S
ambungan dari
Cara Gila Jadi Pengusaha (Bagian 1)
Optimisme Entrepreneur
Sesungguhnya keberanian seorang
entrepreneur dalam menggeluti bisnisnya, terletak pada optimismenya.
Dalam situasi ekonomi sesulit apapun, saya rasa seorang
entrepreneur atau wirausahawan harus tetap optimis dalam menggeluti bisnisnya.
Sebab, sesungguhnya keberanian seorang entrepreneur dalam menggeluti bisnisnya
adalah terletak pada optimisme. Dengan tetap optimis, kita akan tetap
termotivasi dan cemerlang dalam memanfaatkan setiap peluang bisnis. Bukan
sebaliknya, pesimis. Sebab, sikap pesimis itu akan membuat semangat berwirausaha
kita menjadi runtuh. Hal semacam itu jelas kalau bakal merugikan kita. Saya
rasa wajar manakala dalam mengeluti bisnis kita, ada saja masalah yang timbul pada
setiap harinya. Tinggal bagaimana sikap kita masing-masing. Bila kita
menghadapinya tidak dengan pikiran yang segar, dengan tidak optimis, maka tentu
saja kita akan dihadapkan pada situasi pikiran yang rumit, terlalu tegang dan akhirnya
bisa stres sendiri. Bahkan, ide atau gagasan kita yang cemerlang tiba-tiba berhenti,
dan pada akhirnya merembet pada sikap kurang percaya diri. Sehingga dalam setiap
kita melakukan negoisasi bisnis akan selalu grogi.
Tetapi coba bandingkan, bila kita tetap punya
optimisme yang tinggi. Meski diterpa “angin keras” apa pun kita tetap optimis,
baik dalam bisnis maupun kehidupan sehari-hari, maka kita akan menjadi seorang
yang selalu optimis dalam mengarungi masa depan. Kita pun menjadi tidak mudah
terkejut oleh berbagai kesulitan apapun juga. Bahkan kita akan tertantang dan
selalu berusaha mencari jalan pemecahannya yang terbaik.
Dengan pemikiran yang optimis itu, kita juga akan lebih bisa
menggunakan imajinasi untuk meraih kesuksesan atau keberhasilan. Dengan
demikian, optimisme akan meningkatkan kekuatan atau kemampuan kita dalam
berusaha dan akan menghentikan alur pemikiran yang negatif. Namun kalau kita
cenderung suka berpikir negatif, maka pasti akan memenuhi banyak kesukaran.
Justru dengan optimisme, kita selalu akan terdorong untuk berpikir
positif. Saya rasa berpikir positif adalah suatu cara yang terbaik untuk
mempromosikan percaya diri, dan menghimpun energi positif. Sebab pikiran kita
merupakan sumber-sumber ide atau gagasan yang paling berharga jika kita mau
berpikir secara positif. Itu sebabnya, mengapa sikap mental positif (positive
mental attitude) seorang entrepreneur itu menjadi penting.
Saya Dicap “Orang Gila”
Entrepreneur itu pemberani,
meski belum tentu pandai. Orang pandai itu justru belum tentu berani melakukan
bisnis.
Dalam acara pemberian penghargaan terhadap Lembaga Bimbingan
Belajar Primagama oleh Museum Rekor Indonesia (MURI), saya benar-benar “digarap”
oleh rekan saya yang juga Direktur MURI, Jaya Suprana. Dalam acara yang
diselenggarakan pada hari Jumat 2 Juli 1999 yang lalu, saya dicap sebagai
“orang gila” oleh Jaya Suprana. “Betapa tidak”, kata Pak Jaya, “Usaha yang
dibuka Pak Purdi saya nilai sebagai usaha edan-edanan. Pak Purdi memang demikian
“gila” berani membuka usaha yang saya nilai sebagai industri bimbingan belajar
terbesar di Indonesia”, tutur pakar kelirumologi tersebut. Lebih lanjut
dikatakan “Karena itulah, saya rela menyerahkan sendiri sertifikat MURI ini
kepada pak Purdi.
Padahal, saya sebenarnya sudah janjian dengan Presiden Habibie.
Tapi karena ada acara ini, acara di Bina Graha saya batalkan,” demikian kelakar
Boss Jamu Jago itu. Yah begitulah Pak Jaya. Bahkan, saya juga dibilang “gila” ,
karena begitu cepat dalam mengembangkan bisnis pendidikan ini. Dan memang, pada
usia 18 tahun pada 10 Maret 2000 yang lalu, Primagama telah berkembang lagi,
dengan memiliki 181 cabang di 96 kota yang tersebar di 16 propinsi.
“Saya salut sama Pak Purdi. Sebagai seorang wirausahawan, ia selalu
melakukan hal-hal yang tidak rasional dan terlalu berani. Tidak punya modal
cukup, berani buka usaha. Terlalu optimis terhadap ide-ide rencana usahanya,
dan mengambil risiko adalah pekerjaan biasa,” demikian kata Pak Jaya lagi dalam
kesempatan pidatonya. Entrepreneur lain yang disebut Pak Jaya adalah Tirto
Utomo, yang rupanya lebih gila lagi. Tirto Utomo bisa menjual air (aqua) lebih
mahal dari bensin. Dan bisnis Tirto pun saat ini juga berkembang sangat pesat.
Jaya Suprana mengatakan begitu, karena memang faktanya demikian.
Banyak usaha yang dimulai dari ide-ide gila, dan keberanian yang luar biasa.
Bagi orang awam, perilaku wirausaha memang terasa aneh dan sulit dicerna.
Tetapi bila dilihat dari sisi motivasi, mereka memang orang-orang yang memiliki
motivasi yang tinggi (high achiever) dalam meraih sesuatu. Tak lekang karena
panas, tak lapuk karena “hujatan”. Padahal, belum tentu memiliki kepandaian dan
ketrampilan yang memadai untuk memulai usahanya. Entrepreneur
itu adalah pemberani, walaupun belum tentu ia orang pandai. Orang pandai
justru belum tentu berani. Hal ini mungkin karena terlalu berhitung. Banyak wirausaha
yang lahir bukan karena pandai, tetapi karena berani. Berani memulai usahanya.
Berani meraih peluang. Tidak pernah takut. Menurut Marianne Williamson,
ketakutan kita yang paling mendalam bukan karena kurang memadai. Ketakutan yang
paling mendalam adalah karena kita terlalu kuat. Sisi terang, bukan sisi gelap
yang membuat kita takut. Dari kalimat tersebut dapatlah diambil kesimpulan,
bahwa makin tahu banyak hal, maka makin membuat orang takut mencoba. Sehingga
teman saya yang seorang akuntan, dan ingin berwirausaha, ia akan selalu
menghitung feasibility-nya dan tidak pernah memulai usahanya. Sementara, peluang
yang sama telah direbut orang lain. Saya tidak menyarankan untuk tidak
menghitung rencana usaha Anda. Tetapi, keberanian untuk memulai nampaknya harus
didahulukan. Ada teman saya yang ingin membuka usaha retail atau warung
kelontong. Yang dia hitung dan bayangkan, adalah akan membutuhkan modal yang
banyak, tempat yang bagus, dan bayangan yang serba menakutkan. Dan, pada saat
bertemu dengan saya, dia saya sarankan membuka retail-nya dulu, baru berpikir
kemudian. Ternyata betul juga, begitu retail-nya dibuka, banyak orang yang
menitipkan barang (konsinyasi), dimana sebelumnya hal tersebut tak pernah dipikirkan.
Kemudian ada petugas bank yang menawarkan pinjaman uang untuk meningkatkan
modal. Dan,banyak kesempatan yang datang silih berganti, yang tidak pernah
diduga sebelumnya. Keberanian seorang entrepreneur
untuk berwirausaha itu sama dengan keberania menghadapi risiko. Kalau dengan negative thinking, risiko sama dengan bahaya.
Tetapi kalau dengan positive thinking, maka risiko itu sama
dengan rejeki. Resiko kecil yang didapat pun
kecil. Contohnya, seorang tukang cuci piring, risikonya hanya memecahkan piring,
maka penghasilannya pun kecil. Yang berisiko besar, penghasilannya pun akan besar.
Sehingga, seberapa besar rejeki yang
diinginkan, sama dengan seberapa besar Anda berani mengambil risiko.
GAYA KEPEMIMPINAN
Memanfaatkan Otak Orang Lain
Menjadi orang nomor satu di
perusahaan kita sendiri, itu sangat bisa. Tapi tidak bisa semua kegiatan
bisnis, kita jalankan sendiri.
Mensyukuri apa yang kita peroleh dari hasil bisnis, walau tak
sebesar seperti yang kita harapkan semula, saya kira, itu penting. Setidaknya,
ini merupakan langkah kita pertama menjadi entrepreneur yang bijak. Namun,
tentunya kita tetap memiliki kemauan untuk mengembangkan bisnis kita seoptimal mungkin.
Sehingga, hasil yang kita peroleh juga akan bisa lebih maksimal, meskipun
persaingan di dunia bisnis makin kompleks.
Untuk mewujudkannya, kita mungkin tak hanya cukup memanfaatkan otak
kita sendiri, tapi ada baiknya juga memanfaatkan otak orang lain. Sebab, kita
harus menyadari benar, bahwa setelah bisnis yang kita rasakan berkembang cukup
pesat, dan kita menjadi orang nomor satu di perusahaan yang kita dirikan, tentu
saja tak bisa semua kegiatan bisnis bisa kita jalankan dengan otak kita sendiri.
Maka, sudah sewajarnya kalau kita memanfaatkan otak orang lain,
yang oleh Williams E. Heinecke, penulis buku “The Entrepreneur 21 Golden dan Rules for the Global Business Manager”,
disebut “Work with other people’s brain”, Menurut, entrepreneur terkemuka yang
sukses mengembangkan bisnis Pizza Hut, seorang entrepreneur yang bersedia
bekerja dengan memanfaatkan otak orang lain, sesungguhnya adalah entrepreneur
sejati.
Saya sendiri juga merasakan, bahwa memanfaatkan otak orang lain
dalam bisnis. Khususnya di era milenium ketiga ini, merupakan yang sangat
penting. Acapkali itu lebih baik ketimbang harus semuanya kita jalankan
sendiri. Katakanlah, kita akan mudah menangkap peluang bisnis dengan bantuan
otak orang lain. Karena itu, jangan apa-apa dikerjakan sendiri. Akibatnya, kita
bisa jadi pemurung, kebanyakan kerja, dan sulit bagi kita bisa menikmati
penghidupan yang layak sebagai seorang entrepreneur.
Saya yakin, jika kita berhasil memanfaatkan otak orang lain dengan
baik, sebenarnya juga sebagai upaya positif kita menghindarkan sikap keras
kepala kita sendiri. Dan, itu akan lebih mudah membuat kita mau mendengarkan
dengan hati terbuka apa yang dikatakan orang lain. Pada akhirnya, sikap ini
pulalah yang akan menciptakan hubungan kerja harmonis. Maka, kita sebagai
entrepreneur yang memiliki perusahaan, alangkah bijaknya kalau kita juga jangan
mudah “alergi” dengan apa yang dikatakan orang lain.
Selain itu, jika kita bisa memanfaatkan otak orang lain dengan
baik, sesungguhnya juga kemajuan yang positif bagi bisnis kita sendiri. Bahwa,
kita pun ternyata mampu mengangkat diri kita sebagai pemimpin perusahaan yang
benar-benar memiliki kemampuan profesional dan kecerdasan emosional. Niscaya,
bisnis kita akan tetap eksis dan lebih berkembang pesat disaat ini maupun di
masa mendatang.
Dan, perlu diingat bahwa memanfaatkan otak orang lain, itu bukan
merupakan kelemahan kita sebagai entrepreneur. Tapi sebaliknya, hal itu justru
menunjukan, bahwa kita benar-benar telah memiliki intelektualitas, kecerdasan
emosional, kecintaan pada diri kita sendiri, maupun perusahaan.***
Boss Bukan Pemimpin
Menjadi entrepreneur leader itu
lebih baik dari pada jadi boss.
Panggilan boss itu memang sudah biasa di dalam dunia usaha walaupun
mungkin maksudnya untuk menghormati. Namun, menurut saya, sebetulnya panggilan
boss itu terkesan ada maunya, ada pamrihnya. Saya sendiri tidak bangga dengan
panggilan itu. Risih rasanya. Saya tidak ingin jadi boss. Saya ingin menjadi
entrepreneur leader, seorang entrepreneur yang juga seorang pemimpin.
Dalam hal ini, John C. Maxwell, yang banyak menyoroti perbedaan
antara boss dan pemimpin mengatakan, Seorang
pemimpin lebih punya i’tikad baik, lebih bijak, baik dalam sikap dan tingkah
lakunya. Dia lebih bisa melatih atau mendidik pengikutnya. Dia juga bisa
sebagai teladan bagi pengikutnya. Katakanlah, seorang karyawan yang baru
masuk di perusahaannya dan langsung mentoring pada seorang pemimpin menjadi
cepat berkembang, karena pemimpin mampu menimbulkan rasa antusiasme pada
karyawannya. Tetapi lain halnya, dengan seorang boss. Boss lebih mirip dengan
juragan. Seorang boss itu lebih banyak maunya sendiri, egoismenya tinggi, dan
sikap atau tingkah lakunya lebih terkesan menggiring pekerjanya dan kerap
menimbulkan rasa takut pada anak buahnya. Karena sikap itu menyangkut pola rasa
dan pola pikir, sehingga pengaruh sikap boss semacam itu, menurut seorang pakar
kepribadian, Dale E. Galloway, akan dapat membuat anak buahnya menjadi gelisah,
menderita, melukai hati, dan bahkan bisa mendatangkan musuh. Seorang boss juga
lebih tergantung pada wewenang, terutama wewenang struktural. Kalau tidak
memiliki lagi wewenang, maka pengaruhnya tidak ada. Bahkan orang lain tidak
lagi respek pada dia, manakala sudah tidak menjadi boss lagi. Itulah memang
konsekuensinya kalau seseorang lebih menggunakan wewenang struktural. Jadi orang
lebih terpengaruh pada boss yang punya wewenang tersebut, dan bukan pada hubungan
moral seperti yang lebih baik dilakukan seorang pemimpin.
Dan, saya kerap melihat, bahwa seorang boss cenderung suka menyalahkan
anak buahnya, karena dia memang lebih suka menetapkan kesalahan tanpa
menunjukan jalan keluar, dan boss itu tahu bagaimana itu dilakukan. Tapi lain
halnya dengan seorang pemimpin, dia lebih suka memperbaiki kemacetan yang
dilakukan bawahannya atau pengikutnya dan bisa menunjukan cara mengatasinya.
Boss juga lebih mengatakan “Aku”, sementara pemimpin lebih suka
mengatakan “Kita”. Perbedaannya tak hanya itu. Boss juga lebih suka mengatakan
“Jalan!”, jadi lebih bersikap otoriter. Sangat berbeda dengan cara pemimpin
dalam menggerakan karyawannya lebih bersikap egaliter, maka tak mengherankan
lebih cenderung mengatakan “Mari kita jalan!”.
Oleh karena itulah, dalam mengembangkan bisnis kita dan dalam
menghadapi persaingan bisnis yang semakin keras saat sekarang ini, saya kira
memang dibutuhkan entrepreneur-entrepreneur leader. Keberhasilan bisnis kita
akan lebih sukses karena tindakan dan keputusan strategis yang diambil oleh
entrepreneur leader. Sebab, dalam kepemimpinannya mereka lebih menekankan pada
hubungan manusiawi, sehingga orang-orang di bawahnya lebih termotivasi dan
lebih mampu menggunakan pemikiran dan wawasan kreatifnya. Sebaliknya, boss
tidak mampu menumbuhkan sikap semacam itu. Maka, jadilah entrepreneur
leader.***
Pemimpin Bukan Manager
Pemimpin itu selalu berpikir
meloncat-loncat dan sering membingungkan bawahannya.
Melakukan hal-hal yang benar (doing the right things), berani menghadapi resiko dan memiliki motivasi untuk selalu
nomor satu. Ide-ide bisnisnya orisinal, dan menaruh mata ke masa depan serta
memiliki perspektif jauh ke depan penuh kepercayaan diri. Itu salah satu profil
seorang pemimpin.
Walaupun banyak yang menganggap pemimpin itu menyukai segala bentuk
macam tantangan, karena rasa optimis yang selalu dimilikinya. Cukup menarik
buat saya. Sebab yang saya amati dan rasakan, Pemimpin
bukan hanya mampu menggerakan orang lain, melainkan juga berani mengambil pola
pikir yang tidak populer sekalipun, mampu memberikan solusi, dan memiliki
semangat untuk menjadi yang selalu terdepan.
Teliti punya teliti, ternyata dalam menjalankan bisnis saat ini
maupun masa datang, memang seharusnya memiliki manager leader, manager yang
punya jiwa pemimpin. Mengapa? Sebabnya adalah persaingan yang serba kompetitif,
situasi bisnis yang kompleks dan sulit diramalkan keberlangsungannya, sehingga
sangat dibutuhkan sosok manager seperti itu. Kalau tidak, kita akan kalah
bersaing. Akibatnya, bisnis kita yang kita jalankan akan sulit maju.
Saya setuju pendapat pakar manajemen yang mengatakan, kalau Pemimpin
itu selalu melakukan hal-hal yang benar, sementara manager hanya mampu
melakukan hal-hal dengan benar (doing the things right). Dimana, seorang pemimpin di dalam
melakukan hal-hal yang benar tidak terlalu memperdulikan caranya. Itu tak
terlalu penting baginya. Sebab, bagi seorang pemimpin, hal-hal yang menyangkut
urusan pelaksanaan idenya itu adalah tugas manager. Pemimpin selalu berpikir
loncat-loncat, dan jangkauannya seringkali panjang, bisa membingungkan bawahan
untuk mengikutinya.
Lain halnya dengan manager. Jangkauan ide atau gagasannya pendek,
dan wawasannya relatif kering. Kewajibannya adalah bagaimana melakukan tugasnya
dengan benar. Manager baru jalan setelah ada planning dulu, sudah ada program
kerja atau prototype-nya. Wajar kalau ada yang berpendapat bahwa pada dasarnya
Manager itu tiruan, sementara pemimpin adalah orisinal.
Itu mengingatkan, ide atau gagasan seorang pemimpin tidak pakai
planning. Responsibilitasnya memang tidak setiap saat muncul. Bila ternyata
ide-ide bisnisnya yang dijalankannya itu nanti benar atau salah, urusan
belakangan. Baginya yang terpenting telah menemukan ide bisnis yang cemerlang.
Kita bisa juga lihat, bahwa manager dalam rangka mempertahankan
proses atau kontinuitas kerjanya cenderung menerima status quo. Statusnya ingin
aman-aman saja. Bahkan, kalau perlu menghindar dari resiko. Tapi sebaliknya
dengan pemimpin. Ia justru menentang status quo, dan lebih berani menghadapi
resiko. Perbedaan lainnya, adalah seorang manager itu suka bertanya, bagaimana
dan kapan terhadap sesuatu hal. Sedangkan, pemimpin lebih suka bertanya, apa
dan mengapa. Selain itu, pemimpin lebih terkesan ingin menjadi pribadinya
sendiri, dan menguasai lingkungannya. Sementara, manager adalah “tentara baik”
yang klasik, dan menyerah kepada lingkungan.
Manager dalam menjalankan aktivitasnya juga sangat bergantung pada pengawasan.
Dia ingin selalu mengelola dan mempertahankan bisnis yang sudah ada, serta
lebih berfokus kepada sistem dan struktur. Sementara, pemimpin lebih merupakan sosok
yang justru mampu membangkitkan kepercayaan bawahanya atau relasinya. Itu sebabnya,
mengapa fokus seorang pemimpin lebih kepada orang, dan bukan kepada sistem atau
struktur.
Oleh karena itu, jika kita sekarang berada pada posisi manager,
sebaiknya tidak menafikan atau menghilangkan nuansa-nuansa atau jiwa
kepemimpinan. Agar segala keputusan yang diambil tidak kering, lebih tenang
dalam menjalankan bisnis, mampu mengantisipasi hal-hal yang tak pasti, energik,
antusias, memiliki integritas, tegas tapi adil, visi bisnisnya lebih jelas, dan
mampu memproyeksikan bisnis ke-masa depan.***
“Dan”
Kita akan menjadi tangguh dan
terdepan dalam prestasi, jika kita bisa bersinergi
Siapa yang tak kenal dengan kelompok musik anak muda dari Jogja,
Sheila on 7? Tentu, anda semua pernah mendengarkan lagu hitsnya yang berjudul
“DAN”. Konon, album pertamanya itu terjual lebih dari 1 juta keping. Kita
tentu, bangga dengan kesuksesan mereka. Judul
lagu “Dan” itu cukup menarik buat saya. Namun, “Dan” dalam tulisan saya ini
artinya sinergi. Sebab, yang saya ungkap kali ini bukanlah asyiknya
mendengarkan lagu “Dan”, namun bagaimana pentingnya sebuah sinergi dalam dunia
bisnis. Saya yakin, kita bisa menjadi entrepreneur
tangguh atau terdepan, bila kita bisa bersinergi. Bekerjasama dengan pihak
lain, demi kesuksesan bisnis kita. Mungkin Anda bertanya, apa benar
bersinergi itu menguntungkan kita? Sebab, tak sedikit kasus yang menunjukan
bahwa bersinergi dengan orang lain justru membuat bisnis kita sulit berkembang.
Saya sudah menduga, pasti pertanyaan Anda seperti itu.
Memang, tak selamanya bersinergi itu negatif. Tapi bisa sebaliknya,
bersinergi membuat bisnis kita maju dan kita mampu memanfaatkan peluang bisnis.
Konsep bisnis kita menjadi briliant, selama sinergi yang saya maksud itu
positif. Teliti punya teliti, ternyata memang sinergi itu bisa negatif dan bisa
positif. Untuk kita menjadi terbaik, tentu kita harus mencari rekan bisnis yang
positif. Ini menunjukan, bahwa kita akan memiliki kekuatan potensi kuat dan
mampu meyakinkan prospek bisnis kita. Dengan sinergi positif, saya yakin kita
akan memiliki pemikiran jauh kedepan penuh percaya diri, sehingga mampu
mengantisipasi hal-hal yang tidak pasti.
Apalagi, dalam era global, dunia bisnis berputar cepat, terkadang
tidak rasional, tidak pasti, sehingga menghadapi hal itu kita memang harus
memiliki sinergi atau kekuatan kerjasama yang sangat tinggi. Saya yakin, hal
itu akan menjadikan kita menjadi entrepreneur yang selalu optimis atau memiliki
sense of optimism yang tinggi. Tapi juga bisa sebaliknya, bila sinergi itu
negatif, maka bisnis apapun yang kita jalankan tidak akan berhasil.
Keyakinan saya pun bertambah dengan pengalaman ini. Saya pernah
diajak bisnis pom bensin dengan teman pengusaha. Tapi setelah lewat proses
panjang, ternyata sulit terrealisir. Saat itu saya belum yakin, apakah karena
itu sinerginya negatif? Empat tahun kemudian saya ketemu lagi sama teman
pengusaha tadi, yang kini buka bisnis komputer. Dia mengajak saya lagi bisnis
showroom atau jual beli komputer. Rupanya, saya dan teman saya itu sama-sama
belum percaya bahwa sinergi kami negatif. Kami coba lagi, tapi gagal. Bisnis
itu sampai kini belum terealisir juga. Contoh lain, artis Camelia Malik. Saat
dia bersuami Reynold, pasangan ini tidak cocok dan tidak dikaruniai anak. Tapi,
setelah berpisah dan mereka menemukan pasangan masing-masing, ternyata cocok
dan dikaruniai anak. Jadi ada sinergi positif.
Begitu juga hubungan sinergi antara owner dengan eksekutif. Bisa
positif, juga negatif. Namun, bagi kita yang percaya pada sinergi, jumlah satu ditambah
satu bukan hanya dua. Bisa sepuluh, seratus, bahkan seribu. Saya sendiri tidak
meragukan hal ini. Tapi setidaknya, dengan kita memiliki kecerdasan emosi
optimal dan intuisi yang tajam, saya yakin, kita akan semakin pintar memilih
rekan bisnis yang bersinergi positif. Dan, tidak mustahil, entrepreneur yang
memiliki kemampuan tersebut akan sangat menguntungkan bagi bisnis maupun
kehidupannya.***
Egaliter Itu Perlu
Emosi kita akan semakin cerdas,
bila kita mau mengedepankan hubungan yang humanis dan harmonis.
Teori kepemimpinan berdasarkan gen mengungkapkan, bahwa pada
dasarnya setiap orang itu sama. Begitu pula halnya, di dalam mendambakan
perhatian positif. Saya melihat salah satu upaya untuk mewujudkan hal itu
adalah jika kita berhasil menerapkan hubungan yang lebih mengedepankan aspek
hunanis dan harmonis dalam komunikasi antar level struktural atau yang lebih
dikenal dengan hubungan egaliter. Saya merasa yakin, bahwa hubungan semacam ini
segi manfaatnya sangat besar, bila kita benar-benar berhasil menerapkannya di
perusahaan kita masing-masing.
Hanya saja, hubungan ini akan berjalan bila diawali dari
pimpinannya. Kita sebagai seorang wirausahawan atau entrepreneur yang juga
adalah seorang pemimpin, memang perlu memberikan suri tauladan terlebih dahulu
akan pentingnya hubungan egaliter ini pada lingkungan kerja kita, pada staf
kita. Sebab, hubungan egaliter itu akan membuat kita semakin paham pada suatu
bentuk komunikasi yang transparan dan jujur. Begitu halnya dalam hubungan
intra-personal. Dimana, hubungan antara pemimpin dengan staf tak ada lagi jarak
yang tajam. Namun, sikap saling menghormati tetap terjaga.
Menurut saya, dampak positif lain dari hubungan egaliter itu adalah
kita akan lebih dapat meningkatkan kecerdasan emosional kita. Terutama pada hal
yang berkaitan dengan soal membina hubungan dengan orang lain, dan mengenali
emosi orang lain. Dengan begitu, kita akan lebih mudah menyeleraskan diri
(harmonizing) dengan orang lain.
Itu penting kaitannya dengan bisnis. Sebab, hubungan semacam ini
akan memungkinkan kita lebih memiliki rasa percaya diri yang kuat. Segala ide,
pemikiran dan gagasan bisnis kita juga akan semakin baik. Sehingga hal itu,
tidak mustahil akan membuat kita cenderung lebih kreatif, dan akhirnya kita
akan lebih produktif. Begitu pula halnya dengan semangat kita di dalam
berwirausaha juga akan semakin bergairah. Dan, sukses akan lebih mudah
tercapai.
Dengan begitu, saya rasa hubungan pimpinan dengan staf tidak harus
melewati dulu birokrasi yang berbelit-belit. Ruang kerja bisa kita buat
sedemikian rupa, kalau perlu terbuka, sehingga komunikasi dua arah (two way traffic communication)
antara pimpinan dengan staf akan lebih mudah tercipta.
Kita tentu mengerti, bahwa pimpinan dalam mengembangkan bisnisnya
tak bisa sendiri. Membutuhkan bantuan staf. Maka, sebaiknya, kita sebagai
seorang entrepreneur tak perlu ragu lagi menerapkan hubungan harmonis semacam
itu. Apalagi di saat sekarang ini, jelas tak hanya menuntut kita piawai atau
jeli di dalam melihat dan meraih peluang bisnis, tapi, kita juga harus pintar
pula menerapkan bentuk hubungan kerja yang harmonis. Tim kerja di perusahaan
kita akan semakin kompak dan solid.
Hubungan egaliter itu, saya rasa juga perlu karena hubungan ini
akan lebih mengkondisikan kita untuk mau mendengarkan pendapat orang lain.
Keterpercayaan diri kita maupun staf juga kan tumbuh. Padahal kita tahu bahwa
keterpercayaan itu adalah faktor paling penting di balik setiap tindakan
kreatif.
Namun, kultur ini tak ada korelasinya bahwa yang pantas
menerapkannya adalah harus mereka yang memiliki intelektualitas tinggi. Justru
yang terpenting adalah bagaimana kita bisa memimpin. Memimpin adalah suatu yang
berkaitan dengan mengelola orang-orang yang pintar. Namun, itu bukan berarti
kita harus menjadi orang paling pintar atau profesional. Memang, entrepreneur
itu harus didampingi profesional, agar bisnisnya lebih berkembang. Sebab cara
berpikirnya seringkali meloncat-loncat. Sementara, seorang profesional
pemikirannya cenderung yang lurus-lurus atau yang aman-aman. Maka cukup riskan,
bila dia lantas mencoba menjalankan bisnisnya seorang diri alias one man shoe. Kualitas
manajemennya akan kurang baik. Maka, seorang entrepreneur dan profesional harus
memiliki hubungan yang harmonis. Apalagi dalam waktu dekat ini kita akan
memasuki millenium ketiga yang kemungkinan besar bisnis kita cenderung akan
penuh dengan hyper-competition, suatu persaingan yang sangat ketat. Maka, tanpa
ada hubungan seperti itu di lingkungan kerja atau perusahaan kita, maka tentu
saja target bisnis kita akan sulit tercapai.
Oleh karena itu, tak ada salahnya bila kita berani mencoba
menerapkan hubungan egaliter ketimbang hubungan yang terlalu mengedepankan
jarak atau gap antara pimpinan dan staf. Sebab, hubungan seperti ini akan
membuat suasana kerja menjadi tidak kondusif atau tidak enjoy. Kreativitas juga
bisa mandeg dan prestasi kerja pun akan menurun. Itu sebabnya, mengapa hubungan
egaliter itu perlu.***
Jadi Pemimpin atau Bawahan
Hanya dua pilihan bagi kita:
menyerah saja jadi bawahan, atau mau terus berusaha menjadi pemimpin.
Jika setiap saat kita selalu menanyakan “Apa hak-hak saya?”, itu
artinya kita termasuk golongan bawahan. sedangkan, jika kita lebih suka
bertanya “Apa tanggung jawab saya?”, itu berarti termasuk golongan pemimpin.
Wajar saja, mestinya memang demikian. Selain itu, seorang bawahan biasanya
orang yang bekerja lebih terdorong oleh emosinya. Sementara, seorang pemimpin,
bekerja atau berbisnis lebih karena terdorong oleh karakternya.
Saya juga melihat, bahwa seorang bawahan itu akan merasakan senang,
baru kemudian dia melakukan pekerjaan atau tugasnya dengan benar. Itu lain
dengan pemimpin. Dia akan selalu berusaha melakukan segala pekerjaannya dengan
benar, kemudian dia kan merasa senang dengan prestasi kerjanya itu. Pendeknya,
bawahan itu bekerja atau melaksanakan tugas karena terdorong oleh kesenangan,
dan bukan terdorong oleh komitmen seperti biasa dilakukan oleh seorang
pemimpin.
Perbedaan lain yang cukup menonjol antar keduanya, menurut pakar
leadership, Jhon C. Maxwell, yaitu seorang bawahan itu sukanya selalu menunggu
momentum, barulah dia mau bergerak. Sikapnya lebih mengendalikan tindakan, dan
berhenti ketika masalah timbul. Sementara, kalau kita sebagai pemimpin, maka
kita akan lebih cenderung menciptakan momentum. Sedang, tindakannya lebih
mengendalikan sikapnya, dan seorang pemimpin justru akan meneruskan usahanya
ketika masalah timbul. Saya juga melihat, memang benar seorang bawahan itu jika
membuat keputusan selalu berdasarkan popularitas. Berbeda dengan pemimpin yang
setiap membuat keputusan apapun, termasuk dalam bisnisnya, adalah lebih
berdasarkan pada prinsip dan bukan pada popularitas. Sehingga, tidak
mengherankan kalau seorang pemimpin itu tidak suka bersikap murung dalam
menggeluti bisnisnya. Sebaliknya, dia akan selalu mantap menekuni bisnisnya.
Karena itu, saya berpendapat, di saat sekarang ini kita Lebih baik menjadi ikan besar di kolam kecil daripada
harus menjadi ikan kecil di kolam besar. Artinya, kita lebih baik menjadi
pemimpin, walaupun bisnis kita kecil dan anak buah kita sedikit, daripada kita
harus ikut orang lain sekalipun bisnisnya sudah besar. Memang, menjadi seorang pemimpin
tidaklah mudah. Tapi yakin saja, sebab kita masing-masing memiliki kapasitas kepemimpinan.
Saya yakin, jika kita bekerja pada perusahaan besar sebagai
bawahan, tentu kita tidak bisa berbuat banyak, atau tidak bisa mempengaruhi
kebijakan perusahaan. Naiknya karier kita pun jelas membutuhkan waktu yang
lama. Tapi lain halnya, kalau kita bekerja pada perusahaan yang masih kecil,
maka peluang untuk mengembangkan bisnis lebih besar. Sehingga, karier kita pun
akan cepat berkembang pula. Kita jadi punya andil untuk mengembangkan usaha
menjadi besar, dan akhirnya kita akan lebih cepat jadi pemimpin perusahaan.
Kasus pemutusan hubungan kerja (PHK) tidak akan membuat kita
berhenti bekerja, kalau kita punya jiwa kepemimpinan. Tapi sebaliknya, kalau
kita terus menerus menjadi bawahan, akibatnya kita tidak punya keberanian jadi
pemimpin. Kita juga tidak akan memiliki keberanian untuk mencoba punya bisnis
sendiri. Akhirnya sekarang, kita hanya mempunyai dua pilihan: kita menyerah
saja menjadi bawahan atau kita tetap berusaha untuk menjadi seorang pemimpin.
Manager Berjiwa Entrepreneur
Manager berjiwa entrepreneur
bisa jadi akan menjadi entrepreneur sejati
Memajukan perusahaan, saya kira, itu bukan hal yang mustahil. Asal
kita mau berusaha mewujudkan keinginan tersebut. Diantaranya, perusahaan yang
kita geluti sekarang ini harus diusahakan memiliki manager yang benar-benar
berjiwa entrepreneur. Itu sangat penting. Sebab, jika tidak, akan berakibat
pada perusahaan atau bisnis kita sendiri, yakni akan berada pada posisi stabil
atau status quo. Kondisinya hanya begitu-begitu saja.
Tapi lain halnya, kalau perusahaan kita itu memiliki manager yang
berjiwa entrepreneur, maka saya yakin bisnis yang kita jalankan akan lebih
berpeluang cepat berkembang. Dan, kita juga akan lebih siap menghadapi
persaingan bisnis yang ketat di era globalisasi.
Selain itu, manager berjiwa entrepreneur akan membuat perusahaan
kita lebih kreatif dan inovatif. Sebab, bisnis yang sudah mencapai titik
optimum itu biasanya jika tidak disentuh dengan manajer berjiwa entrepreneur,
akan mengalami kondisi yang menurun.
Saya sendiri merasakan bahwa, jika suatu perusahaan itu memiliki
manager yang berjiwa entrepreneur, juga akan selalu siap menghadapi setiap
perubahan dalam bisnis. Dan, perubahan tersebut bagi manager berjiwa
entrepreneur, adalah bagian dari pekerjaannya. Sedang, resiko yang timbul pun
juga bagian dari pekerjaannya. Persis seperti yang dikatakan oleh William
Ahmanson, bahwa dalam bisnis itu, tidak ada jalan lurus yang dapat ditempuh
dari satu tempat ke tempat lain.
Maka, dalam konteks inilah, saya melihat, bahwa bisnis itu memang
ada tiga komponen, yakni meliputi: investor (orang yang mencari resiko),
entrepreneur(orang yang mengambil resiko), dan manager (orang yang menghindar
resiko). Dan, dalam keadaan kondisi bisnis yang baik, jiwa entrepreneur menjadi
hal penting. Apalagi di saat kita harus menghadapi krisis ekonomi, tentu saja
akan lebih penting lagi.
Karena itu, kita bisa melihat, bagaimana orang-orang Barat yang
bergerak di dunia usaha juga terus melakukan pengembangan bentuk-bentuk
intuisi, yang saya tahu itu sangat banyak membantu dalam pengembangan usahanya.
Itu juga pertanda, bahwa dia memiliki jiwa entrepreneur.
Adapun ciri-ciri manager yang berjiwa entrepreneur
memang tidak hanya itu. Menurut J.A Schunpeter dalam bukunya “The Entrepreneur
as Inovator”, manager yang berjiwa entrepreneur juga merupakan sosok yang berambisi
tinggi di dalam mengembangkan bisnisnya, energik, percaya diri, kreatif, dan
inovatif, senang dan pandai bergaul, berpandangan ke depan, bersifat fleksibel,
berani terhadap resiko, senang mendiri dan bebas, banyak inisiatif dan
bertanggung jawab, optimistik, memandang kegagalan sebagai pengalaman yang
berharga (positif), selalu berorientasi pada keuntungan, dan gemar
berkompetisi.
Berbeda dengan manager yang tidak berjiwa entrepreneur. Maka, dia
akan cenderung berpikir sangat rasional, suka kemapanan, dan tidak menginginkan
adanya perubahan. Kerap kali terjadi seorang manager akan mengalami kesulitan
dalam mengikuti gaya berpikir seorang entrepreneur. Dia juga akan kesulitan
mengikuti setiap langkah-langkah bisnis entrepreneur.
Hanya saja, seorang manager yang memiliki jiwa entrepreneur itu
bisa jadi akan menjadi entrepreneur sejati. Dan, sebaiknya manager perusahaan
kita yang berjiwa entrepreneur itu, kita beri lagi sebuah tantangan yang lebih
besar, misalnya mengelola unit usaha kita yang lain. Atau, bisa juga dia keluar
dari perusahaan kita. Lantas berbekal jiwa entrepreneur yang dimilikinya, dia
memberanikan diri mendirikan perusahaan sendiri. Itu lebih baik. Sebab
tindakanya akan membantu menciptakan lapangan kerja. Entrepreneur-entrepreneur
baru juga akan semakin sering bermunculan.
Memang, pada akhirnya bisa saja dia akan menjadi pesaing kita
sendiri, pesaing perusahaan kita, jika ternyata bisnis yang digelutinya sama
dengan kita. Anggap saja, itu sebagai “bumbu penyedap” dalam kita menggeluti
bisnis.***
Banyak Melayani Banyak Rejeki
Jika perusahaan ingin
berkembang, maka pelayanan adalah segala-galanya.
Barangkali kita tahu, bahwa salah satu tugas seorang entrepreneur
adalah tugas kepemimpinan. Memang idealnya, entrepreneur adalah sekaligus
seorang pemimpin. Paradigma baru, pemimpin yang baik adalah pemimpin yang mampu
memberikan pelayanan pada orang yang dipimpinnya atau bawahannya. Maksud saya,
entrepreneur sebagai pemimpin, juga sekaligus sebagai orang yang mau melayani.
Jangan sampai kemudian terbalik, bahwa pemimpin itu justru minta dilayani.
Dalam konteks inilah, barangkali kita perlu kembali menyadari,
bahwa sebagai entrepreneur, apalagi yang baru saja membuka bisnis, maka
sesungguhnya sangatlah perlu mengutamakan pelayanan. Misalnya, bagaimana kita
melayani komsumen. Bagaimana konsumen puas dengan layanan kita. Dan, bagi kita
yang memiliki perusahaan sudah relatif maju, maka konsumen biasanya diberikan
pelayanan oleh karyawan kita. Sedangkan karyawan dilayani oleh manager-nya, dan
para manager semestinya dilayani oleh direksi. Sedangkan, direksi dilayani oleh
pemilik bisnis. Tentu kita akan bertanya, lantas siapa yang melayani si pemilik
bisnis? Jawabanya bisa sangat banyak. Tapi yang jelas, menurut saya konsep
melayani memang mudah diucapkan, tapi sangat berat untuk dilaksanakan. Sebagai
entrepreneur yang sudah cukup lama menggeluti dunia bisnis, pasti akan selalu
berhubungan dengan banyak orang. Apalagi kita sebagai seorang pemimpin perusahaan,
tentunya melayani banyak orang adalah pekerjaan yang harus dilakukan. Melayani
banyak orang artinya bisnis kita jalan. Saya kira, melayani itu harus mengalahkan
diri kita dulu sebelum memberikan pelayanan kepada orang lain. Melayani berarti
tidak boleh pilih kasih. Pelayanan bisa berarti kita melayani orang-orang di lingkungan
bisnis kita. Dan, kita tak mungkin bekerja tanpa harus saling melayani. Melayani
bawahan berarti memberikan perhatian pada bawahan kita. Melayani manager
berarti memberikan penghargaan pada mereka. Dan, melayani konsumen adalah pekerjaan
kita yang utama. Perusahaan yang ingin berkembang, maka pelayanan adalah segala-galanya.
Bisnis melayani banyak orang akan mendatangkan banyak omset. Saya sependapat
dengan Robert T. Kiyosaki, dalam bukunya yang ke-4 berjudul “Rich Kid, Smart
Kid”. Dalam buku tersebut dikatakan, bahwa jika kita membangun sebuah bisnis
yang melayani ribuan orang, sebagai timbal balik dari bisnis kita, maka kita akan
menjadi jutawan. Nah, kalau kita bisa melayani jutaan orang, maka kita pun juga
akan menjadi milyarder. Oleh karena itulah, kita sebagai entrepreneur harus
selalu siap melayani banyak orang, dan jangan alergi melakukannya. Percayalah,
dengan kita semakin melayani banyak orang, maka rejeki yang datang pun akan
semakin banyak pula.***
Banyak Sumber Penghasilan
Sebagai entrepreneur, kita
sebaiknya tidak hanya memiliki satu sumber penghasilan.
Bisnis, biasanya dimulai dengan coba-coba, kadang malah
asal-asalan. Dimulai dengan modal seadanya, tempat seadanya, dengan orang yang
sama-sama belajar dari nol. Saya kira, dari memulai yang serba kekurangan
inilah yang akan membuat kita semakin cerdas dalam berbisnis. Proses bisnis ini
akan memberikan pengalaman bisnis yang semakin hari mencerdaskan kita.
Belajar dari pengalaman bisnis setiap hari dan kebutuhan akan kemajuan
bisnis kita, mulailah kita memberikan sentuhan manajemen, walaupun itu masih
sangat sederhana. Sudah ada bagi-bagi pekerjaan atau bagi-bagi fungsi. Ada yang
pegang keuangan, ada yang sudah mulai jadi bagian pemasaran. Ada yang bagian
produksi, ada juga yang ngurusi karyawan. Malah terkadang ada beberapa
pekerjaan masih dirangkap satu orang. Ini adalah proses menuju bisnis yang
sesungguhnya. Artinya, bisnis yang memiliki sistem yang baik. Dengan sudah
adanya sistem, kita sebagai pengusaha memiliki banyak waktu luang. Karena,
sistem sudah berjalan dengan baik. Ketika sebelum ada sistem, pengusaha
cenderung mengelola perusahaan dengan full time. Kini, setelah ada sistem,
cukup dengan part time. Karena itu, menurut saya, jika perusahaan kita sudah
memiliki sistem yang baik, dan bisnis kita relatif berkembang, maka kesempatan
kita untuk mengembangkan bisnis sangat terbuka luas, termasuk membuka bisnis
baru. Berdasarkan pengalaman saya, lebih mudah membangun bisnis yang ke-2,
ke-3, dan seterusnya, dari pada ketika memulai bisnis yang pertama. Karena, di
saat memulai bisnis yang pertama kita belum punya apa-apa. Sementara, membangun
bisnis yang ke-2, ke-3, dan seterusnya lebih mudah karena bisnis kita yang
pertama sudah memiliki sistem yang baik. Saya kira, perlu dipertimbangkan
matang-matang jika kita ingin mencoba membangun bisnis yang ke-2, seharusnya
bisnis kita yang pertama sudah mempunyai sistem yang baik.
Dengan aktivitas kita yang sebelumnya full time, dan sebagian
entrepreneur menjadi part time, dimungkinkan kita memiliki banyak waktu luang.
Banyaknya waktu luang itu, membuat kita sebagai entrepreneur akan lebih fokus
dalam menciptakan bisnis-bisnis baru. Menciptakan bisnis baru itu berarti kita
telah menciptakan sumber penghasilan baru. Jika perusahaan kita memiliki sistem
yang baik, maka manajer dan karyawan akan bekerja sesuai dengan apa yang kita
inginkan. Sehingga, banyak pekerjaan yang sudah terbagi habis oleh para
profesional di lingkungan bisnis kita. Dalam konteks inilah entrepreneur tidak
harus fokus. Justru yang harus fokus adalah orang-orang yang mengelola bisnis
kita. Hanya mungkin, kita harus ikut fokus di awal berdirinya bisnis tersebut.
Setelah bisnis kita kelihatan jalan, yah cari fokus yang lain. Sebagai
entrepreneur, sebaiknya kita tidak hanya memiliki satu sumber penghasilan saja.
Tetapi bagaimana, kita dapat menciptakan banyak sumber penghasilan.
Ibarat kita punya telur sepuluh menetas sembilan, itu lebih baik
dari pada mempunyai satu telur menetas semua. Dengan kita membuat bisnis yang ke-2,
ke-3, dan seterusnya, kita berharap akan mendapatkan penghasilan yang ke-2,
ke-3, dan seterusnya. Sehingga, dengan kita memiliki banyak sumber penghasilan,
maka kita sebagai pengusaha mempunyai peluang untuk memiliki kebebasan
finansial.
Semangat kita menciptakan bisnis ke-2, ke-3, dan seterusnya akan
punya dampak sosial, yaitu menciptakan lapangan kerja, mambagi-bagi keuntungan,
dan lain-lain. Artinya, kita sebagai entrepreneur memiliki kepedulian sosial
yang tinggi. Silahkan mencoba!***
Berani Nyumbang Berani Investasi
Jika kita berani menyumbang dan
berinvestasi, maka kita berani menghadapi resiko dan ketidakpastian.
Saya berpendapat bahwa sebenarnya keberanian kita memberikan
sumbangan pada orang lain atau pihak lain yang kita berikan secara tulus ikhlas
adalah sama halnya dengan kita memiliki jiwa entrepreneur atau jiwa wirausaha.
Saya yakin, pasti anda bertanya, kenapa demikian? Padahal kita tahu
bahwa sebagian uang yang kita miliki telah kita sumbangkan pada orang lain,
tapi saya melihat, sikap wirausahawan yang seperti itu pertanda bahwa dia telah
memiliki suatu keberanian mengambil resiko yang harus selalu dimiliki oleh
seorang wirausahawan. Dan, sebagai wirausahawan kita tetap memiliki kepedulian
sosial.
Hanya saja, masing-masing wirausahawan di dalam memberikan
sumbangan tentu saja berbeda-beda. Tergantung keikhlasan masing-masing.
Barangkali sudah selayaknya kalau cukup berhasil dalam bisnis kita lantas
memberikan sumbangan yang cukup berarti, itu wajar saja. Berbeda halnya dengan
mereka yang pendapatannya masih relatif kecil. Namun sekalipun pendapatan kecil
sebaiknya kita juga membiasakan untuk menyumbang.
Oleh karena itulah, saya kira, kita tak perlu berpikir negatif
kalau tiba-tiba di kantor kita kedatangan tamu yang minta sumbangan. Berpikir
positif saja. Justru kita seharusnya berterima kasih pada sang tamu yang minta
sumbangan pada kita, bahwa di tengah kesibukan kita sehari-hari dalam
menjalankan bisnis, ternyata masih ada orang yang mengingatkan kita atau yang
mengetuk hati kita untuk ikhlas memberikan sumbangan.
Dalam konteks inilah, mengapa saya menganggap bahwa sesungguhnya pemberian
sumbangan ini adalah langkah positif dan langkah maju. Bahkan, bisa saya artikan
kalau kita berani menyumbang, maka kita tidak akan takut lagi berinvestasi.
Kita juga tidak akan takut lagi memulai atau mengembangkan bisnis. Karena, kita
sudah terbiasa terlatih dengan ketidak-takutan memberikan sumbangan. Berani
menyumbang dan berinvestasi merupakan keberanian kita untuk menghadapi resiko
dan ketidakpastian. Singkatnya kalau kita berani menyumbang pasti kita telah
memiliki keberanian memulai bisnis atau mengembangkan bisnis, dan memiliki
keberanian berinvestasi. Sesungguhnya keberanian kita memberikan sumbangan
mudah-mudahan akan membantu melancarkan bisnis yang kita jalani saat ini.
Percayalah, banyak menyumbang banyak rejeki.
INTUISI ITU PERLU
Mengambil Keputusan
Pertimbangan intuisi lebih peka
dari pertimbangan rasional, maka kita jangan ragu untuk menggunakan intuisi
dalam bisnis.
“Haruskah saya membuka rumah makan padang?” itulah pertanyaan yang
sempat muncul dalam benak saya saat itu. Ketika ide semacam ini saya coba
lontarkan pada orang lain, mereka malah pesimis dan menanyakan: “Mengapa anda
harus membuka bisnis rumah makan padang, padahal bisnis seperti itu ‘kan sudah
menjamur. Apakah punya prospek bagus? Dengan adanya berbagai komentar tersebut,
membuat saya semakin tertantang untuk membuktikan-nya. Padahal, sebelumnya saya
sama sekali belum pernah terjun ke bisnis rumah makan, tetapi hal itu saya anggap
saja sebagai peluang bisnis. Sebagai entrepreneur, saya harus berani mencoba
untuk membuktikannya, dan sanggup mengambil keputusan yang tepat. Namun, saat
itu saya tetap optimis, bahwa ide tersebut bisa terealisir. Pada akhirnya saya
mengambil keputusan, bahwa saya harus berani mencoba bisnis ini. Saya yakin
peluang pasar tetap ada, khususnya untuk kalangan masyarakat menengah ke atas. Ternyata,
bisnis ini terwujud dan jalan. Bahkan di masa krisis pun, saya optimis bisnis
rumah makan tetap prospektif. Kenyataannya, tamu semakin banyak, ada menteri, tokoh
masyarakat, artis, dan kalangan pengusaha.
Di dalam mengambil keputusan seperti itu, pertimbangan intuisi saya
rupanya lebih peka dari pertimbangan rasional. Memang sebagai entrepreneur kita
harus berani menggunakan intuisi secara efektif, baik untuk pengambilan
keputusan dalam bisnis maupun dalam kehidupan sehari-hari. Meskipun kemungkinan
kita tidak menyadari prosesnya, bahwa setiap keputusan yang kita buat dengan
menggunakan intuisi ini hanya salah satu contoh dari sekian banyak pengalaman
yang saya alami. Saya merasakan betul, betapa tajamnya sentuhan intuisi itu.
Hal itulah yang barangkali memungkinkan saya membiarkan data intuisi itu
melengkapi data lain, yang akhirnya saya gunakan dalam membuat keputusan.
Sehingga, saya semakin yakin, bahwa dalam menggeluti bisnis maupun kehidupan
ini, sebaiknya kita tetap menggunakan intuisi. Sebab, intuisi akan ikut membuka
pikiran dan memberi nilai tambah bagi emosi kita, dan intuisi akan
memberdayakan kita agar semakin produktif dan aktif dalam setiap situasi.
Intuisi menjadi sangat penting, tidak hanya untuk kepentingan
sekarang, namun juga untuk kepentingan masa depan. Sebab, diperkirakan
tantangan bisnis di masa mendatang, relatif berbeda dengan sekarang. Perubahannya
sangat cepat dan serba kacau, tidak menentu, sehingga sulit bagi kita untuk
memprediksikannya. Suatu tantangan dengan tingkat turbulensi yang tidak menentu
semacam ini, jelas akan membuat intuisi kita semakin berperan dalam setiap
mengambil keputusan. Kemungkinan besar ilmu manajemen yang sekarang kita
geluti, masih sulit untuk bisa memecahkan berbagai tantangan yang akan terjadi
di masa mendatang. Padahal, kita tentunya tetap berharap, bahwa bisnis yang
kita jalani sekarang ini harus tetap terus berkembang.
Kita sebagai entrepreneur, disukai atau tidak, harus tajam dalam
intuisi. Kita harus mampu berpikir cepat, dan akhirnya mampu mengambil
keputusan yang tepat. Saya melihat ada sesuatu yang unik pada intuisi, yakni
berlawanan dengan proses nalar. Proses intuisi itu tidak linier (bermacam-macam
pola), sedang proses rasional adalah linier. Itu sebabnya, mengapa kebanyakan
entrepreneur dalam setiap mengambil keputusan atau langkah dalam bisnisnya,
sering membuat kejutan, tidak rasional, dan berani menghadapi resiko.
Oleh karena itu, saya setuju pendapat yang mengatakan, bahwa antara
intuisi dan irasionalitas, saling berkaitan. Sebagian keputusan yang kita ambil
merupakan campuran berbagai macam ingatan, gagasan, perasaan, dan fakta yang
kadang-kadang saling bertentangan. Sehingga “sentuhan” intuitif itu
memungkinkan kita membiarkan data intuisi itu melengkapi data lain yang akan
kita gunakan untuk mengambil keputusan.
Menurut Quinn spitser dan Ron Evans, Intuisi
adalah analisa kilat dari fakta dengan menggunakan pengetahuan dan pengalaman
sebagai filter. Dalam bisnis, memang dikenal adanya intuisi bisnis. Di
dalamnya ada wawasan, pengalaman, mental, dan perasaan. Bagi mereka yang
memiliki intuisi bisnis yang tajam, maka dia tidak hanya mampu mengandalkan
perasaan, tapi ada juga wawasan yang luas, pengalaman banyak, dan mental yang
dalam. Intuisi ada empat tingkatan, yaitu bisa muncul melalui fisik, emosi,
mental, dan spiritual.
Banyak cara mengembangkan intuisi, di antaranya seperti yang
dikembangkan oleh Robert K. Cooper, Phd, yaitu: terjun ke dalam pengalaman,
kerahkan kemampuan sedikit lebih banyak, tetap terbuka terhadap segala
kemungkinan, atasi rasa takut, kenali dan cari cara untuk mengatasi apapun yang
menghalanginya.
Selain itu Cooper juga menyarankan, supaya peluang penginderaan
harus ke luar dunia bisnis, berikan perhatian ekstra kepada tanggapan pertama
terhadap pertanyaan-pertanyaan, perhatikan bagaimana intuisi berkomunikasi
dengan diri kita, luangkan waktu beberapa menit saja dalam sehari untuk catatan
kecerdasan emosional, dan jangan lupa memperluas rasa percaya diri. Anda berani
mencoba ?
Jamming
Jamming bukan hanya milik musisi
jazz, tapi juga milik wirausahawan berintuisi tajam.
Dalam menghadapi dan menjawab kondisi ekonomi yang terus berkembang,
cenderung berfluktuatif, dan tidak menentu sekarang ini, maka saya pikir
sebaiknya kita melakukan jamming. Tom peter, mengungkapkan bahwa perubahan yang
serba cepat dan cenderung kacau itu pertanda zaman edan. Sehingga, disukai atau
tidak disukai, kita harus berani akrab dengan kekacauan.
Saya yakin, jika kita punya keberanian yang besar untuk melakukan
jamming akan sangat mungkin membantu bisnis kita untuk terus berkembang. Menurut
John Kao, pakar kewirausahaan terkemuka yang pernah mengajar dr Harvard
Business School dan Stanford University, jamming itu identik dengan improvisasi.
Dari improvisasi inilah akan memunculkan banyak ide-ide bisnis yang kreatif dan
inovatif. Dan hal ini akan sangat menguntungkan bagi kemajuan bisnis kita.
Hanya masalahnya sekarang adalah, apakah “pemain lain” atau
katakanlah manager dan karyawan kita itu bisa kompak atau tidak dalam melakukan
jamming. Saya berpendapat bahwa jamming akan berhasil. jika bawahannya kompak.
Ini penting. Mengingat, bahwa setiap manager maupun karyawan adalah mitra
kreatif dalam bisnis kita. Dengan begitu, kita sebagai entrepreneur akan lebih
siap menghadapi setiap perubahan, dan akan lebih siap lagi mengatasi krisis,
jika kita berhasil melakukan jamming.
Memang, tidak setiap perusahaan itu berani melakukannya. Antara
lain, karena masih adanya perasaan takut dengan munculnya perubahan. Masih
adanya keinginan untuk mempertahankan status quo- Tapi, saya pikir, jika
sesuatunya tidak jelas ke depan, maka lebih baik jamming. Sehingga, kita akan
lebih bisa leluasa untuk bertindak luwes dalam berbisnis pada setiap situasi
apapun juga.
Jamming atau improvisasi menurut saya, bukanlah seni yang hanya
dimiliki musikus jazz. Tapi jamming juga harus dimiliki oleh entrepreneur yang
memiliki intuisi yang tajam. Dan, kalaupun misalnya, manajer atau karyawan kita
juga melakukan jamming dengan melontarkan ide-ide kreatif yang dapat
dilaksanakan, itu juga positif. Anggap saja, ide-ide kreatif yang berbeda-beda
dalam perusahaan kita seperti bunga yang berwarna-warni yang semerbak harum
baunya. Namun, tentu saja semua ide-ide bisnis kreatif itu harus tetap
terkoordinasi dengan baik. Pendeknya, kita sebagai entrepreneur harus bisa
memimpin atau mengkoordinasikan semua itu.
Kita lihat saja, bagaimana pan musisi jazz inr mampu bermain dalam
sebuah struktur. Mereka bersepakat tentang siapa yang akan bermain, dan kapan
memulainya. Karena ada yang memimpin, maka mereka menjadi kompak, sehingga
melahirkan irama-irama musik yang terdengar merdu. Sebaliknya, jika terjadi
ketidak-kompakan itu justru akan menimbulkan kebisingan. sebab, musik jazz -
sebagaimana halnya bisnis memang menggambarkan serangkaian perilaku kita yang
seimbang. Artinya, setiap permainan walaupun eksperimental, namun kesemuanya
tetap masih bisa diatur sedemikian rupa.
Begitu juga dalam bisnis. Saya rasa, “permainan-permainan” semacam
ini akan sangat mungkin terjadi. Ada baiknya, hal itu janganlah sebagai
hambatan di dalam kita menggeluti bisnis. Tapi, justru hal itu akan lebih
membuat kita dinamis, penuh semangat, dan tekun dalam berbisnis. Oleh karena
itu, di era global yang terus menerus menuntut kita untuk melakukan hal-hal baru
secara lebih cepat seperti sekarang ini, ada baiknya kita selalu melakukan
jamming. Anda berani mencoba?
Paradigma Bisnis Di Era Millenium
Bergerak adalah awal
kesuksesasan bisnis.
Zaman semakin maju, dan waktu terasa cepat. Itu barangkali, yang
kita rasakan saat ini. Maka, agar kita tidak ketinggalan zaman, sebaiknya
entrepreneur harus lebih mampu bergerak cepat, lebih proaktif, dan berani
mengambil risiko. Dengan demikian, kita akan lebih mudah mengantisipasi
kemungkinan munculnya berbagai kendala bisnis yang mungkin terjadi. Bukan,
bersikap seperti dulu, yang hanya reaktif dan menghindari risiko.
Saya jadi teringat dengan Rupert Murdoch, yang
melangkah cepat dalam bisnisnya. Pada saat boss perusahaan lainnya masih
terlelap tidur, ia selalu menjadi penelpon pertama untuk melakukan negosiasi
bisnis. Dengan bergerak cepat, ia mampu mengambil keputusan lebih cepat dari
pesaingnya. Bagi Murdoch, bergerak lamban adalah milik mereka yang kalah.
Langkah semacam ini, saya kira menunjukkan, jika kita tidak bertindak dan
bergerak, maka bisnis yang kita geluti sekarang akan sulit bergerak maju.
Karena, pada dasarnya, bergerak adalah awal kesuksesan bisnis kita.
Dalam konteks ini, saya sependapat dengan Matthew J. Kiernan,
penulis “The Commandments of the 21st Century Management” yang mengatakan,
bahwa dalam bisnis telah terjadi pergeseran paradigma. Jika, di abad ke-20,
bisnis kita lebih terkesan stabil dan bisa diprediksi, namun di abad ke-21 atau
di era millenium ketiga ini, perubahannya cenderung terputus-putus. Begitu
pula, bisnis kita yang dulu lebih didasarkan ukuran dan skala, tapi kini lebih
pada kecepatan dan responsif. Kepemimpinan, kalau dulu banyak dilakukan dari atas,
kini dilakukan semua orang. Maka, tak mengherankan bila dalam menjalankan bisnis
di era milenium ketiga ini, memang dituntut untuk lebih luwes, tidak kaku.
Sebab, perjalanan bisnis lebih dikendalikan oleh visi dan nilai-nilai,
dibandingkan sebelumnya yang semata-mata hanya dikendalikan peraturan dan
hirarki.
Selain itu, kalau kita dulu di dalam menjalankan bisnis selalu
membutuhkan kepastian, tapi kini harus lebih toleran terhadap ambiguitas atau
memiliki sikap mendua. Soal informasi bisnis demikian juga, yang sebelumnya
hanya untuk pucuk pimpinan, tapi kini disebarkan ke semua orang. Sehingga, saat
ini bisnis tak lagi mengandalkan pada analisis kuantitatif, namun lebih pada
kreativitas dan intuisi. Tanpa itu, saya kira bisnis yang kita jalankan
sekarang ini akan banyak tersendat atau sulit untuk maju. Bahkan, kalau dulunya
kita berkeyakinan, bahwa masing-masing perusahaan bisa mandiri, tapi sekarang
terasa sulit. Karena pada dasarnya, perusahaan-perusahaan akan saling tergantung
satu dengan lainnya.
Pergeseran paradigma bisnis di era milenium ini, juga akan mengajak
kita, kalau dulu hanya berfokus pada organisasi internal, tapi kini kita harus
lebih berfokus pada lingkungan yang kompetitif. Juga dari integrasi vertikal ke
integrasi maya. Seperti Amazon.com’ toko buku virtual pertama dan terakbar di
dunia maya. Bahkan, kalau dulu, kita hanya bersaing untuk pasar masa kini, tapi
sekarang kita justru lebih tertantang untuk menciptakan pasar masa depan.
Karena itu, kita jangan lagi hanya mengandalkan pada keunggulan kompetitif yang
berkesinambungan, tapi justru harus terus-menerus mencari keunggulan.
Saya yakin, dengan kepekaan kita terhadap kondisi tersebut, maka
kita akan lebih siap menghadapi kondisi yang berubah-ubah, lebih terbuka
menerima ide-ide baru. Bahkan, kita akan lebih piawai dalam mengambil
kesempatan bisnis, lebih berani mengambil risiko, dan tentu saja akan lebih
siap meraih keberhasilan. Anda berani mencoba?
Hobi Bisnis Pekerjaan Golf
GOLF sebagai olahraga atau sport yang tak hanya untuk kesehatan
fisik saja, tapi secara psikologis kita juga akan mendapatkan suasana yang
hampir sama dengan kegiatan bisnis. Misalnya, ketika kita harus memukul bola,
bola bisa jauh atau dekat, lurus atau kanan-kiri, bisa masuk ke lubang, tapi
bisa juga tak masuk lubang. Bisa sukses, bisa gagal. Begitu juga dalam kita
menekuni bisnis, bisnis kita bisa saja sukses, tapi bisa juga gagal.
Dalam olahraga golf, ketika kita gagal memasukan bola ke lubang,
maka kegagalan itu bisa saja kita perbaiki pada saat itu juga, walaupun mungkin
sudah masuk dalam hitungan atau penilaian. Soal penilaian, tentu saja berbeda
saat kita masih sekolah dulu. Katakanlah, kalau saat sekolah dulu kita
mendapatkan nilai 8 atau nilai 9, tentu saja nilai itu sudah bagus. Sementara,
di golf berbeda. Justru nilai 8 atau nilai 9 itu jelek. Lantas, nilai yang
terbaik adalah 1, atau yang biasa disebut hole in one. Sedang nilai baik lainnya
2,3,4,5 tergantung jaraknya (par-nya ). Itu sama artinya, mainnya kita bagus kalau
saja saat kita memukulnya paling sedikit atau banyak melakukan kesalahan atau kegagalan.
Sedang, kalau dalam bisnis kegagalan itu bisa berisiko finansial.
Tapi dalam golf, kegagalan itu bisa kita artikan bahwa, bola lari kanan-kiri,
bola masuk kolam, bola hilang, mukulnya banyak. Tentu, kalau kita jelek, kita
akan penasaran dan ingin mengulangi supaya mainnya lebih bagus. Jika kita main
bagus, juga akan membuat kita penasaran untuk mengulangi lagi.
Manfaat lain dengan kita rajin berolahraga golf, kita akan bisa
ambil hikmahnya pada aspek manajemennya. Dalam konteks inilah, saya melihat
bahwa manajemen golf itu sendiri sangat baik untuk kita pelajari. Misalnya,
bagaimana kita menggunakan berbagai alat pemukul bola atau stik. Alat tersebut,
seperti kita ketahui punya fungsi yang berbeda, yang membuat jarak pukulannya
juga berbeda. Termasuk kejelian kita mau pakai stik nomer berapa untuk memukul
bola golf itu. Memang, tak sedikit tantangan atau hambatan yang harus kita
taklukkan. Misalnya saja, bagaimana cara memukulnya, kalau bola itu masuk
bunker atau pasir. Belum lagi, menghadapi arah angin yang kencang. Dan setiap
kita bermain akan saja mendapatkan suasana yang berbeda.
Sama dengan bisnis kita. Nah, kalau saat ini kita sebagai
wirausahawan. Maka tak ada salahnya manajemen golf tadi kita pelajari, maka itu
akan pandai dalam memilih staf atau karyawan. Kita juga akan semakin banyak
relasi atau lebih mudah berhubungan dengan orang lain, dan membuat ita lebih
mudah cepat akrab. Jelas, manfaatnya kita akan bisa melakukan lobi-lobi bisnis.
Selain itu, bukan hal yang tak mungkin, segala keputusan bisnis bisa kita lakukan
dari lapangan golf. Dalam mengelola perusahaan, kita bisa juga melakukan dari lapangan
golf. Misalnya dengan menggunakan teknologi, seperti HP, itu kita bisa manfaatkan
untuk bisnis.
Oleh karena itulah, ketika kita sering melihat orang yang
hari-harinya di lapangan golf, namun ternyata bisnisnya tetap saja jalan.
Sehingga, tak mengherankan kalau kita lantas berkomentar, “Orang itu hobinya
bisnis, tapi pekerjaannya main golf.”