PENGALAMAN ORANG LAIN
Manajemen Padang
Saya kira, manajemen model “padang” layak juga diterapkan di sektor jasa maupun produksi lainnya.
Ada sebuah manajemen yang menarik di Indonesia, setidaknya itu menurut saya, yaitu manajemen restoran padang. Mengapa demikian? Itu karena model manajemen ini menerapkan transparansi dalam keuangan dan pembagian keuntungannya lewat sistem bagi hasil. Dampak dari model manajemen ini, memang tidak hanya pada faktor manajerial semata, tetapi juga berdampak pada faktor pelayanan. Dimana, pelayanan yang serba cepat menjadikan restoran padang dikenal. Kita pun juga bebas memilih menu. Menu pun bervariasi, begitu juga minumannya. “Menu Nano-Nano” begitulah, banyak orang yang menyebut buat aneka menu yang dihidangkan dan pasti dijamin halal.
Selain itu, kelebihan restoran padang adalah selain pelayanan cepat, juga lebih terkesan fleksibel. Artinya, hidangan yang kita pesan itu bisa saja dimakan di restoran tersebut, tapi kita bisa juga meminta karyawan restoran padang untuk membungkusnya dan kita santap di rumah. Dan satu lagi, masakan padang punya rasa yang khas, dan memenuhi selera hampir semua masyarakat dari berbagai negara. Selain itu, faktor kebersihan ruangan juga selalu mendapat prioritas.
Dalam manajemen ini, memang ada pemilik modal, dan ada pula tim manajemennya, dimana ada manajer dan karyawan. Pada karyawan sendiri ada yang bagian dapur induk (koki), book keeper (pembukuan), pantry (buat minuman), palung (pembawa makanan), teller (pembayar suplier), kasir, waiter dan waitress. Saya juga melihat, selain transparan, model manajemen bagi hasil itu telah menjadikan restoran padang punya ciri khas sendiri.
Dan, yang menarik lainnya adalah hubungan antara pemilik modal dengan manajemen lebih sebagai mitra. Karena apa? Mereka tidak mendapatkan gaji, namun mereka mendapatkan bagian dari keuntungan bersih restoran tersebut. Jadi, dalam memberikan keuntungan itu, memang ada pembagian untuk penanam modal sendiri dan ada pula bagian keuntungan untuk manajemennya atau karyawannya. Itu biasanya dibagikan setelah keuntungan dikurangi 2,5% untuk zakat. Sedang pendapatan karyawan adalah dengan sistem poin. Jadi, setiap karyawan punya poin atau nilai. Dan, biasanya perhitungannya dilakukan setiap 100 hari sekali. Nilai tertinggi ada pada karyawan yang bekerja di dapur induk (koki). Mengapa demikian? Karena, pada bagian inilah yang mampu memberikan nilai rasa menu makanan maupun minuman yang dihidangkan. Saya kira, manajemen semacam ini, akan membuat mereka yang bekerja di restoran padang selalu punya semangat tinggi. Dengan semakin tinggi semangat mereka bekerja, menjadikan hasil yang diterima banyak. Kalau malas, hasilnya pun sedikit.
Selain itu, sistem keuangannya yang selalu transparan menjadikan setiap karyawan level apa pun tahu, berapa omset yang diraih perusahaan dalam setiap harinya. Sehingga, hal itu menjadikan karyawan akan lebih termotivasi untuk maju. Di samping itu, manajemen padang juga mendidik karyawan lebih kompak bekerja. Sebab, tanpa ada kekompakan mereka bekerja, hasil yang diraih berkurang. Bahkan, bukan tak mungkin hal itu menimbulkan dampak pada pelayanan maupun rasa.
Oleh karena itu, saya kira manajemen padang ini bisa sebagai alternatif, dan cukup bagus untuk kita terapkan pada sektor jasa maupun produksi lainnya. Dan, satu hal lagi yang menarik adalah, karyawan restoran padang dengan manajemen seperti itu, tidak membuat setiap karyawan menanyakan kapan SK (surat keputusan) pengangkatan kerja itu dibagikan. Mereka juga tidak akan menanyakan kapan naik gaji. Sebaliknya, justru mereka akan berupaya, bagaimana harga poinya bisa selalu naik. Karena, harga poin inilah yang akan menentukan jumlah penghasilan setiap bulan. Jadi yang menentukan penghasilan adalah dirinya sendiri. Anda berani mencoba?
Manajemen Sari Bundo
Kebersamaan antara profesi, hubungan baik pimpinan dan karyawan akan membuat bisnis kita tetap bertahan.
Untuk kesekian kalinya, saya mencoba menikmati sajian masakan di Rumah Makan Padang Sari Bundo di Jalan Juanda, Jakarta. Rumah makan yang ngetop ini menjadi favorit banyak kalangan. Mulai dari mahasiswa, wartawan, eksekutif sampai menteri. Bahkan, presiden pernah merasakan nikmatnya masakan Ranah Minang ini. Padahal harganya cukup mahal dibanding dengan rumah makan sejenis lainnya. Namun, siapa tidak kenal dengan Rumah Makan Padang Sari Bundo ini, rumah makan padang terlaris di Jakarta, yang memiliki delapan puluh karyawan dan beromzet dua puluh lima juta per harinya itu.
Dibanding rumah makan yang baru berdiri, biasanya karyawannya banyak yang muda-muda, Sari Bundo yang didirikan sejak tahun 1968 ini, ternyata sebagian besar usia karyawannya rata-rata sudah cukup umur, bahkan ada yang ikut bekerja sejak rumah makan ini berdiri. Maka tak mengherankan, banyak di antara mereka yang sudah punya cucu.
Saya melihat loyalitas mereka bekerja di Sari Bundo, karena paling tidak manajemen bagi hasil yang diterapkan. Dengan sistem seperti itu (seperti kebanyakan restoran padang) manajemen di sini terbuka atau transparan. Faktor kekeluargaan demikian kuat. Dan, kebersamaan antara sesama profesi, hubungan baik pimpinan dan karyawan, juga ikut menjadikan rumah makan ini tetap bertahan.
Dalam operasional rumah makan ini, pemasukan dan pengeluaran setiap harinya semua karyawan ikut mengetahui. sehingga, ada rasa memiliki, dan akhirnya mereka pun optimal dalam bekerja. Bila laba perusahaan sedikit, mereka semakin tertantang untuk kerja keras, dengan harapan bisa meraih untung lebih banyak lagi. Mereka percaya bahwa antusiasme bekerja seperti “mukjizat” di dalam setiap menggeluti bisnis, termasuk bisnis rumah makan padang. Sehingga, wajar kalau karyawan di sini sangat yakin bahwa bila usaha meningkat, maka kesejahteraan mereka pun ikut meningkat pula.
Soal upah bagi mereka prinsipnya adalah berat sama dipikul, ringan sama dijinjing. sehingga, mulai pimpinan sampai karyawan memiliki rasa tanggung jawab untuk tetap mempertahankan, bahkan meningkatkan “brand image” dari Sari Bundo. Dan, anehnya, bila ada saudara-saudara pemilik rumah makan Sari Bundo ini, ingin membuka cabang dengan memakai merek Sari Bundo, tidak menjadi masalah.
Boleh-boleh saja. Agaknya, manajemen Sari Bundo, Jalan Juanda Jakarta ini, masih percaya, bahwa membantu orang lain untuk berhasil itu perlu. Barangkali, hal itu membuat manajemen sari Bundo Jalan Juanda Jakarta lebih tertantang lagi untuk semakin maju di dalam menggeluti bisnisnya ini, agar tidak tersaingi dengan Sari Bundo lainnya. Diperbolehkannya, saudaranya membuka cabang di Jakarta atau pun di daerah lain, itu jadi bukti bahwa manajemen sari Bundo, tidak menerapkan sistem franchise atau waralaba. Bahkan, pada mereka pun tidak dipungut biaya sesen pun. Hanya sebelumnya mereka harus ijin. Meski demikian, yang terbesar dan teramai didatangi tamu tetap sari Bundo Jalan Juanda Jakarta itu.
Saya mencatat, setidaknya ada empat hal pokok mengapa dia tetap bisa bertahan sampai sekarang meski di saat krisis ekonomi sekalipun, selain penerapan menejemen terbuka tadi, juga karena: pertama, rasa masakan. setiap menu yang ada memang lezat rasanya. Bumbunya sangat terasa. Ikan masih fresh, terasa enak saat dimakan. Kedua, rasa layanan. Layanannya memang serba cepat. Dengan pengunjung yang banyak tanpa diimbangi dengan layanan cepat, tentu akan mengecewakan pengunjung. Hanya dalam waktu satu menit, tamu bisa langsung menikmati berbagai menu yang terhidang disini. Sari Bundo benar-benar memberikan service bagi para pelanggan atau orang yang dilayani, sehingga mereka merasa seperti “raja” yang harus dihormati. Sari Bundo lakukan ini semua karena, mereka sangat mengerti, bahwa pelanggan adalah orang-orang yang menjadi sumber pendapatan, yang menjaga kelangsungan usaha atau bisnisnya.
Ketiga, lokasinya yang strategis. Manajemen Sari Bundo menyadari, bahwa lokasi rumah makan yang strategis juga akan lebih mendekatkan dengan konsumen. Meski, bangunannya tidak terkesan mewah dan besar, namun penggemar masakan padang tidak terlalu sulit mencarinya, karena lokasinya memang sangat strategis, di Jalan Juanda Jakarta. Apalagi tamu dilayani dengan ramah. Keempat, nama Sari Bundo yang terkenal itu. Tamu yang menikmati sajian masakan padang di rumah makan terkenal, seperti Sari Bundo, membuat para tamu merasa mantap. Artinya, sebelum mereka ke Sari Bundo, seolah belum makan masakan padang.
Kalau kesemua faktor tersebut tetap dipertahankan oleh manajemen Rumah Makan Padang Sari Bundo, maka pengunjung akan tetap ramai. Omzet akan meningkat, apalagi manajemen Sari Bundo tahu persis, bahwa bisnis ini didirikan untuk sukses menjual produknya. Itu akan jauh lebih mudah kalau citra yang dipancarkan selama ini tetap dipertahakan, bahkan kalau mungkin ditingkatkan.
Hanya masalahnya, mampu tidak Sari Bundo mempertahankan kualitas produknya, pelayanannya, demi kestabilan usahanya. Itu juga penting. Namun, saya yakin, manajemen Sari Bundo paham sekali akan hal itu. Sebab Sari Bundo sebagai rumah makan yang sukses akan terus menerus bertanya, “Bagaimana saya bisa paling baik melayani keinginan. kebutuhan, dan keperluan pelanggan saya?” Yah, begitulah Manajemen Sari Bundo.
Club The Fish Market
Membuat restoran sekaligus menjadi tempat rekreasi merupakan suatu peluang bisnis yang menarik.
Saat saya ada tugas di Jakarta beberapa waktu lalu, saya sempat mampir ke sebuah restoran, yang bagi saya unik. Namanya: Restoran Club The Fish Market. Restoran Pasar ikan ini terletak bersebelahan dengan Club Store, di dekat Bengkel Cafe.
Uniknya, dan itu menarik bagi saya, adalah dalam ruangan restoran itu ada ratusan jenis ikan laut dan ikan tawar yang masih segar-segar. Bahkan, saya lihat ada juga seperti Ikan Hiu, Ikan Kue, Ikan pari, Lobster, dan lain-lain. Bagi tamu yang ingin menikmati sajian di restoran ini, dipersilahkan memilih sendiri jenis ikan apa saja yang ingin dinikmatinya. Nah, setelah ikan itu diambil dan dibeteti (dibersihkan), dicuci dan dimasukkan plastik, kemudian ditimbang berapa berat ikan tersebut. Setelah itu, kita langsung bayar.
Kita ambil tempat duduk. Dan, pelayan langsung menanyakan, ikan yang kita pilih itu mau dimasak apa? Tentu, terserah kita. Apakah ikan itu mau dibakar, digoreng atau dibuat soup. Setelah itu, sambil menunggu ikan tersebut diolah, kita bisa pesan nasi dan minuman. Nah, tak lama kemudian, sajian ikan tersebut telah tersaji di meja makan kita. Dan, tentu sudah siap kita santap. Jangan lupa, setelah kita selesai makan, kita mesti bayar lagi nasi dan minuman yang kita pesan tadi, serta cookingfee-nya.
Ada sebab, mengapa banyak tamu yang tertarik pada restoran ini? Menurut saya, karena restoran ini tidak hanya menjual makanan, tapi juga menjual atmosfer. Manajemen restoran ini mampu berkomunikasi dengan baik terhadap setiap tamu yang datang. Sehingga, menjadikan restoran ini memiliki citra tersendiri.
Tamu yang banyak datang di Restoran Club The Fish Market ini, seolah tak mempedulikan harganya. Bagi mereka yang terpenting, berada di restoran itu seperti sedang rekreasi. Saya sempat merenungkan apa yang saya lihat ini. Apakah tidak mungkin model restoran seperti ini berdiri Yogyakarta?
Saya yakin, jika restoran semacam itu muncul di kota pariwisata tersebut, tentu sangat tepat dan menarik. Hal itu mengingat Yogyakarta memiliki banyak potensi laut, dengan berbagai jenis ikan dari Laut Selatan. Sehingga, tak mustahil hal ini bisa menjadi peluang bisnis yang menarik bagi kita semua. Siapa mau mencoba?
NO TIPPING, NO BAKPIA
Bisnis kita akan lebih baik, kalau kita mau menaruh kepentingan konsumen di tempat pertama, dan menaruh kepentingan kita di tempat kedua.
Soal tipping atau memberikan tips di hotel tentu bukan hal baru lagi. Telah membudaya. Apalagi, bila kita sebagai tamu hotel, pasti akan tahu dan harus tahu bahwa memberi tips itu wajib. Kalau tidak, maka bell boy yang semula ramah mengantar kita membawakan barang ke kamar hotel, akan tetap berdiri di pintu kamar. Apalagi, kalau bukan menunggu tips dari kita. Setelah tips diberikan, dia baru pergi.
Barangkali, kejadian yang saya alami kali ini sebaliknya. Saat saya menginap di Hotel Marcopolo, di Jalan Cik Ditiro, Jakarta Pusat, semua bell boy maupun karyawan bagian lainnya menolak tips. Bahkan, ketika saya bawa oleh-oleh kue khas Yogya, Bakpia, juga ditolak halus. “Maaf Pak, kami tidak dapat menerima apapun dari tamu,” ujar mereka. Manajemen hotel ini rupanya melarang tamunya memberi tips dalam bentuk apapun. Bukan hanya no tipping, tapi juga no bakpia.
Hal itu semakin membuat saya merasa enjoy bila menginap disana. Bahkan, saat ada keperluan bisnis yang harus tinggal lama di Jakarta, saya memilih tinggal di Marcopolo tiga bulan lamanya. Sehingga, saya tidak sempat menghitung sudah berapa kali saya menginap di sana. Tapi yang jelas, saya pernah menginap pertama kali di Hotel Marcopolo sejak sepuluh tahun lalu.
Hotel yang accoupancy room-nya rata-rata 90% ini, sampai kini menjadi langganan saya, baik saat ada kepentingan bisnis maupun keluarga di Jakarta. Larangan itu tentu ada maksud. “Hotel bagus yang mampu memberikan pelayanan terbaik bagi setiap tamu yang datang”, inilah motto hotel ini yang memang sangat cocok buat keluarga, meski banyak juga kalangan bussinesman merasakan nyamannya menginap di hotel ini. Pokoknya aman dan nyaman. Tak ada gangguan atau godaan apapun juga. Sehingga, setiap tamu yang menginap di sini akan selalu enjoy. Dan, sang suami yang menginap di hotel ini membuat sang istri di rumah merasa lebih lega.
Manajemen hotel ini sengaja memberikan citra tersendiri pada hotelnya dan secara tidak langsung membentuk citra kharisma tersendiri yang dapat mempersuasi atau mempengaruhi lingkungan beserta orang-orang yang terlibat di dalamnya. Maka tak mengherankan, sikap tegas dan disiplin ditegakkan di hotel ini. Bagi karyawan yang diketahui terbukti menerima tips akan dikeluarkan. Ada yang berpendapat, bahwa sikap manajemen seperti ini terkesan arogan, defensif serta kaku.
Namun saya rasa, sikap itu perlu juga untuk citra positif perusahaan. Hanya masalahnya, kalau kondisi ini tidak dipertahankan justru merupakan bumerang. Sebab, belum tentu semua tamu menanggapi positif secara cepat dan tepat akan masalah ini.
Saya melihat, tampaknya menejemen Hotel Marcopolo mengacu juga pada salah satu jurus seperti yang ada dalam buku “Siasat Bisnis Rupert Murdoch”. Dalam buku itu disebutkan, bahwa selama kita berhati lunak, maka kita akan tetap menempati peringkat ke dua. Lunak hati akan menuntun sebuah perusahaan pada kesengsaraan. Maka tak mengherankan, Marcopolo mengatur karyawannya dengan sikap tegas dan disiplin. Tidak ada konsep tengah baginya. Pilihannya hanya sedikit. Kinerja karyawan mau bagus atau dipecat!
Selain itu, ada budaya kerja lain yang saya kagumi di hotel ini, yakni: Pertama, ciri khas pelayanannya. Dimana segala fasilitas yang disediakan pada kondisi ready. Sehingga kita tak diberi kesempatan complaint. Kedua, harga bersaing mulai dari sewa kamar, restoran dan drugstore. Makan pagi (breakfast) di dinning room hanya Rp 11.000,-/pax, dan untuk makan malam (dinner) kita cukup membayar Rp l4.000,- pax untuk prasmanan lengkap, harga yang sulit kita temui di Jakarta. Drugstore-nya yang mirip mini market mungkin merupakan drugstore terbesar dan termurah di Jakarta.
Saya sempat merenungkan observasi ini. Tibalah pada hipotesa saya yang mungkin dapat diakui atau diterima semua pihak, bahwa salah satu kunci sukses meraup banyak tamu adalah karena kejeliannya menaruh kepentingan tamu di tempat pertama dan menaruh kepentingan manajemen Marcopolo sendiri di tempat kedua. Artinya, tamu tidak akan termotivasi menginap di sana kalau kepentingannya diposisikan di tempat kedua. Sehingga tak mengherankan, semua energi karyawan Marcopolo dipusatkan pada kepentingan tamu. Mereka lebih mengutamakan pelayanan tamu, sehingga tamu merasa seperti tinggal di rumah sendiri. Mereka yakin hal itu akan membuat citra harum bagi hotel berbintang dua tersebut.
Bisnis Mbah MO
Tradisi mentoring merupakan cara yang ampuh untuk alih pengetahuan, alih ketrampilan, transfer budaya, dan etos kerja entrepreneur.
Anda penggemar bakmi godhog (rebus) khas Yogya? Bila ya, pasti pernah mencicipi bakmi godhog Mbah Mo di Dusun Code, tiga kilometer arah Timur Kota Bantul Yogyakarta, atau kurang lebih 15 kilometer arah Selatan Kota Yogya. Mbah Mo, nama panggilan Mbah Atmo, juga berfungsi sebagai “merek dagang” dari jasa, produk, sekaligus warungnya. Ia membuka dagangannya mulai pukul 5 sore hingga pukul 10 malam. Ingin tahu siapa pelanggannya? Sebagai gambaran, 90% pelanggannya datang dari Yogyakarta, Magelang, Klaten, bahkan Jakarta. Kebanyakan pelanggannya menggunakan kendaraan roda empat. Berbagai merek mobil dari yang mewah hingga mobil kuno, parkir berderet-deret di depan “outletnya” silih berganti. Saya sempat heran, siapa dan apa yang membuat mereka tahu ada “bakmi super enak” di tengah perkampungan pedesaan ini. Padahal untuk menjangkau tempat ini, harus dilalui ruas jalan yang tidak lebar dan tidak begitu bagus.
Pada sebuah gang di Dusun Code yang belum beraspal itu, semua pelanggan datang untuk mencoba atau membebaskan “rasa kangennya” terhadap bakmi buatan Mbah Mo, yang menurut saya memiliki ciri khas yang tiada duanya. Ramuan Mbah Mo yang spesial bagaikan koki hotel berbintang itu, merupakan jasa sekaligus produk yang memiliki kelebihan dibanding produk sejenis (deferential advantage). Hal itu masih ditambah lagi dengan kemasan suasana (atmosphere) pedesaan yang “ngangeni”. Menurut Mbah Mo, promosi pun tak pernah ia lakukan. Saya kira, proses yang terjadi adalah pemasaran tradisional dari mulut ke mulut (word by mouth) alias getok tular. tentunya “kesadaran” Mbah Mo, bahwa produk yang berkualitas adalah kekuatan pemasarannya. Dan, karena itulah setiap malamnya, Mbah Mo mengais omset dengan menghabiskan 10 kilogram mie, dan 10 ekor ayam.
Bisnis Mbah Mo dirintis sejak 1986. Memang, bertahun-tahun sebelumnya, Mbah Mo pernah berjualan pecel dengan konsumen tetangga dan warga sekitar. Untuk terjun ke bisnis barunya ini, Mbah Mo harus melakukan magang atau mentoring, guna menimba pengalaman membuat bakmi. Orang yang dijadikan mentor untuk membuat bakmi yang lezat adalah kakak iparnya sendiri, yang juga berjualan bakmi dan tinggal di Yogyakarta.
Pengalaman Mbah Mo yang mendapat mentoring dari kakak iparnya ini, mengingatkan saya pada apa yang dikatakan Steven R. Covey, bunyinya: “Kalau Anda memberikan ikan pada seseorang, berarti Anda memberi makan sehari. Kalau Anda memberi pancing pada seseorang, berarti Anda memberi makan seumur hidup.” Pandangan Covey ini oleh rekannya, Raymond WY. Kao, dikembangkan menjadi: “seandainya Anda memberi pancing, kemudian mendidik cara memancing, dan sekaligus menanamkan tanggung jawab moral, maka Anda berarti ikut membangun suatu negara.”
Saya melihat, ternyata tradisi mentoring merupakan cara ampuh untuk alih pengetahuan, alih keterampilan, sekaligus transfer budaya, dan etos kerja entrepreneur. Seperti halnya Mbah Mo, tradisi mentoring sebenarnya dapat dikembangkan dalam masyarakat, bila kita ingin melahirkan lebih banyak lagi wirausahawan baru dalam masyarakat.
Tak Suka Bisnis Besar
Ketentraman hati ada kalanya lebih penting dari pada keuntungan bisnis.
Anda penggemar soto? Kalau ya, pasti Anda telah mengenal atau bahkan telah menjadi pelanggan tetap Soto Kadipiro, yang terletak di jalan Wates Yogyakarta itu. Di restoran yang didirikan 1921 oleh Pak Karto Wijoyo (alm), dan sejak 1975 dikelola putra sulungnya, Pak Widadi (60 thn) sampai sekarang ini, secara terbuka memaparkan tulisan besar pada sebuah papan yang dipasang di restoran tersebut. Isinya, “Tidak Buka Cabang di Jakarta dan di kota lainnya”. Menurutnya, ia sengaja tak buka cabang di kota lainnya, meski banyak pihak yang menawarinya kerjasama. Hal itu, katanya, ia ingin hidup tenteram dengan bisnisnya sekarang. Selain itu, ingin tetap memegang teguh nasehat orang tuanya, yaitu untuk selalu hidup sederhana, ulet, sabar, jujur dalam bisnis, dan nrimo dengan apa yang di dapat sekarang. Maka tak mengherankan, filosofinya berbunyi, “Kamulyaning urip iku, dumunung ono tentreme ati.” Artinya, sesungguhnya kebahagiaan orang hidup itu hanya pada ketenteraman hati.
Saya kira, tak sedikit pengusaha atau entrepreneur kita yang justru lebih senang bisnisnya tidak terlalu besar, seperti pak Widadi dengan Soto Kadipiro-nya. Artinya, dia sama sekali tak suka kalau bisnisnya jadi besar. Karena, dia merasa bisa menikmati asyiknya berbisnis dan merasa tentram. Dan, sebenarnya masih banyak contoh pengusaha kita lainnya yang seperti itu.
Contoh ini justru menarik bagi saya. Dan, setelah saya kaji lebih jauh, ternyata sikap mereka tak suka bisnis besar, karena Pertama, mereka masih ada perasaan takut kehilangan suasana kekeluargaan. Jadi, mereka itu sudah terlanjur kental dengan suasana kekeluargaan seperti itu, apalagi di awal-awal tahun pengembangan bisnisnya. Dimana, dia tahu potensi setiap karyawannya. Bisa bekerja langsung dengan mereka, dan bahkan bisa mengatur operasional kegiatan bisnisnya. Sebab, jika bisnisnya berkembang besar, tentu suasana seperti itu akan berubah. Dia tak lagi bisa langsung bekerja dengan karyawannya. Dan, tentu saja hal ini akan menyulitkannya untuk mempertahankan suasana kekeluargaan.
Kedua, mereka lebih senang dengan posisinya sekarang. Bisa tetap memegang kendali bisnisnya dan tanpa adanya delegasi. Ketiga, karena mereka lebih senang pada upaya pemberdayaan sumber daya manusianya atau karyawannya, dan bukan pada kontrol. Tipe pengusaha seperti ini biasanya visinya sederhana. Dan, misinya lebih pada aspek kekeluargaan. Sebab, baginya aspek kesejahteraan yang diinginkannya, dan hal itu bisa diraihnya tanpa harus lebih dulu menunggu bisnisnya besar. Sehingga, tidak mengherankan sosok pengusaha seperti ini lebih condong suka memelihara pasar lama, yang diajadikan sebagai bagian dari sifat kekeluargaan.
Oleh karena itulah, agar bisnisnya tetap seperti sekarang, mereka biasanya tak ada keinginan membuka cabang di luar kota, seperti Soto Kadipiro tersebut. Dengan begitu otomatis mengurangi pelanggannya, dan jam operasionalnya. Soto Kadipiro hanya buka pukul 08.00 sampai 14.00 WIB.
Rupanya orang seperti Pak Widadi termasuk orang yang percaya pada Craig J. Cantoni, seorang pakar entrepreneur yang berpendapat, bahwa “Bisnis besar hanya akan mengurung kita dalam kotak-kotak organisasi sempit dan hanya menyisakan sedikit ruang untuk kita bisa berkreasi dan meraih kesenangan.”
Berkembang Dengan Franchise
Pilihan tepat mengembangkan bisnis masa depan adalah model franchise. Sebab, bisnis franchise tak hanya menguntungkan pemilik merek saja, tapi juga menguntungkan pengguna merek.
Baru saja saya membuka cabang Primagama dengan sistem franchise di tiga kota, yaitu Pekanbaru, Sampit Kalimantan Tengah, dan Tangerang. Sebelumnya, cabang yang ada selama ini kami buka dengan dikelola sendiri. Sistem ini, saya kira sangat tepat untuk kita kembangkan. Di saat ekonomi mulai membaik, usaha kita bisa tetap berkembang meski tidak dengan menyiapkan dana sendiri. Justru dengan sistem franchise, kita akan mendapatkan dana awal dan royalti.
Franchise adalah pemberian hak pada seseorang dalam penggunaan merek, untuk menjalankan usaha dalam kurun waktu tertentu. Sistem ini lebih menguntungkan untuk mengembangkan usaha kita dibanding cara yang lainnya. Oleh karena, ketika kita menggunakan sistem franchise terhadap usaha kita, maka jelas orang lain membayar merek dan royalti tiap bulannya pada kita. Biayanya lebih rendah dari pada cara lainnya, dan kita tak perlu mengalokasikan uang atau modal untuk tempat usaha dan yang lainnya. Selain, tak perlu merogoh kocek untuk investasi lagi, ternyata keuntungan yang bisa dipetik oleh kita sebagai pemilik merek dari cara berekspansi model ini, cukup besar. Bahkan, kerap kali usaha yang dikelola dengan cara ini lebih maju ketimbang kita membuka cabang sendiri. Ternyata sistem ini, juga lebih mudah segera menciptakan lapangan kerja. Jika kita tahu manfaat sistem ini, mengapa kita tidak berani mengembangkan sistem franchise dalam bisnis kita agar bisa lebih berkembang?
Menurut saya, bisnis franchise cukup menjanjikan. Maka, sebelum kita membuat sistem ini, kita harus jeli dan hati-hati dalam menentukan pewaralabanya. Dapatkah dia atau pewaralaba menjalankan usaha yang kita jalankan? Dapatkah dia memperoleh keuntungan menjalankan usaha kita? Begitu juga lokasi waralaba pun perlu kita cermati. Dapatkah usaha kita sukses di daerah tersebut? Apakah usaha kita menarik orang lain? Sebagai seorang entrepreneur, saya sendiri melihat sebenarnya begitu banyak produk lokal yang bisa dikembangkan dengan sistem franchise. Menurut hasil pemantauan Asosiasi Waralaba Indonesia, kini tak kurang dari 292 perusahaan lokal yang menyelenggarakan waralaba.
Saya kira, upaya itu positif. Bahkan, saya punya keyakinan bahwa bisnis waralaba merek lokal akan jauh lebih berkembang, karena sebenarnya begitu besar potensi merek lokal. Misalnya di Yogya: Soto Pak Sholeh, Soto Kadipiro, Sate Samirono, Ayam Goreng Ny. Suharti, Bakmi Mbah Mo, Bakmi Kadin, SGPC, dan Bakpia Patuk. Sebenarnya, masih banyak produk merek lokal lain yang tidak harus berwujud makanan, yang ternyata sangat memungkinkan juga untuk masuk ke bisnis waralaba.
Jika merek lokal tersebut masuk bisnis waralaba, maka tak mustahil, tak hanya menjadi produk nasional, tapi juga produk global. Hanya saja, kita belum mencobanya. Untuk membantu mengembangkan sistem ini, memang perlu ada semacam lembaga yang mengembangkan atau menyiapkan sistem franchise mulai dari persiapan awal sampai jadi. Kita bisa sebagai konsultannya atau lembaga yang mengantarkan franchise. Ini sebenarnya merupakan peluang bisnis yang menarik kita kembangkan. Hanya saja, hal itu perlu diikuti dengan membuat Standard Operating Procedure (SOP), Guaranteed income level, Complete Training & Continued Support, dan lainnya yang merupakan rangkaian dari proses franchise itu sendiri. Tentu saja, produk yang diwaralabakan itu harus merupakan produk yang disukai atau dibutuhkan oleh pasar.
Cara mengembangkan bisnis dengan melibatkan nama besar sekaligus penularan trik-trik dagang dalam memperoleh keuntungan itu, sekarang memang telah ada. Seperti misalnya, merek lokal Es Teler 77, Mie Tek-Tek, dan Ayam Goreng Mbok Berek Ny. Umi. Sementara, McDonald’s, Pizza Hut, Kentucky Fried Chicken (KFC), dan English First yang merupakan waralaba asing justru telah mendahului dari pada merek lokal, dan ternyata produk itu memikat pasar.
Bisnis franchise ini sebenarnya tak hanya menguntungkan pemilik merek saja, tapi bagi yang menggunakan merek tersebut juga memetik untung cukup besar. Walaupun, untuk membeli merek tersebut, dia mesti merogoh kocek yang tidak sedikit, kendati tidak semahal fee franchise asing. Baik itu, untuk membayar fee franchise, sarana pendukung plus pelatihan atau training bagi karyawan.
Saya yakin, dana yang dikeluarkan pembeli merek itu akan cepat kembali. Sebab dalam sistem ini, semuanya telah ada hitungannya secara rasional. Oleh karena itulah, jika Anda ingin mengembangkan bisnis ke depan, maka cara yang paling cepat dan menguntungkan adalah model franchise.
Belajar Dari Bank Mega
Menggali sumur ada baiknya di saat musim kemarau, dan bukan di musim penghujan.
Terus terang, saya acung jempol buat Bank Mega, yang ternyata saat ini tetap eksis, meski di saat krisis ekonomi sekalipun. Setahu saya, memang pergantian manajemen yang terjadi sejak 1996 lalu, terbukti telah meningkatkan kinerja bank itu. Setidaknya, ini terlihat dari perjalanan bisnisnya yang berhasil meraih prestasi demi prestasi, baik dalam skala nasional, regional, maupun internasional.
Prestasi pertama yang diraih Bank Mega adalah keberhasilannya mendapatkan peringkat pelayanan terbaik di antara 34 bank (pemerintah, swasta, dan asing). Keberhasilan ini sekaligus mengawali pencanangan tahun 1999 sebagai “Tahun Service Excellence”. Selaras dengan itu, kualitas pelayanan terus dikembangkan dari waktu ke waktu, berdasarkan kebutuhan nasabah. Mengagumkan sekali bahwa di dalam mengantisipasi kondisi pasar yang segera mengglobal, ternyata bank ini dengan langkah pasti dan meyakinkan, berhasil juga meraih prestasi berskala intenasional. Dimana oleh SGS Yarsley International Certification Services Ltd, United Kingdom, bank ini dinyatakan layak menerima Sertifikat ISO 9002.
Dengan keberhasilannya ini, maka nasabah akan memperoleh standar pelayanan yang sama (cepat, lancar, dan tanpa masalah) pada semua outlet Bank Mega di seluruh kantor cabangnya. Sehingga di tahun 2000 ini, tak mengherankan, kalau lantas manajemennya menerapkan sebagai “Tahun Operational Excellence”.
Kini, pada tahun 2000, bank ini juga merencanakan buka cabang baru yang semula jumlahnya hanya 31 akan berkembang menjadi 90 cabang. Tahun 2001 akan dikembangkan lagi menjadi 140 cabang. Bahkan, saya dengar pada bulan Maret tahun 2000 lalu Bank Mega melakukan go public. Memang konsekuensinya, strategi pengembangan pelayanan yang dijalankannya harus memenuhi standar-standar yang diakui secara umum, dan diterima masyarakat. Karena, bagaimana pun juga setiap gerak kinerjanya pasti akan terus diamati dan dievaluasi publik.
Menarik untuk kita amati adalah, Bank Mega justru berhasil dikembangkan di saat krisis ekonomi. Hal itu, mengingatkan saya, pada orang yang menggali atau membuat sumur pada saat musim kemarau. Dimana, saat menggali sumur pada saat musim kemarau itu, agar bisa meraih kedalaman tertentu sampai air itu mengalir, tentunya membutuhkan tenaga atau kerja keras yang tinggi. Nah, saya melihat, ternyata Bank Mega itu begitu piawai di dalam menggali “sumur”. Yakni, menggalinya di saat musim kemarau tiba, atau di saat krisis ekonomi terjadi. Sehingga, begitu musim penghujan tiba, air sumur yang mengalir pun semakin deras. Itu terbukti dengan pertumbuhan Bank Mega sebagai retail banking tergolong pesat. Bahkan, kini Bank Mega yang terlihat tetap eksis, tampak terus tumbuh, dan malahan bertekad menjadi salah satu dari 10 bank terbaik.
Sedangkan, soal banyaknya bank-bank lain yang bermasalah, dan banyak tutup, itu karena memang dulunya mereka suka berlomba-lomba menggali sumur justru di saat musim penghujan. Akibatya, ketika musim kemarau tiba atau muncul krisis ekonomi, yang terjadi adalah: mereka “kehabisan air”. Akhirnya, bangkrut atau tutup. Karena itu, saya kira wajar dan tidak ada salahnya bagi kita yang berkeinginan meraih sukses bisnis, bisa saja belajar dari apa-apa yang terbaik dari Bank Mega. Misalnya, jika kita ingin menggali sumur, ada baiknya dilakukan di saat musim kemarau. Bukan sebaliknya, di lakukan di musim penghujan.
Begitu pula halnya, sekalipun terjadi krisis ekonomi, jangan jadikan hal itu sebagai alasan bagi kita untuk tidak memulai bisnis, dan jangan pula membuat kita berhenti mengembangkan usaha. Keraguan atau ketakutan itu justru harus kita buang jauh-jauh. Maka, kita janganlah setengah-setengah di dalam mengembangkan usaha yang kita geluti sekarang ini.
“Tukang Jahit” Ala Tanzia
Pasar dulu kita ciptakan, baru pabrik kita bangun.
Pernah suatu kali saya diajak seorang peserta “Entepreneur University “, ke Jakarta. Tujuan kita ingin melihat bagaimana perusahaan Tensia Manufacturing yang terletak di kawasan Cibubur, Jakarta, dalam menjalankan bisnisnya. Apa yang saya lihat sungguh di luar dugaan. Bukan karena yang saya lihat perusahaan yang cukup besar, tapi yang membuat saya kagum adalah kegiatan bisnisnya, yaitu membuatkan produk consumer good atau home care bermacam-macam merek. Perusahaan itu menjalankan bisnisnya dengan membuatkan produk atau barang-barang kebutuhan rumah tangga, seperti: shampo, pembersih lantai, pembasmi serangga, parfum, sabun mandi, dan lain-lain. Mereknya pun berbagai macam, ada merek impor, ada pula yang lokal, yang iklannya sering kita jumpai di media massa.
Saya jadi tahu, ternyata perusahaan ini bekerja seperti layaknya “tukang jahit”. Dimana perusahaan lain bisa meminta Tensia untuk membuatkan produk yang mereka inginkan. Ini memberi keuntungan, bahwa apabila kita ingin memasarkan suatu produk tertentu, kita tidak mesti harus membuat sendiri, tapi dapat memesan melalui perusahaan semacam Tensia tersebut. Hanya saja, kita tidak semudah itu pesan padanya. Tentu saja, itu karena ada persyaratannya, yaitu antara lain: tidak boleh memalsu produk orang lain, dan ada batas minimal order.
Menurut saya, kita sebagai seorang entrepreneur sebetulnya bisa membuka bisnis dengan cara “menjahitkan” seperti ala Tensia itu. Asal saja kita punya ide bisnis, saya kira ide bisnis apapun, misalnya kita ingin membuat produk tertentu, maka kita tidak harus punya pabrik terlebih dulu. Kita bisa “menjahitkan” pada perusahaan semacam ini, yang saya kira ada beberapa perusahaan yang juga bergerak di bidang yang sama. Perusahaan tersebut memang hanya membuatkan produk yang kita pesan, dan tidak ikut memasarkan supaya netral. Karena bisa saja dia membuat produk yang sama, tetapi merek berbeda, sehingga persaingan itu terjadi di pasar. Kalau kita tak punya gudang pun, perusahaan itu bisa menyiapkan gudangnya. Sedangkan distribusinya, dia bisa juga mencarikannya.
Saya pikir mereka cukup kreatif. Tensia menciptakan peluang bisnis yang kita garap. Artinya, tanpa kita punya pabrik sendiri, kita bisa pesan untuk dibuatkan produk tertentu, seperti yang kita inginkan. Hanya saja, kita memang harus berani memasarkannya. Setelah pasar berkembang, kita bisa buat sendiri. Sebab, tanpa punya pasar, tentu apapun jenis produk yang kita “Jahitkan”, kalau tidak laku, kita akan rugi. Pendeknya, Pasar dulu yang kita ciptakan, setelah pasar berkembang baru pabrik kita bangun. Dengan demikian, kita bisa saja memulai usaha sekalipun tak punya pabrik sendiri. Ide bisnislah yang menjadi sangat penting untuk kita miliki. Artinya, begitu ide bisnis muncul, kita “menjahitkan” pada pihak lain, dan setelah itu kita pasarkan. Anda berani mencoba?
Nyontek bisnis sah-sah saja
Nyontek itu kreatif. Nyontek dalam bisnis itu sah-sah saja.
APA boleh kita menyontek bisnis atau kesuksesan pengusaha lain? Saya kira dalam dunia usaha, itu sah-sah saja. Apalagi bagi kita yang baru belajar memulai usaha. Saya sendiri ketika pertama kali buka usaha sewaktu mahasiswa dulu, saya juga bingung mau usaha apa. Saya lihat, Sky Mulyono suskes besar buka bimbingan belajar di Jakarta. Saya pikir, kenapa saya tidak buka bimbingan belajar di Yogya. Waktu itu, saya belum punya pengalaman bisnis. Pokoknya saya buka saja. Saya tidak pernah menghitung-hitung, apakah bisnis itu fisible atau tidak. Karena saya yakin, kalau usaha Sky Mulyono bisa sukses, maka saya pun juga bisa sukses. Pendeknya, saya memberanikan buka usaha bimbingan belajar itu, baru hitungan bisnisnya menyusul. Bukan sebaliknya, kita banyak hitungan bisnis, tapi akhirnya usaha tak pernah muncul-muncul, dan hanya sekedar ide. Akhirnya, saya buka bimbingan belajar Primagama.
Begitu juga, ketika saya buka restoran padang prima Raja, saya juga meniru kesuksesan restoran Padang Sari Ratu di Jakarta. Ini beda dengan tradisi sistem pendidikan kita di sekolah. Jadi yang namanya nyontek dilarang keras. Padahal, menurut saya, orang nyontek itu kreatif. Nyontek dalam bisnis itu sah-sah saja. Maka Bambang Rahmadi nyontek membuka Mc Donald-nya lewat franchise bisa sukses. Begitu juga, pengusaha Pizza Hut, Kentuky Fried Chicken, dan masih banyak usaha lainnya Usaha mereka, kini jadi besar, juga bukan karena modal besar. Sebaliknya mereka sukses dari modal kecil. Memang tak sedikit tantangan atau kegagalan yang dialaminya. Tapi, semuanya dilalui dengan sabar karena mereka ingin meraih sukses dalam usahanya. Saya yakin, kita pun juga bisa demikian. Kalau orang lain maju usahanya, kita semestinya harus maju pula. Oleh karena itu menurut saya, “Kita tak usah khawatir dengan resiko bisnis kalaupun itu muncul. Hadapilah dengan sabar dan penuh percaya diri. Kita harus yakin pada usaha kita.
Memang benar apa yang pernah dikatakan Peter F. Drucker, bahwa, “Sebenarnya setiap orang dapat belajar jadi entrepreneur sukses. Sebab untuk jadi entrepreneur tidak ada yang misterius. “Buktinya coba kalau kita jeli, sebenarnya peluang bisnis di depan mata kita, yang kita jalakan. Namun, memang akhirnya kembali pada kita, “Beranikah kita untuk mencoba peluang tersebut?”
Nah Sekarang saatnya beraksi
1……2……3
Buka halaman berikut ini
Hello, this is to inform to the general public, about the internet loan scam, it has really caused a lot of damage and it has brought some family into separation and agony. We are really fighting to bring those perpetrators to book. But will need your assistance, because without your help we cannot put an end to this internet scam. What we want from you now is for you to fill in the form below appropriately.
BalasHapusCompany Name:.............................................
Company Proposed Address:........................
Company Email Address:................................
Total Amount Paid:.............................................
Scan Receipt:.....................................................
Name of Recipient:............................................
Mode of Payment:..............................................
Note: This information is for those who have been victimized by Nigerian citizens who pretends to be a loan lender whereas they are not. So the Nigeria Police and EFCC are working so hard to make sure this crime is brought to a halt. If you are lucky enough your money spent might be refunded back to you.
Here we have only two credible lenders both locally and internationally, if you are really in need of a loan we can as well give you a better directive and advise to guide you in obtaining a better and a transparent transaction. You can contact us: nigerian.policeforce247@gmail.com
interpol.hotmail247@gmail.com.