan bisa mandiri, tapi sekarang terasa sulit. Karena pada dasarnya, perusahaan-perusahaan akan saling tergantung satu dengan lainnya.
Pergeseran paradigma bisnis di era milenium ini, juga akan mengajak kita, kalau dulu hanya berfokus pada organisasi internal, tapi kini kita harus lebih berfokus pada lingkungan yang kompetitif. Juga dari integrasi vertikal ke integrasi maya. Seperti Amazon.com’ toko buku virtual pertama dan terakbar di dunia maya. Bahkan, kalau dulu, kita hanya bersaing untuk pasar masa kini, tapi sekarang kita justru lebih tertantang untuk menciptakan pasar masa depan. Karena itu, kita jangan lagi hanya mengandalkan pada keunggulan kompetitif yang berkesinambungan, tapi justru harus terus-menerus mencari keunggulan.
Saya yakin, dengan kepekaan kita terhadap kondisi tersebut, maka kita akan lebih siap menghadapi kondisi yang berubah-ubah, lebih terbuka menerima ide-ide baru. Bahkan, kita akan lebih piawai dalam mengambil kesempatan bisnis, lebih berani mengambil risiko, dan tentu saja akan lebih siap meraih keberhasilan. Anda berani mencoba?

Hobi Bisnis Pekerjaan Golf
GOLF sebagai olahraga atau sport yang tak hanya untuk kesehatan fisik saja, tapi secara psikologis kita juga akan mendapatkan suasana yang hampir sama dengan kegiatan bisnis. Misalnya, ketika kita harus memukul bola, bola bisa jauh atau dekat, lurus atau kanan-kiri, bisa masuk ke lubang, tapi bisa juga tak masuk lubang. Bisa sukses, bisa gagal. Begitu juga dalam kita menekuni bisnis, bisnis kita bisa saja sukses, tapi bisa juga gagal.
Dalam olahraga golf, ketika kita gagal memasukan bola ke lubang, maka kegagalan itu bisa saja kita perbaiki pada saat itu juga, walaupun mungkin sudah masuk dalam hitungan atau penilaian. Soal penilaian, tentu saja berbeda saat kita masih sekolah dulu. Katakanlah, kalau saat sekolah dulu kita mendapatkan nilai 8 atau nilai 9, tentu saja nilai itu sudah bagus. Sementara, di golf berbeda. Justru nilai 8 atau nilai 9 itu jelek. Lantas, nilai yang terbaik adalah 1, atau yang biasa disebut hole in one. Sedang nilai baik lainnya 2,3,4,5 tergantung jaraknya (par-nya ). Itu sama artinya, mainnya kita bagus kalau saja saat kita memukulnya paling sedikit atau banyak melakukan kesalahan atau kegagalan.
Sedang, kalau dalam bisnis kegagalan itu bisa berisiko finansial. Tapi dalam golf, kegagalan itu bisa kita artikan bahwa, bola lari kanan-kiri, bola masuk kolam, bola hilang, mukulnya banyak. Tentu, kalau kita jelek, kita akan penasaran dan ingin mengulangi supaya mainnya lebih bagus. Jika kita main bagus, juga akan membuat kita penasaran untuk mengulangi lagi.
Manfaat lain dengan kita rajin berolahraga golf, kita akan bisa ambil hikmahnya pada aspek manajemennya. Dalam konteks inilah, saya melihat bahwa manajemen golf itu sendiri sangat baik untuk kita pelajari. Misalnya, bagaimana kita menggunakan berbagai alat pemukul bola atau stik. Alat tersebut, seperti kita ketahui punya fungsi yang berbeda, yang membuat jarak pukulannya juga berbeda. Termasuk kejelian kita mau pakai stik nomer berapa untuk memukul bola golf itu. Memang, tak sedikit tantangan atau hambatan yang harus kita taklukkan. Misalnya saja, bagaimana cara memukulnya, kalau bola itu masuk bunker atau pasir. Belum lagi, menghadapi arah angin yang kencang. Dan setiap kita bermain akan saja mendapatkan suasana yang berbeda.
Sama dengan bisnis kita. Nah, kalau saat ini kita sebagai wirausahawan. Maka tak ada salahnya manajemen golf tadi kita pelajari, maka itu akan pandai dalam memilih staf atau karyawan. Kita juga akan semakin banyak relasi atau lebih mudah berhubungan dengan orang lain, dan membuat ita lebih mudah cepat akrab. Jelas, manfaatnya kita akan bisa melakukan lobi-lobi bisnis. Selain itu, bukan hal yang tak mungkin, segala keputusan bisnis bisa kita lakukan dari lapangan golf. Dalam mengelola perusahaan, kita bisa juga melakukan dari lapangan golf. Misalnya dengan menggunakan teknologi, seperti HP, itu kita bisa manfaatkan untuk bisnis.
Oleh karena itulah, ketika kita sering melihat orang yang hari-harinya di lapangan golf, namun ternyata bisnisnya tetap saja jalan. Sehingga, tak mengherankan kalau kita lantas berkomentar, “Orang itu hobinya bisnis, tapi pekerjaannya main golf.”


1 komentar:

  1. Hello, this is to inform to the general public, about the internet loan scam, it has really caused a lot of damage and it has brought some family into separation and agony. We are really fighting to bring those perpetrators to book. But will need your assistance, because without your help we cannot put an end to this internet scam. What we want from you now is for you to fill in the form below appropriately.

    Company Name:.............................................
    Company Proposed Address:........................
    Company Email Address:................................
    Total Amount Paid:.............................................
    Scan Receipt:.....................................................
    Name of Recipient:............................................
    Mode of Payment:..............................................

    Note: This information is for those who have been victimized by Nigerian citizens who pretends to be a loan lender whereas they are not. So the Nigeria Police and EFCC are working so hard to make sure this crime is brought to a halt. If you are lucky enough your money spent might be refunded back to you.
    Here we have only two credible lenders both locally and internationally, if you are really in need of a loan we can as well give you a better directive and advise to guide you in obtaining a better and a transparent transaction. You can contact us: nigerian.policeforce247@gmail.com
    interpol.hotmail247@gmail.com.


    BalasHapus