This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 6 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 7 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 8 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 9 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Kamis, 25 Oktober 2012

Nuzul Al-Qur'an (نزول القرآن )

   TAHAP-TAHAP DITURUNKANNYA AL-QUR'AN

   Al-Qur’an turun melalui 3 tahap:

   a. Diturunkan ke لوح محفوظ

                                                                                           بل هو قرآن مجيد في لوح محفوظ

   b. Diturunkan dari لوح محفوظ ke بيت العزةdi langit dunia

                                                                                                        إنا أنزلناه في ليلة القدر

                                                                                                      إنا أنزلناه في ليلة مباركة

                                                                                         شهر رمضان الذي أنزل فيه القرآن

   c. Diturunkan dari بيت العزّة في السماء الدنيا kepada Nabi Muhammad SAW

                                                                       نزل به الروه الأمين على قلبك لتكون من المنذرين



   HIKMAH AL-QUR’AN DITURUNKAN SECARA BERANGSUR-ANGSUR

1. Agar lebih mudah dimengerti dan dilaksanakan

2. Orang akan enggan melaksanakan perintah dan meninggalkan larangan jika perintah dan larangan itu diturunkan sekaligus banyak

3. Di antara ayat-ayat al-qur’an ada yang nasih dan mansuh sesuai dengan kemaslahatan. Hal ini tidak dapat dilaksanakan jika al-qur’an diturunkan sekaligus

4. Turunnya suatu ayat bertepatan dengan peristiwa-peristiwa yang terjadi, akan lebih mengesannkan dan lebih berpengaruh agar ayat-ayat yang diturunkan itu tetap didalam hati sanubari Nabi Muahammad SAW

5. Diantara ayat-ayat itu ada yang merupakan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan yang diajukan

6. Agar Nabi Muhammad tidak keberatan membacakan dan mengajarkannya kepada ummatnya

Al-Qur'an

      A. Pengertian

      Al-Qur’an secara etimologi diambil dari kata قرأ-يقرأ-قراءة-قرآنا yang berarti sesuatu yang dibaca (المقروء). Jadi arti Al-Qur’an secara etimologi adalah sesuatu yang dibaca.

      Sedangkan secara terminologi antara lain menurut Ali as-Shabihin, al-qur’an adalah Kalam Allah yang mengandung mu’jizat (sesuatu yang luar biasa yang melemahkan lawan) diturunkan kepada penutup para Nabi dan Rasul (yaitu nabi Muhammad SAW) melalui perantaraan malaikat Jibril yang tertulis pada mushab yang diriwayatkan kepada kita secara mutawatir, dinilai ibadah membacanya, yang dimulai dengan surat al-fatihah dan diakhiri dengan surat an-naas.

      B. Nama lain Al-Qur’an

            1.      القرآن : البرة: 185

            "(beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, Maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), Maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur".
            Tujuan dari nama ini adalah Supaya menjadi bacaan umat Islam

            2.      الفرقان: الفرقان: 1
            "Maha Suci Allah yang Telah menurunkan Al Furqaan (Al Quran) kepada hamba-Nya, agar dia menjadi pemberi peringatan kepada seluruh alam".

            Tujuannya adalah untuk membedakan antara yang Hak dengan yang Batil

            3.      الكتاب: النحل: 8

            "Dan (Dia Telah menciptakan) kuda, bagal[820] dan keledai, agar kamu menungganginya dan (menjadikannya) perhiasan. dan Allah menciptakan apa yang kamu tidak mengetahuinya".

            Tujuannya adalah Supaya dijadikan sebagai pegangan hidup

            4.      الذكر: الحجر: 9

            "Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Quran, dan Sesungguhnya kami benar-benar memeliharanya".

            Tujuannya adalah supaya dijadikan untuk selalu mengingat Allah

5.       الموعظة: يونس: 57

            "Hai manusia, Sesungguhnya Telah datang kepadamu pelajaran dari Tuhanmu dan penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman".

            Tujuannya adalah untuk menjadi petunjuk dan nasehat buat manusia

      C. Kandungan Al-Qur’an

            1. Aqidah

            2. Ibadah

            3. Wa’ad dan wa’id (janji baik dan jani buruk)

            4. Akhlak

            5. Hukum

            6. Kisah

            7. Ilmu pengetahuan dan teknologi

      D. Perbedaan Al-Qur’an dan Hadits

1. Al-qur’an sebagai mu’jizat sedang hadits tidak mu’jizat

2. Al-qur’an terpelihara dari berbagai kekurangan sedang hatits tidak

3. Al-qur’an seluruhnya diriwayatkan secara mutawatir sedang hadits tidak. Mayoritas hadits diriwayatkan secara ahad

4. Kebenaran ayat al-qur’an bersifat qath’i wurud (pasti kebenarannya) dan kafir yang mengingkarinya, sedangkan hadits kebanyakannya bersifat zhanni wurud (relatif kebenarannya).

5. Al-qur’an redaksi dan maknanya dari Allah, sedang hadits maknanya dari Allah redaksinya dari Muhammad.

6. Membaca al-qur’an dinilai sebagai ibadah, sedang membaca hadits tidak dinilai sebagai ibadah. Diantara surat al-qur’an wajib dibaca dalam shalat, sedang hadits tidak ada yang dibaca dalam shalat.

Rabu, 24 Oktober 2012

Dasar-Dasar Akuntansi Syari'ah

BAB I

PENDAHULUAN



Pesatnya pertumbuhan bisnis syariah dalam berbagai bidang di Indonesia maupun di dunia mendorong adanya kebutuhan yang tinggi akan akuntansi syariah. Yang mana akuntansi syariah merupakan salah satu bentuk penerapan dari syariah Islam.

Berkembang pesatnya kegiatan ekonomi dan keuangan syariah telah menarik banyak pihak untuk mengetahui lebih dalam tentangnya. Bukan hanya kajian dari sisi landasan konseptual dan penerapan fikihnya, namun juga berkaitan langsung dari sisi menejemen operasional, khususnya dalam hal pendokumentasian transaksi syariah.

Akuntansi syariah merupakan ilmu yang masih tergolong baru di kalangan masyarakat sekarang ini. Karena akuntansi yang sering dikenal oleh kebanyakan orang adalah akuntansi konvensional. Pada dasarnya sistem akuntansi itu sama, yaitu pencatatan dan pembukuan.

Akuntansi syariah diperlukan untuk mendukung kegiatan yang harus dilakukan sesuai dengan syariah , karena tidak mungkin dapat menerapkan akuntansi yang sesuai dengan syariah jika transaksi yang akan dicatat oleh proses akuntansi tersebut tidak sesuai dengan syariah.

Ternyata kalau kita lihat dari sejarah peradaban Islam disitu akan terdapat sejarah perkembangan ilmu. Ilmu ini telah dipraktikkan oleh Rasulullah sendiri. Setiap melakukan transaksi, Rasulullah selalu mencatatnya. Tentang landasan hukum dalam bermuamalat telah dijelaskan oleh Allah dalam surat al-baqarah: 282, ayat ini menerangkan tentang transaksi dan pencatatan.

Akuntnsi syariah merupakan bagian yang tak terpisahkan dari iman, ilmu dan amal. Artinya, wujud keberanian seseorang harus diekspresikan dalam bentuk perbuatan (amal).


BAB II

KONSEP DASAR AKUNTANSI PADA BANK SYARIAH



A. Pengertian

Akuntansi merupakan seni dalam mencatat,menggolongkan dan mengikhtisarkan semua transaksi-transaksi yang terkait dengan keuangan yang telah terjadi dengan suatu cara yang bermakna dan dalam satuan uang.

Akuntansi sebagai bagian dari informasi merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari suatu gugusan (rangkaian, kumpulan atau kelompok) tugas menejemen dalam mencapai tujuannya.

Definisi bebas dari akuntansi adalah identifikasi transaksi yang kemudian diikuti dengan kegiatan pencatatan, penggolongan, serta pengikhtisaran transaksi tersebut sehingga menghasilkan laporan keuangan yang dapat digunakan untuk pengambilan keputusan.



B. Konsep Dasar Akuntansi Syariah

Akuntansi syariah merupakan domain dari “muamalah” dalam kajian Islam, dimana dalam pengaplikasiannya diserahkan kepada kemampuan akal pikiran manusia untuk mengembangkannya. Namun karena pentingnya permasalahan ini maka Allah SWT bahkan memberikannya tempat dalam kitab suci Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 282:

“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya”

Ayat ini sebagai lambang komoditi ekonomi yang mempunyai sifat akuntansi yang dapat dianalogkan dengan “double entry”, dan menggambarkan angka keseimbangan atau neraca.

Karena akuntansi ini sifatnya muamalah maka pengembangannya diserahkan pada kebijaksanaan manusia. Sedangkan Al-Qur’an dan Sunnah hanya membekalinya dengan beberapa sistem nilai seperti landasan etika, moral, kebenaran, dan sebgainya. Dalam surat Al-Baqarah Islam mewajibkan untuk melakukan pencatatan:

   1. Menjadi bukti dilakukannya transaksi.

   2. Menjaga agar tidak terjadi manipulasi.

Perintah Al-Qur’an yang telah disebutkan di atas perlu dioperasinalkan dalam bentuk aksi atau praktik. Sehingga perintah A-Qur’an dapat membumi dalam masyarakat. Karena selama ini masyarakat Muslim sebagian besar hanya memahami agama saja namun tidak pernah mempraktikannya dalam kehidupan sehari-hari.



C. Pendekatan dan Fungsi

   1. Pendekatan yang digunakan

      a. Mengidentifikasi konsep akuntansi yang telah dikembangkan sebelumnya dengan prinsip Islam tentang keadilan.

      b. Mengidentifikasi konsep yang digunakan dalam akuntansi keuangan konvensional, tetapi tidak sesuai dengan syariat Islam. Konsep yang seperti itu ditolak atau dimodifikasi secukupnya untuk mematuhi syariat supaya membuatnya bermanfaat. Contohnya dari konsep ini adalah nilai waktu dari uang (time value of money) sebagai sifat pengukuran.

      c. Mengembangkan konsep-konsep yang mengidentifikasikan aspek-aspek tertentu dari akuntansi untuk bank Islam yang unik kepada cara bertransaksi bisnis yang Islami. Contohnya, konsep yang dikembangkan berdasarkan hukum-hukum yang mendefinikan resiko dan balasan yang dikaitkan dengan transaksi bisnis, serta terjadinya biaya dan perolehan keuntungan. [1]

   2. Fungsi Bank-Bank Islam

Pada dasarnya bank-bank Islam dikembangkan berdasarkan prinsip yang tidak membolehkan pemisahan antara hal-hal yang bersifat duniawi dengan keagamaan. Prinsip ini mengharuskan kepatuhan kepada syariat sebagai dasar dari semua aspek kehidupan. Kepatuhan ini tidak hanya dalam hal ibadah ritual, tetapi transaksi bisnis pun harus sesuai dengan syariat. Sebagai contoh dalam hal ini adalah aspek yang paling terkemuka dari ajaran Islam mengenai muamalah, yaitu pelarangan riba dan perspsi uang sebagai alat tukar dan alat melepaskan kewajiban. Uang bukanlah komoditas. Dengan demikian, uang tidak memiliki nilai waktu kecuali nilai barang yang ditukar melalui penggunaan uang sesuai dengan syariah.

Sebagai konsekuensi dari prinsip ini, bank Islam dioperasikan atas dasar konsep bagi untung dan bagi resiko yang sesuai dengan salah satu kaedah Islam, yaitu “keuntungan adalah bagi pihak yang menanggung risiko”. Bank Islam menolak bunga sebagai biaya untuk penggunaan uang dan pinjaman sebagai alat investasi.

Bank Islam menerima dan berdasarkan kontrak mudharabah, yaitu salah satu bentuk kesepakatan antara shahibul mal dan penyedia usaha. Dalam melaksanakan usaha berdasarkan akad mudharabah, bank menyatakan kemauannya menerima dana untuk diinvestasikan atas nama pemiliknya, serta memberitahukan bahwa kerugian akan ditanggung sepenuhnya oleh penyedia dana selama kerugian tersebut bukan diakibatkan oleh kelalaian atau pelanggaran kontrak.



D. Definisi Unsur-Unsur Dasar Pernyataan Keuangan

   1. Pernyataan posisi keuangan

      a. Aset

Aset adalah sesuatu (benda) baik yang berwujud maupun yang semu yang dimiliki oleh perusahaan. Aset yang tidak berwujud ini disebut juga dengan ekuitas yang dapat mendatangkan manfaat di masa depan.

      b. Liabilitas

Liabilitas adalah kewajiban yang berjalan untuk memindahkan aset, meneruskan penggunaannya sebagai hasil dari transaksi yang terjadi.

   2. Pernyataan pendapatan

      a. Pendapatan

Pendapatan adalah kenaikan kotor dalam aset atau penurunan dalam liabilitas selama priode yang dipilih oleh pernyataan pendapatan yang berakibat dari investasi yang halal, perdagangan, memberikan jasa, atau aktivitas lain yang bertujuan untuk meraih keuntungan.

      b. Biaya

Biaya adalah penurunan kotor dalam aset atau kenaikan dalam liabilitas selama priode yang dipilih oleh pernyataan pendapatan yang berakibat dari investasi yang halal, perdagangan, atau aktivitas termasuk pemberian jasa.

      c. Keuntungan

Keuntungan adalah kenaikan bersih dari aset bersih sebagai akibat dari memegang aset yang mengalami peningkatan nilai selama priode yang dipilih oleh pernyataan pendapatan.

      d. Kerugian

Kerugian adalah penurunan bersih dari aset bersih sebagai akibat dari memegang aset yang mengalami penurunan nilai selama priode yang dipilih oleh pernyataan pendapatan. [2]



E. Sistem Keuangan Syariah

   1. Konsep pemeliharaan harta kekayaan

Memelihara harta, bertujuan agar harta yang dimiliki oleh manusia diperoleh dan dipergunakan sesuai dengan syariat sehingga harta yang dimiliki halal dan sesuai dengan keinginan pemilik mutlak dari harta kekayaan tersebut yaitu Allah SWT.

      a. Anjuran bekerja atau berniaga[3]

Islam menganjurkan manusia untuk berniaga atau berusaha, dan menghindarkan kegiatan meminta-minta dalam mencari harta kekayaan. Manusia memerlukan harta untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari dan termasuk untuk memenuhi sebagian perintah Allah seperti zakat, infaq, sedekah, ibadah haji, dan sebagainya.
“Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung”. (QS. Al-Jum’ah:10)

Sedangkan harta yang baik menurut Rasulullah adalah harta yang diperoleh dari hasil keringat sendiri, sebagaimana Beliau mengungkapkannya dalam sabdanya, diantaranya:

Ketika Rasulullah ditanya oleh Rafi bin Khudaij: Dari Malik bin Anas r.a “Wahai Rasulullah, pekerjaan apakah yang paling baik ?” Rasulullah menjawab “Pekerjaan orang dengan tangannya sendiri dan jual beli yang mabrur”. (HR. Ahmad dan Al-Bazzar At-Thabrani dari Ibnu Umar)

“Sesungguhnya Allah suka kalau Dia melihat hamba-Nya berusaha mencari barang dengan cara yang halal”. (HR. Ath-Thabrani dan Ad-Dailami)

      b. Konsep kepemilikan

Harta yang baik harus memiliki dua kriteria, yaitu diperoleh dengan cara yang sah dan benar, serta dipergunakan dengan dan untuk hal yang baik-baik dijalan Allah SWT.

Allah adalh pemilik mutlak segala sesuatu yang ada di dunia ini, sedangkan manusia hanya sebagai wakil Allah di muka bumi ini yang diberi kekuasaan untuk mengelolanya.

Sudah seharusnya, sebagai pihak yang diberi amanah (titipan), pengelolaan harta titipan tersebut disesuaikan dengan keinginan pemilik mutlak atas harta kekayaan yaitu Allah SWT.

Jadi, menurut Islam, kepemilikan harta kekayaan pada manusia terbatas pada kepemilikan kemanfaatan selama masih hidup di dunia, dan bukan kepemilikan secara mutlak. Saat dia meninggal, kepemilikan tersebut berakhir dan harus didistribusikan kepada ahli warisnya, sesuai ketentuan syariah.

   2. Penggunaan dan pendistribusian harta

Islam dalam mengatur aspek kehidupan ekonomi penuh dengan pertimbangan moral sebagai mana firman Allah berikut ini.

“Dan carilah pada apa yang Telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah Telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan”. (QS. Al-Qashash: 77)

Dari ayat di atas kita dapat menyimpulkan bahwa dalam penggunaan harta manusia tidak boleh mengabaikan kebutuhannya di dunia, namun di sisi lain harus cerdas dalam menggunakan hartanya untuk mencari pahala akhirat.

Ketentuan yang berkaitan dengan penggunaan harta antara lain:

      a. Tidak boros dan tidak kikir

“Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) mesjid, makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan”. (Al-A’raaf: 31)

Di sini kita dapat melihat bahwa Allah sebagai sang pencipta mengajarkan kepada kita suatu konsep hidup “pertengahan” yang luar biasa, untuk hidup dalam batas-batas kewajaran, tidak boros/berlebih-lebihan dan tidak kikir.

      b. Memberikan infaq dan shadaqah

Membelanjakan harta dengan tujuan mencari rida Allah dengan berbuat kebajikan. Misalnya, mendirikan tempat peribadatan, rumah anak yatim, menolong kaum kerabat, member pinjaman tanpa mengharapkan imbalan, atau memberikan bantuan dalam bentuk apapun yang diperlukan oleh mereka yang membutuhkan.

      c. Membayar zakat sesuai ketentuan

“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menumbuhkan) ketenteraman jiwa bagi mereka. dan Allah Maha mendengar lagi Maha Mengetahui”(QS. At-Taubah: 103)

Setiap manusia yang beriman yang memiliki harta melampaui ukuran tertentu, diwajibkan untuk mengeluarkan sebagian hartanya (zakat) untuk orang yang tidak mampu, sehingga dapat tercipta keadilan social, rasa kasih saying dan rasa tolong-menolong.

      d. Memberikan pinjaman tanpa bunga (qardhul hasan)

Memberikan pinjaman ke sesama muslim yang membutuhkan, dengan tidak menambah jumlah yang harus dikembalikan (bunga/riba). Pinjaman yang seperti ini bertujuan untuk mempermudah pihak yang meminjam, tidak memberatkan sehingga dapat mempergunakan modal pinjaman tersebut untuk hal-hal yang produktif dan halal.

   3. Aktivitas bisnis yang terkait dengan barang dan jasa yang diharamkan Allah

      a. Riba

Yaitu tambahan yang disyaratkan dalam transaksi bisnis tanpa adannya padanan (‘iwad) yang dibenarkan syariah atas penambahan tersebut. Yang dimaksud dengan penyeimbang atau pengganti di sini adalah transaksi bisnis yang melegitimasi adanya penambahan secara adil, seperti jual beli, sewa menyewa, atau bagi hasil proyek, dimana dalam transaksi tersebut ada faktor penyeimbangnya berupa ikhtiar/usaha, resiko dan biaya.[4]

      b. Penipuan

Penipuan terjadi apabila salah satu pihak tidak mengetahui informasi yang diketahui orang lain dan dapat terjadi dalam empat hal, yakni penipuan dari segi kualitas, kualitas, harga dan waktu penyerahan.

Penipuan dari segi kuantitas, misalnya dengan mencampurkan barang yang baik dengan barang yang buruk atau barang yang dijual memiliki cacat tapi disembunyikan. Penipuan dari segi kuantitas, misalnya mengurangi timbangan pada saat terjadinya transaksi. Penipuan dari segi harga, misalnya menjual barang dengan harga yang terlalu tinggi kepada orang yang tidak mengetahui harga yang wajar tentang barang tersebut.

Dan adapun penipuan dari segi waktu, misalnya seorang penyedia jasa menyanggupi penyelesaian pesanan pada waktu tertentu, sementara di sangat sadar bahwa dengan sumber daya dan kendala yang dimilikinya tidak mungkin dapat menyelesaikannya tepat pada waktu yang telah dijanjikan.

      c. Perjudian

Transaksi perjudian adalah transaksi yang melibatkan dua pihak atau lebih, dimana merka menyerahkan sejumlah dari uang /harta kekayaan mereka, kemudian mengadakan permainan tertentu, baik dengan kartu, adu ketangkasan, maupun tebak skor bola. Pihak yang menang berhak atas hadiah yang dananya dikumpulkan dari kontribusi para pesertanya. Sebaliknya, bila dalam undian itu kalah, maka uangnya pun harus direlakan untuk diambil oleh yang menang.

“Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan” (Al-Maidah): 90)

      d. Transaksi yang mengandung ketidak pastian (gharar)

Transaksi yang seperti ini terjadi ketika terdapat incomplete information, sehingga ada ketidak pastian antara dua pihak yang bertransaksi. Ketidak jelasan dapat menimbulkan pertikaian diantara kedua belah pihak dan pastinya ada pihak yang dirugikan.

Pada jenis transaksi yang seperti ini keadaan sama-sama rela hanya bersifat sementara, karena ketika kondisinya telah jelas kelak di kemudian hari, salah satu pihak akan merasa terzhalimi, walaupun pada awalnya tidak demikian.

      e. Penimbunan barang (ihtikar)

Penimbunan adalah membeli sesuatu yang dibutuhkan masyarakat, kemudian menyimpannya sehingga barang tersebut berkurang di pasaran dan mengakibatkan peningkatan harga. Penimbunan seperti ini dilarang karena dapat merugikan orang lain dengan kelangkaan/sulit didapat dan harganya yang tinggi. Dengan kata lain penimbun mendapatkan yang besar dibawah penderitaan orang lain.

Contohnya: di awal tahun 2008, saat terjadi peningkatan harga kedelai yang luar biasa, ada pengusaha yang menimbun kedelai dalam jumlah yang sangat besar di Surabaya. Kenaikan harga kedelai menghambat proses produksi berbahan baku kedelai seperti tahu dan tempe, sehingga mengakibatkan produsen tahu dan tempe tidak dapat berproduksi dan akhirnya menderika kerugian.[5]

      f. Rekayasa permintaan (bai’ najasy)

An-Najasy termasuk dalam kategori penipuan(tadlis) karena merekayasa permintaan, dimana salah satu pihak berpura-pura mengajukan penawaran dengan harga yang tinggi agar calon pembeli tertarik membeli barang tersebut dengan harga yang tinggi.

   4. Prinsip sistem keuangan syariah

Pada prinsipnya sistem keuanngan syariah bukan hanya berbicara mengenai larangan riba. Sistem ini juga mengatur mengenai larangan tindakan penipuan, pelarangan tindakan spekulasi, larangan suap, larangan transaksi yang melibatkan barang haram, larangan menimbun barang.

Fisolofi sistem keuangan syariah “bebas bunga” tidak hanya melihat interaksi antara faktor produksi dan prilaku ekonomi seperti yang dikenal pada sistem keuangan konvensional, melainkan juga harus menyeimbangkan berbagai unsur etika, moral, sosial dan dimensi keagamaan untuk meningkatkan pemerataan dan keadilan menuju masyarakat yang sejahtra secara menyeluruh.

Diantara prinsip sistem keuangan Islam sebagaimana diatur dalam A-Qur’an dan As-Sunnah adalah:

      a. Pelarangan riba

Riba merupakan pelanggaran atas sistem keadilan sosial dan persamaan. Oleh karena sistem riba ini hanya menguntungkan para pemberi pinjaman/pemilik harta, sedangkan pengusaha tidak diperlakukan sama. Padahal untung itu baru dapat diketahui setelah berlalunya waktu bukan hasil penetapan di muka.

      b. Pembagian risiko

      c. Tidak menganggap uang sebagai komoditas

Dalam masyarakat industri dan perdagangan yang berkembang sekarang ini (konvensional), fungsi uang tidak hanya sebagai alat tukar saja, tetapi juga sebagai komoditas. Dalam fungsinya sebagai komoditas, uang dipandang dalam kedudukan yang sama dengan barang yang dijadikan sebagai objek transaksi untuk mendapatkan keuntungan (laba).

      d. Larangan melakukan kegiatan spekulatif

      e. Kesucian kontrak

Oleh karena Islam menilai perjanjian sebagai suatu yang tinggi nilainya sehingga seluruh kewajiban dan pengungkapan yang terkait dengan kontrak harus dilakukan.

      f. Aktivitas usaha harus sesuai dengan syariah

   5. Instrumen keuangan syariah[6]

Keuangan syariah memiliki beberapa instrumen, yaitu:
      a. Akad investasi yang merupakan jenis akad tijarah dengan bentuk uncertainty contract. Kelompok akad ini adalah sebagai berikut:

         i. Mudharabah

         ii. Musyarakah

         iii. Sukuk (obligasi syariah), yaitu sertifikat yang berisi kontrak antara investor dan perusahaan, yang menyatakan bahwa investor tersebut/pemegang obligasi telah meminjamkan sejumlah uang kepada perusahaan. Untuk obligasi non syariah, perusahaan yang menerbitkan obligasi mempunyai kewajiban untuk membayar bunga secara reguler sesuai dengan jangka waktu yang telah ditetapkan serta pokok pinjaman pada saat jatuh tempo.

Sedangkan obligasi syariah mudharabah ditawarkan dengan ketentuan yang mewajibkan emiten untuk membayar kepada pemegang obligasi tersebut sejumlah pendapatan bagi hasil dan membayar kembali dana Obligasi Syariah Mudharabah pada tanggal jatuh tempo. Pendapatan bagi hasil dibayarkan setiap periode tertentu. Besarnya pendapatan bagi hasil dihitung berdasarkan perkalian antara nisbah pemegang Obligasi Syariah Mudharabah dengan pendapatan yang dibagihasilkan.

         iv. Saham

      b. Akad jual beli/sewa-menyewa yang merupakan jenis akad tijarah dengan bentuk certainty contract. Kelompok akad ini adalah:

         i. Murabahah

         ii. Salam

         iii. Istishna’

         iv. Ijarah

      c. Akad lainnya yang meliputi:

         i. Sharaf, yaitu perjanjian jual beli suatu valuta dengan valuta lainnya.

         ii. Wadiah, yaitu penitipan dari pihak yang mempunyai uang/barang kepada yang menerima titipan, dengan catatan bahwa pemilik uang/barang berhak mengambil kembali uang/barangnya kapanpun ia menghendaki.

         iii. Qardul hasan, yaitu pinjaman yang tidak mempersyaratkan adanya imbalan.

         iv. Wakalah, yaitu jasa pemberi kuasa dari suatu pihak ke pihak lain. Untuk jasanya itu yang dititipkan dapat memperoleh fee sebagai imbalan.

         v. Kafalah, yaitu perjanjian pemberi jaminan atas pembayaran utang satu pihak pada pihak lain.

         vi. Hiwalah, yaitu pengalihan utang atau piutang dari pihak pertama kepada pihak lain atas dasar saling percaya.

vii. Rahn, yaitu: sebuah perjanjian pinjaman dengan menyerahkan sebuah aset sebagai jaminan kepada pemneri pinjaman.[7]



F. Sistem Operasional Bank Syariah[8]

Sistem operasional perbankan syariah dapat digambarkan sebagai berikut:

Pertama, sistem operasional bank syariah dimulai dari kegiatan penghimpunan dana dari masyarakat.

Kedua, dana yang diterima bank syariah selanjutnya disalurkan kepada berbagai pihak, antara lain mitra investasi, pengelola investasi, pembeli barang, dan penyewa barang.

Ketiga, dari penyaluran dana kepada berbagai pihak bank syariah selanjutnya menerima pendapatan berupa bagi hasil dari investasi, margin dari jual beli dan fee dari sewa.

Keempat, pendapatan yang diterima dari kegiatan penyaluran selanjutnya dibagikan kepada nasabah pemilik dana.

Kelima, selain melaksanakan aktivitas penghimpunan dan penyaluran, bank syariah dalam operasionalnya juga memberika layanan jasa keuangan seperti ATM, transfer dan lain-lain.

dengan demikian, sistem operasional bank syariah dapat disimpulkan terdiri atas penghimpunan, sistem penyaluran dana yang dihimpun, dan sistem penyediaan jasa keuangan.




BAB III

PENUTUP



1. Kesimpulan

Akuntansi syariah merupakan ilmu yang masih tergolong baru di kalangan masyarakat. Karena akuntansi yang sering dikenal oleh kebanyakan orang adalah akuntansi konvensional. Pada dasarnya sisttem akuntansi itu sama, yaitu pencatatan dan pembukuan.

Akuntansi syariah diperlukan untuk mendukung kegiatan yang harus dilakukan sesuai dengan syariah , karena tidak mungkin dapat menerapkan akuntansi yang sesuai dengan syariah jika transaksi yang akan dicatat oleh proses akuntansi tersebut tidak sesuai dengan syariah.

Dari uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa sistem operasional bank syariah terdiri atas penghimpunan, sistem penyaluran dana yang dihimpun, dan sistem penyediaan jasa keuangan.



2. Saran

Dari uraian diatas, kami menyadari bahwa makalah yang kami buat ini masih terdapat banyak kesalahan dan masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, jika pembaca menemukan kesalahan dan kekurangan dalam makalah ini dengan senang hati kami menerima saran maupun kritik dari pembaca demi sempurnanya materi dalam makalah ini.




BAB IV

DAFTAR PUSTAKA



Syafi’i Antonio, Muhammad. 2001. Bank Syariah dari Teori ke Praktik. Jakarta

Yaya, Rizal. 2009. Akuntansi Perbankan Syariah Teori dan Praktik Kontemporer. Jakarta




[1] Syafi’i Antonio, Muhammad. 2001. Bank Syariah Dari Teori Ke Praktik. Jakarta. Hal. 200


[2] Ibid, hal. 201


[3] Sri Nurhayati-Wasialah. 2009. Akuntansi Syariah Di Indonesia (Jakarta: Salemba Empat). Hal. 66


[4] Ibid, hal. 73


[5] Ibid, hal. 81


[6] Ibid, hal. 85


[7] Ibid, hal. 87


[8] Yaya, Rizal. 2009. Akuntansi Perbankan Syariah Teori dan Praktik Kontemporer. Jakarta. Hal. 56

Sistem Penghimpunan dan Pengelolaan Dana Bank Syari'ah


BAB I
PENDAHULUAN


Menurut pasal 1 undang-undang No. 4 Tahun 2003 tentang Perbankan, Bank adalah Bank umum dan Bank Perkreditan Rakyat yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional atau berdasarkan prinsip syariah yang dalam kegiatan tidak memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran.
Sedangkan menurut pasal 1 undang-undang No. 10 Tahun 1998 tentang perubahan undang-undang No.7 Tahun 1992 tentang Perbankan, Bank didefinisikan sebagai badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkan kepada masyarakat dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak.
 Dengan demikian jelas dinyatakan dalam kedua pasal di atas bahwa bank adalah lembaga keuangan yang menjalankan kegiatan usahanya baik secara syariah maupun konvensional dalam fungsinya sebagai intermediasi antara masyarakat yang memiliki dana lebih (deposan) dengan masyarakat yang membutuhkan dana (kreditur).
Dalam fungsinya sebagai intermediasi antara deposan dengan kreditur, maka bank harus melakukan kegiatan penghimpunan dana dari pihak deposan yang nantinya akan disalurkan kepada kreditur. Dalam makalah ini nantinya akan dibahas mengenai produk-produk penghimpunan serta pengelolaan dana secara syariah sesuai dengan subject yang dikenakan yaitu Bank Syariah. Demikian materi yang akan kami sampaikan dalam makalah ini, semoga dapat bermanfaat.



BAB II
SISTEM PENGHIMPUNAN DANA BANK SYARI’AH

A.    Pengertian
Pengertian penghimpunan dana adalah suatu kegiatan usaha yang dilakukan bank untuk mencari dana kepada pihak deposan yang nantinya akan disalurkan kepada pihak kreditur dalam rangka menjalankan fungsinya sebagai intermediasi antara pihak deposn dengan pihak kreditur.
B.     Sumber-sumber dana bank
Perbankan syari’ah merupakan lembaga yang menghimpun, mengelola dan menyalurkan dana. Oleh sebab itu, bank syari’ah membutuhkan sumber-sumber dana yang akan dikelola. Adapun sumber-sumber dana di bank syari’ah antara lain:
1.      Modal, yaitu dana yang diserahkan oleh pemilik. Pada akhir priode tahun buku, setelah dihitung keuntungan yang didapat pada tahun tersebut, pemilik modal akan memperoleh bagian dari hasil usaha yang biasa dikenal dengan deviden. Dana modal dapat dipergunakan untuk pembelian gedung, tanah, perlengkapan dan sebagainya.selain itu, modal juga dapat dipergunakan untuk hal-hal yang produktif, yaitu disalurkan menjadi pembiayaan.
2.      Titpan
3.      investasi
C.     Prinsip penghimpunan dana bank syari’ah
Dalam Bank Syariah, klasifikasi penghimpunan dana yang utama tidak didasarkan atas nama produk melainkan atas prinsip yang digunakan. Berdasarkan fatwa Dewan Syariah Nasional prinsip penghimpunan dana yang digunakan dalam bank syariah ada dua yaitu prinsip wadiah dan prinsip mudharabah
Prinsip wadiah dalam perbankan syariah dapat diterapkan pada kegiatan penghimpunan dana berupa giro dan tabungan. Di Indonesia, hampir semua Bank Syariah menerapkan prinsip wadiah pada tabungan giro. Giro wadiah adalah titipan pihak ketiga pada Bank Syariah yang penarikannya dapat dilakukan setiap saat dengan menggunakan cek, bilyet giro, kartu ATM, sarana perintah pembayaran lainnya atau dengan cara pemindahbukuan.
Penghimpunan dana dengan prinsip mudharabah, dapat dibagi atas dua skema yaitu skema muthlaqah dan skema muqayyadah. Dalam penghimpunan dana dengan prinsip mudharabah muthalaqah, kedudukan Bank Syariah adalah sebagai mudharib (pihak yang mengelola dana) sedangkan penabung atau deposan adalah pemilik dana (shahibul maal). Hasil usaha yang diperoleh bank selanjutnya dibagi antara bank dengan nasabah pemilik dana sesuai dengan porsi nisbah yang disepakati dimuka.
Dalam penghimpunan dana dengan pinsip mudharabah muqayyadah, kedudukan bank hanya sebagai agen saja, karena pemilik dana adalah nasabah pemilik dana mudharabah muqayyadah, sedang pengelola dana adalah nasabah pembiayaan mudharabah muqayyadah. Pembagian hasil usaha dilakukan antara nasabah pemilik dana mudharabah muqayyadah dengan nasabah pembiayaan mudharabah muqayyadah. Bank sebagai agen dalam hal ini menerima fee saja. Pola investasi terikat dapat dilakukan dengan cara chaneling dan executing. Pola chaneling adalah apabila semua risiko ditanggung oleh pemilik dana dan bank sebagai agen tidak menanggung risiko apapun. Pola executing adalah apabila bank sebagai agen juga menanggung risiko. Prinsip mudharabah muthlaqah dapat diterapkan dalam kegiatan usaha bank syariah untuk produk tabungan mudharabah dan deposito mudharabah.
Tujuan dari kegiatan penghimpunan dana adalah untuk memperbesar modal, memperbesar asset dan memperbesar kegiatan pembiayaan sehingga nantinya dapat mendukung fungsi bank sebagai lembaga intermediasi.

1.      Tabungan Wadi’ah
Salah satu prinsip yang digunakan bank syari’ah dalam memobilisasi dana adalah dengan menggunakan prinsip titipan. Adapun akad yang sesuai dengan prinsip ini ialah al-wadi’ah.[1]
Tabungan wadiah merupakan tabungan yang dijalankan berdasarkan akad wadiah, yakni titipan murni yang harus dijaga dan dikembalikan setiap saat sesuai dengan kehendak pemiliknya. Terkait dengan produk tabungan wadiah, Bank Syariah menggunakan akad wadiah yad adh-dhamanah. Dalam hal ini, nasabah bertindak sebagai penitip yang memberikan hak kepada Bank Syariah untuk menggunakan atau memanfaatkan uang atau barang titipannya, sedangkan Bank Syariah bertindak sebagai pihak yang dititipi dana atau barang yang disertai hak untuk menggunakan atau memanfaatkan dana atau barang tersebut. Sebagai konsekuensinya, bank bertanggung jawab terhadap keutuhan harta titipan tersebut serta mengembalikannya kapan saja pemiliknya (nasabah) menghendaki. Di sisi lain, bank juga berhak sepenuhnya atas keuntungan dari hasil pemanfaatan harta titipan tersebut.
Dalam tabungan wadiah, bank dengan nasabah tidak boleh mensyaratkan pembagian hasil keuntungan atas pemanfaatan harta tersebut. Namun bank diperbolehkan memberikan bonus (fee) kepada pemilik harta titipan (nasabah) selama tidak disyaratkan dimuka. Dengan kata lain, pemberian bonus (fee) merupakan kebijakan bank yang bersifat sukarela.
Dari penjelasan di atas, dapat ditarik beberapa ketentuan umum berkenaan dengan tabungan wadiah, yaitu sebagai berikut:
  • Tabungan wadiah merupakan tabungan yang bersifat titipan murni yang harus dijaga dan dikembalikan setiap saat (on call) sesuai dengan kehendak pemilik.
  • Keuntungan atau kerugian dari penyaluran dana atau pemanfaatan barang menjadi hak atau tanggung jawab bank, sedangkan nasabah penitip tidak dijanjikan imbalan dan menanggung kerugian.
  • Bank dimungkinkan memberikan bonus kepada pemilik harta sebagai insentif selama tidak diperjanjikan di akad awal pembukaan rekening.

2.      Tabungan Mudharabah
Prinsip lain yang digunakan bank syari’ah dalam menghimpun dana adalah dengan memakai prinsip investasi. Akad yang sesuai dengan prinsip ini adalah mudharabah.Tujuan dari mudharabah adalah kerja sama antara pemilik dana (shahibul mal) dan pengelola dana (mudharib) dalam hal ini adalah bank syari’ah.[2]
Yang dimaksud dengan tabungan mudharabah adalah tabungan yang dijalankan berdasarkan akad mudharabah. Mudharabah sendiri mempunyai dua bentuk, yakni mudharabah mutalaqah dan mudharabah muqayyadah, perbedaan yang mendasar diantara keduanya terletak pada ada atau tidaknya persyaratan yang diberikan pemilik harta kepada pihak bank dalam mengelola hartanya. Dalam hal ini, Bank Syariah bertindak sebagai mudharib (pengelola dana), sedangkan nasabah bertindak sebagai shahibul mal (pemilik dana). Bank Syariah dalam kapasitasnya sebagai mudharib berhak untuk melakukan berbagai macam usaha yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah serta mengembangkannya, termasuk melakukan akad mudharabah dengan pihak lain. Namun, di sisi lain, Bank Syariah juga memiliki sifat sebagai seorang wali amanah (trustee), yang berarti bank harus berhati-hati atau bijaksana serta beritikad baik dan bertanggung jawab atas segala sesuatu yang timbul akibat kesalahan atau kelalaiannya.
Dari hasil pengelolaan dana mudharabah, Bank Syariah akan membagikan hasil kepada pemilik dana sesuai dengan nisbah yang telah disepakati di awal akad pembukaan rekening. Dalam mengelola dana tersebut, bank tidak bertanggung jawab terhadap kerugian yang terjadi bukan akibat kelalaiannya. Namun, bila yang terjadi adalah miss management (salah urus), bank bertanggung jawab penuh atas kerugian tersebut.
Dalam mengelola harta mudharabah, bank menutup biaya oprasional tabungan dengan hasil nisbah yang menjadi hak nasabah pemilik dana. Disamping itu, bank tidak diperkenankan mengurangi nisbah keuntungan nasabah penabung tanpa persetujuan nasabah yang bersangkutan. Sesuai dengan ketentuan yang berlaku. PPH bagi hasil tabungan mudharabah dibebankan langsung ke rekening tabungan nasabah pada saat penghitungan bagi hasil.
3.      Simpanan Giro
Dalam bahasa sehari-hari kata simpanan sering disebut dengan nama rekening atau account, dimana artinya sama. Dengan demikian simpanan atau rekening berarti memiliki sejumlah uang yang disimpan di bank tertantu atau dengan kata lain simpanan adalah dana yang diamanahkan oleh masyarakat untuk dititipkan di bank. Dana dana tersebut kemudian dikelola oleh bank dalam bentuk simpanan, seperti trekening giro, rekening tabungan dan rekening deposito unutk kemudian diusahakan kembali dengan cara disalurkan ke masyarakat.
Pengertian giro menurut Undang-Undang Perbankkan Nomor 10 Tahun 1998 tanggal 10 November 1998 adalah Simpanan yang penarikannya dapat dilakukan setiap saat dengan menggunakan cek, bilyet giro, sarana perintah lainnya atau dengan cara pemindah bukuan.[3]
Secara umum, yang dimaksud dengan giro adalah cek, bilyet giro, sarana perintah bayar lainnya, atau dengan pemindahbukuan. Adapun yang dimaksud dengan giro syariah adalah giro yang dijalankan berdasarkan prinsip-prinsip syariah. Dalam hal ini, Dewan Syariah Nasional telah mengeluarkan fatwa yang menyatakan bahwa giro yang benar secara syariah adalah giro yang dijalankan berdasarkan prinsip wadiah dan mudharabah.
Yang dimaksud giro wadiah adalah giro yang dijalankan berdasarkan akad wadiah, yakni titipan murni yang setiap saat dapat diambil jika pemiliknya menghendaki. Dalam konsep wadiah yad al-dhamanah, pihak yang menerima titipan boleh menggunakan atau memanfaatkan uang atau barang yang dititipkan. Hal ini berarti wadiah yad dhamanah mempunyai implikasi hukum yang sama dengan qardh, yakni nasabah bertindak sebagai pihak yang meminjamkan uang dan bank bertindak sebagai pihak yang dipinjami. Dengan demikian, pemilik dana dan bank tidak boleh saling menjanjikan untuk memberikan imbalan atas penggunaan atau pemanfaatan dana atau barang titipan tersebut.
Dalam kaitannya dengan produk giro, Bank Syariah menerapkan prinsip wadiah yad dhamanah, yakni nasabah bertindak sebagai penitip yang memberikan hak kepada Bank Syariah untuk menggunakan atau memanfaatkan uang atau barang titipannya, sedangkan Bank Syariah bertindak sebagai pihak yang dititipi yang disertai hak untuk mengelola dana titipan dengan tanpa kewajiban memberikan bagi hasil dari keuntungan pengelolaan dana tersebut. Namun Bank Syariah diperkenankan untuk memberikan insentif berupa bonus (fee) dengan catatan tidak diperjanjikan sebelummnya.
Dari pemaparan di atas, maka dapat dinyatakan beberapa ketentuan umum giro wadiah sebagai berikut:
  • Dana wadiah dapat digunakan oleh bank untuk kegiatan komersial dengan syarat bank harus menjamin pembayaran kembali nominal dana wadiah tersebut.
  • Keuntungan atau kerugian dari pegelolaan dana menjadi milik atau ditanggung bank, sedangkan pemilik tidak dijanjikan imbalan atau menanggung kerugian. Bank dimungkinkan memberikan bonus kepada pemilik dana sebagai suatu insentif untuk menarik dana masyarakat namun tidak diperjanjikan di awal.
  • Pemilik dana wadiah dapat menarik kembali dananya sewaktu-waktu (on call), baik sebagian maupun seluruhnya.
4.      Simpanan Deposito
Yang juga termasuk produk bank dalam bidang penghimpunan dana (founding) adalah deposito. Berdasarkan undang-undang No. 10 Tahun 1998 tentang perubahan atas undang-undang No. 7 Tahun 1992 tentang perbankan, yang dimaksud dengan deposito berjangka adalah simpanan yang penarikannya hanya dapat dilakukan pada waktu-waktu tertentu menurut perjanjian antara penyimpan dengan bank yang bersangkutan.
Adapun yang dimaksud dengan deposito syariah adalah deposito yang dijalankan berdasarkan prinsip syariah. Dalam hal ini, Dewan Syariah Nasional MUI telah mengeluarkan fatwa yang menyatakan bahwa deposito yang dibenarkan adalah deposito yang berdasarkan prinsip mudharabah
Dalam hal ini, Bank Syariah bertindak sebagai mudharib (pengelola dana), sedangkan nasabah bertindak sebagai shahibul mal (pemilik dana). Dalam kapasitasnya sebagai mudharib, Bank Syariah dapat melakukan berbagai macam usaha yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah serta mengembangkannya, termasuk melakukan akad mudharabah dengan pihak ketiga.
Dengan demikian, Bank Syariah dalam kapasitasnya sebagai mudharib memiliki sifat sebagai wali amanah (trustee), yakni harus bertindak hati-hati atau bijaksana serta beritikad baik dan bertanggung jawab atas segala sesuatu yang timbul akibat kesalahan atau kelalaiannya. Di samping itu, Bank Syariah juga bertindak sebagai kuasa dari usaha bisnis pemilik dana yang diharapkan dapat memperoleh keuntungan seoptimal mungkin tanpa melanggar aturan syariah.
Dari hasil pengelolaan dana mudharabah, Bank Syariah akan membagikan hasil keuntungan kepada pemilik dana sesuai dengan nisbah yang telah disepakati di awal akad pembukaan rekening. Dalam mengelola dana tersebut, bank tidak bertanggung jawab atas kerugian yang terjadi bukan akibat kelalaiannya. Namun, apabila yang terjadi adalah miss management (salah urus), maka bank bertanggung jawab penuh atas kerugian tersebut.
Berdasarkan kewenangan yang diberikan oleh pemilik dana terhadap bank, terdapat dua bentuk mudharabah, yaitu:
  • Mudharabah Mutalaqah
  • Mudharabah Muqayyadah
Dalam deposito mutalaqah, pemilik dana tidak memberikan batasan atau persyaratan tertentu kepada pihak Bank Syariah dalam mengelola investasinya, baik berkenaan dengan tempat, cara, maupun objek investasinya. Dengan kata lain, Bank Syariah mempunyai hak dan kebebasan penuh dalam mengelola dan menginvestaikan dana mudharabah muthalaqah ini ke berbagai sektor bisnis yang diperkirakan akan memperoleh keuntungan.
Berbeda dengan deposito mudharabah mutalaqah, dalam deposito mudharabah muqayyadah, pemilik dana memberikan batasan atau persyaratan tertentu kepada Bank Syariah dalam mengelola investasinya, baik berkenaan dengan tempat, cara, maupun objek investasinya. Dengan kata lain, Bank Syariah tidak mempunyai hak dan kebebasan sepenuhnya dalam menginvestasikan dana mudharabah muqayyadhah ini ke berbagai sektor bisnis yang diperkirakan akan memperoleh keuntungan.
a.       Deposito berjangka
Deposito berjangka merupakan deposito yang diterbitkan dengan jenis jangka waktu tertentu. Deposito berjangka diterbitkan atas nama baik perorangan maupun lembaga. Artinya, di dalam bilyet deposito tercantum nama seseorang atau lembaga si pemilik deposito berjangka. Dan penarikan deposito ini dapat dilakukan jika sujah jatuh tempo.[4]
b.      Sertifikat deposito
Sama seperti deposito berjangkan, sertifikat deposito merupakan deposito yang diterbitkan berdasarkan jangka waktu tertentu. Bedanya, kalau sertifikat deposito diterbitkan atas unjuk dalam bentuk sertifikat serta dapat diperjualbelikan atau dipindahtangankan kepada pihak lain.

BAB III
SISTEM PENGELOLAAN DANA BANK SYARI’AH

A.    Pendahuluan
Bank syari’ah adalah lembaga perantara anatara pemilik dana dengan pemakai dana. Sebagaimana pengertian bank di atas, disini bank mengambil peran pemilik dana untuk mengelola dana tersebut dengan cara menyalurkannya kepada pihak yang membutuhkan dana.
Dalam penyaluran dana tersebut, bank syari;ah dapat melakukannya dengan cara memberikan pembiayaan, dimana pembiayaan ini merupakan salah satu tugas pokok bank untuk mendapatkan keuantungan.
Menurut sifat pengunaannya, pembiayaan dapat dibagi menjadi dua hal berikut:
1.      Pembiayaan produktif, yaitu pembiayaan yang ditujukan untuk memenuhi kebutuhan produksi dalam arti luas, yaitu untuk peningkatan usaha, baik usaha produksi, perdagangan, maupun investasi.
2.      Pembiayaan konsumtif, yaitu pembiayaan yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi, yang akan habis digunakan untuk memenuhi kebutuhan.
Menurut keperluannya, pembiayaan produksi dapat dibagi menjadi dua, yaoitu:
1.      Pembiayaan modal kerja, yaitu pembiayaan untuk memenuhi kebutuhan: (a) peningkatan produksi baik secara kuantitatif, yaitu jumlah hasil produksi, maupun secara kualitatif, yaitu peningkatan kualitas atau mutu hasil produksi; dan (b) untuk keperluan perdagangan.
2.      Pembiayaan investasi, yaitu untuk memenuhi kebutuhan barang-barang modal serta fasilitas-fasilitas yang erat kaitannya dengan investasi sendiri.[5]
B.     Pembiayaan modal kerja
Unsur-unsur modal kerja terdiri atas komponen-komponen alat likuid, piutang dagang, dan persediaan yang umumnya terdiri atas persediaan bahan baku, persediaan barang dalam proses, dan persediaan barang jadi. Oleh karena itu, pembiayaan modal kerja merupakan salah satu atau kombinasi dari pembiayaan likuiditas, pembiayaan pitang dan pembiayaan persediaan.
Bank syari’ah dalam membantu memenuhi kebutuhan modal kerja bukan dengan meminjamkan uang, melainkan dengan menjalin hubungan partnership dengan nasabah, dimana bank bertindak sebagai penyandang dana (shahibul mal), sedangkan nasabah sebagai pengusaha atau pengelola (mudharib). Pembiayaan semacam ini disebut dengan mudharabah. Adapun keuntungan transaksi jenis ini adalah bagi hasil/rugi dari pengelolaan dana tersebut.
1.      Pembiayaan likuiditas
Pembiayaan ini pada umumnya digunakan untuk memenuhi kebutuhan yang timbul akibat terjadinya ketidaksesuaian (mismatched) antara cash inflow dan cash outflow pada perusahaan nasabah.
Bank syari’ah dapat menyediakan fasilitas ini dalam bentuk qard timbale balik atau yang disebut dengan compensating balance. Melalui fasilitas ini nasabah membuka rekening giro dan bank tidak memberikan bonus atas giro tersebut. Bila nasabah mengalami situasi mismatched, nasabah dapat menarik dana melebihi saldo yang tersedia sehingga menjadi negative sampai maksimum jumlah yang disepakati dalam akad. Atas fasilitas ini, bank tidak dibenarkan meminta imbalan apa pun kecuali sebatas biaya administrasi pengelolaan fasilitas tersebut.
2.      Pembiayaan persediaan
Pada bank konvensional dapat kita jumpai adanya kredit modal kerja yang dipergunaka untuk mendanai pengadaan persediaan.
Bank syari’ah mempunyai mekanisme tersendiri untuk memenuhi kebutuhan pendanaan persediaan tersebut, yaitu antara lain dengan menggunakan prinsip jual beli dalam dua tahap. Tahap pertama, bank mengadakan (membeli dari supplier secara tunai) barang-barang yang dibutuhkan oleh nasabah. Tahap kedua, bank menjual kepada nasabah pembeli denganpembayaran tangguh dan dengan mengambil keuntungan yang disepakati bersama antara bank dan nasabah. Adapun jenis akad yang digunakan dalam pembiayaan jenis ini bias dengan akad al-murabahah, al-istisna’, as-salam.
C.     Pembiayaan investasi
Pembiayaan investasi diberikan kepada nasabah untuk keperluan investasi. Keperluan investasi secara umum dapat dipenuhi dengan pembiayaan berpola bagi hasil dengan akad mudharabah maupun musyarakah. Sebagai contoh, pembuatan pabrik baru, perluasan pabrik, usaha baru, perluasan usaha, dan sebagainya.
Dengan cara ini, bank syari’ah dan pengusaha merbagi resiko usaha yang saling menguntungkan dan adil. Agar bank syari’ah dapat berperan aktif dalam kegiatan usaha dan mengurangi kemungkinan risiko, seperti moral hazard (jebakan moral), maka bank dapat memilih untuk menggunakan akad musyarakah.[6]
Melihat luasnya aspek yang harus dikelola dan dipantau maka untuk pembiayaan investasi bank syari’ah menggunakan musyarakah mutanaqishah. Dalam hal ini bank memberikan pembiayaan dengan prinsip penyertaan, dan secara bertahap bank melepaskan penyertaannya dan pemilik perusahaan akan mengambil alih usaha tersebut.
Skema lain yang dapat digunakan oleh bank syari’ah adalah al-ijarah al-muntahiya bit-tamlik, yaitu menyewakan barang modal dengan opsi diakhiri dengan kepemilikan.
D.    Pembiayaan konsumtif
Pembiayaan konsumtif diperlukan oleh pengguna dana untuk memenuhi kebutuhan konsumsi dan akan habis dipakai untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Kebutuhan konsumsi dapat dibedakan atas kebutuhan primer (pokok) dan kebutuhan skunder.kebutuhan primer adalh kebutuhan pokok, baik berupa barang, seperti makanan, minuman, pakaian, tempat tinggal, maupun berupa jasa, seperti pendidikan dasar dan pengobatan.
Adapun kebutuhan skunder adalah kebutuhan tambahan yang secara kualitatif maupun kuantitatif yang lebih tinggi atau lebih mewah dari kebutuhan primer baik berupa barang, seperti makanan dan minuman, pakaian/perhiasan, bangunan rumah, kendaraandan sebagainya, maupun berupa jasa, seperti pendidikan, pelayanan kesehatan, pariwisata, hiburan dan sebagainya.
Pada umumnya, bank syari’ah membatasi pemberian biaya untuk pemenuhan barang tertentu yang dapat disertai dengan bukti kepemilikan yang sah. Seperti rumah, kendaraan bermotor yang kemudian menjadi barang jaminan utama.[7]



BAB IV
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Perbankan syari’ah merupakan lembaga yang menghimpun, mengelola dan menyalurkan dana. Oleh sebab itu, bank syari’ah membutuhkan sumber-sumber dana yang akan dikelola. Adapun sumber-sumber dana di bank syari’ah antara lain: modal,titipan dan investasi.
Dalam Bank Syariah, klasifikasi penghimpunan dana yang utama tidak didasarkan atas nama produk melainkan atas prinsip yang digunakan. Berdasarkan fatwa Dewan Syariah Nasional prinsip penghimpunan dana yang digunakan dalam bank syariah ada dua yaitu prinsip wadiah dan prinsip mudharabah


B.     Saran
Dari uraian diatas, kami menyadari bahwa makalah yang kami buat ini masih terdapat banyak kesalahan dan masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, jika pembaca menemukan kesalahan dan kekurangan dalam makalah ini dengan senang hati kami menerima saran maupun kritik dari pembaca demi sempurnanya materi dalam makalah ini.




BAB V
DAFTAR PUSTAKA

Syafi’i Antonio, Muhammad (2001), Bank Syariah Dari Teori Ke Praktik, Jakarta.
Kasmir (2010), Manajemen Perbanka,  Jakarta.
Ascarya (2008), Akad & Produk Bank Syariah, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.


[1] Syafi’i Antonio, Muhammad, Bank Syariah Dari Teori Ke Praktik, (Jakarta, 2001), h. 148
[2] Ibid., hal. 150
[3] Kasmir, Manajemen Perbanka,  (Jakarta: Rajawali Pers, 2010), h. 50
[4] Ibid.,hal. 63
[5] Syafi’I Antonio, Muhammad, op. cit., h. 161
[6] Ascarya, Akad & Produk Bank Syariah, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2008), h. 126
[7] Syafi’I Antonio, Muhammad, op. cit., h. 168